Beijing (ANTARA) - Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning mengatakan Beijing akan terus mencermati peningkatan anggaran pertahanan Jepang sekaligus perubahan kebijakan militer di negara tersebut.
"Mengingat sejarah agresi militer Jepang baru-baru ini, tindakan militer dan keamanan Jepang diawasi secara ketat oleh negara-negara tetangganya di Asia dan komunitas internasional," kata Mao Ning saat menyampaikan keterangan kepada media di Beijing, China pada Senin.
Pemerintah Jepang pada 16 Desember 2023 meluluskan tiga dokumen keamanan yaitu Strategi Penjaminan Keamanan Nasional Strategi Pertahanan Nasioal dan Rencana Kesiagaan Kekuatan Pertahanan atau yang disebut sebagai "Tiga Prinsip". Ketiga dokumen tersebut menentukan haluan kebijakan keamanan Jepang pada waktu 5 hingga 10 tahun ke depan.
Sementara pada 22 Desember 2023, Kabinet Jepang menyetujui anggaran sebesar 7,95 triliun yen (sekitar 56 miliar dolar AS) pada tahun fiskal 2024 untuk belanja pertahanan.
Menurut Mao Ning, dalam beberapa tahun terakhir, Jepang telah secara drastis membuat perubahan kebijakan keamanannya, meningkatkan belanja pertahanan dari tahun ke tahun, mengurangi pembatasan ekspor senjata dan mengupayakan terobosan militer.
"Kami mendesak Jepang untuk dengan sungguh-sungguh menghormati kondisi keamanan negara-negara tetangganya, memikirkan sejarah agresinya, berkomitmen pada jalur pembangunan damai dan berupaya untuk mendapatkan kepercayaan dari negara-negara tetangganya di Asia dan komunitas internasional yang lebih luas melalui tindakan nyata," papar Mao Ning.
Belanja pertahanan 2024 yang meningkat 16 persen dari tahun lalu adalah jumlah yang mencatatkan rekor demi mempercepat penempatan rudal jelajah jarak jauh yang dapat mencapai sasaran di China atau Korea Utara.
Peningkatan belanja pertahanan ini juga akan semakin memperkuat militer dengan jet-jet tempur siluman F-35 dan senjata-senjata buatan Amerika Serikat (AS).
menandai tahun kedua program pembangunan militer lima tahun berdasarkan strategi keamanan baru yang diadopsi oleh pemerintahan Perdana Menteri Fumio Kishida setahun yang lalu.
Penguatan kemampuan serang dalam program pembangunan militer lima tahun yang diadopsi Perdana Menteri Fumio Kishida sejak tahun lalu merupakan terobosan besar dari prinsip pascaperang Jepang yang membatasi penggunaan kekuatan hanya untuk membela diri.
Jepang berencana menghabiskan 300 miliar dolar hingga 2027 untuk meningkatkan kekuatan militer. Negara itu berencana menggandakan hampir dua kali lipat pengeluaran tahunannya untuk militer menjadi sekitar 68 miliar dolar AS. Artinya, Jepang sebagai negara dengan belanja militer terbesar ketiga di dunia setelah AS dan China.
Sementara aturan "Tiga Prinsip" Jepang juga mengubah kebijakan lama mengenai transfer peralatan pertahanan, termasuk mengizinkan ekspor semua perangkat keras yang dibuat di bawah lisensi asing ke negara tempat pemegang paten berada.
Sejalan dengan keputusan tersebut, Jepang berencana mengekspor unit sistem pencegat rudal PAC-3, atau Patriot, ke AS, tempat sistem tersebut memiliki lisensi. Ini akan menjadi ekspor persenjataan jadi yang pertama berdasarkan Undang-Undang Pasukan Bela Diri (SDF) sejak Tiga Prinsip diterapkan pada 2014.
Baca juga: China desak Jepang hormati upaya damai ASEAN di kawasan
Baca juga: Jepang dan China saling tuduh soal konfontrasi dekat pulau sengketa
Jepang memproduksi jet tempur F-15 dengan lisensi dari AS. Perusahaan-perusahaan Jepang juga membuat barang-barang pertahanan seperti artileri di bawah lisensi dari tujuh negara lain, termasuk Inggris, Prancis, dan Jerman.
Ekspor alat pertahanan buatan Jepang dari negara-negara yang memiliki lisensi ke negara ketiga diperbolehkan jika Tokyo memberikan izin terlebih dahulu. Namun, aturan baru melarang ekspor semacam itu ke negara-negara yang dianggap tengah menghadapi pertempuran.
Peraturan tersebut pun mengizinkan ekspor suku cadang seperti mesin dan sayap jet tempur ke negara-negara yang bekerja sama dengan Jepang dalam hal keamanan.