oleh Muhammad Razi Rahman
Jakarta (ANTARA) - Kasus hukum yang menimpa Prita Mulyasari (32) bisa merupakan salah satu peristiwa penting yang menjadi tonggak sejarah dalam sejarah penegakan salah satu hak asasi manusia, yaitu kebebasan berpendapat.
"Ya, saya melihat bahwa hak kebebasan menyampaikan pendapat Ibu Prita sedang diadili," kata Komisioner Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan, Nur Kholis di Jakarta, Rabu (3/6) menjawab pertanyaan ANTARA mengenai kemungkinan indikasi pelanggaran HAM dalam tuduhan pencemaran nama baik oleh RS Omni International kepada Prita.
Pada 15 Agustus 2008, Prita menuliskan keluhannya mengenai pelayanan RS Omni International melalui surat elektronik (email) yang ditujukan kepada kalangan terbatas saja.
Namun, isi surat elektroniknya itu tersebar ke sejumlah milis sehingga rumah sakit yang berlokasi di Tangerang, Banten, ini mengambil langkah hukum dengan menggugat Prita. Tak tanggung-tanggung, perdata dan pidana sekaligus.
Seterusnya, dalam gugatan perdata terhadap Prita itu, Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan RS Omni International, sementara Prita menyatakan mengajukan banding.
Sedangkan kasus pidananya akan mulai digelar pada PN Tangerang Kamis ini (4/6). Prita dijerat dengan Pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik serta Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Ancaman hukuman yang terdapat dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE adalah enam tahun penjara. Pasal inilah yang membuat Kejaksaan menahan Prita di LP Wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009.
Setelah mendapat dukungan masyarakat, antara lain dari ribuan blogger dan derasnya pemberitaan media massa, serta perhatian dari berbagai pejabat tinggi Indonesia, status Prita akhirnya diubah dari semula tahanan kejaksaan di rumah tahanan menjadi tahanan rumah.
Nur Kholis menegaskan, tidak layak seseorang yang menuliskan surat keluhan diancam hukuman hingga enam tahun penjara.
"Itu berlebihan," katanya.
Senada dengan Nur Kholis, Direktur Eksekutif LSM Indonesia Resources Legal Center (ILRC) Uli Parulian Sihombing pada Selasa (2/6) mengatakan, langkah pidana untuk kasus pencemaran nama baik itu adalah tindakan yang sangat berlebihan.
"Sangat berlebihan bila sampai harus dipidanakan," kata Uli.
Menurut Uli, penyampaian keluhan dari Prita terhadap pelayanan RS Omni seharusnya dianggap sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat yang dilindungi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Selain itu, Uli berpendapat jeratan pidana terhadap Prita dengan memakai Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) akan sukar dibuktikan oleh pengadilan.
"Pengadilan harus benar-benar bisa membuktikan bahwa Prita memiliki unsur kesengajaan untuk mempunyai niat jahat terhadap pihak yang dirugikan," katanya.
Pasal tambahan?
Ada dugaan bahwa Kejaksaaan telah menambahkan ketentuan hukum ini karena awalnya Prita memang hanya dijerat dengan pasal 310 dan 311 KUHP, namun Kejaksaan membantah hal ini.
"Kejaksaan menerima penyerahan berkas tahap pertama (dari penyidik polisi), maka tugasnya jaksa untuk meneliti apa sudah lengkap atau tidak," kata Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Abdul Hakim Ritonga di Jakarta, Rabu (3/6).
Ironisnya, Abdul Hakim mengatakan berdasarkan penelitian jaksa, kasus tersebut sudah memenuhi unsur UU ITE sehingga dalam pemberian petunjuk ke penyidik, Kejaksaan menyarankan menambahkan pasal dalam UU ITE tersebut.
Kejaksaan juga berkilah telah benar menahan Prita, dengan menunjuk materi gugatan yang menurut ketentuan hukum diancama maksimal kurungan enam tahun, tepatnya tertuang dalam Pasal 27 jo Pasal 45 UU ITE.
Sebaliknya, Jaksa Agung Hendarman Supandji memerintahkan bawahannya untuk mengkaji (eksaminasi) jaksa yang menangani perkara tersebut, baik di Kejaksaan Tinggi Banten maupun Kejaksaan Negeri Tangerang.
Eksaminasi ini ditempuh untuk memeriksa semua pihak yang terlibat dalam proses penanganan perkara tersebut dan hasilnya akan selesai Kamis ini.
Bantahan telah berbuat berlebihan terjadap Prita juga disampaikan oleh Kepolisian Ri yang menyatakan Prita Mulyasari tidak pernah ditahan penyidik kepolisian.
"Kendati ancaman hukuman dia, enam tahun penjara, namun penyidik kepolisian tidak menahannya selama proses penyidikan," katan Kepala Divisi Humas Irjen Pol Abubakar Nataprawira.
Abubakar menegaskan, Prita justru ditahan oleh Kejaksaan Negeri Tangerang setelah polisi melimpahkan berkas dan tersangka ke jaksa penuntut umum.
Enggan berpendapat
Kasus yang menimpa Prita Mulyasari mendapat perhatian dan simpati banyak orang dimana beberapa diantaranya menganggap kasus itu bisa membuat warga enggan berpendapat atau menyampaikan unek-unek di dunia maya (internet).
"Kasus itu bisa membuat orang takut untuk menulis di internet," kata Lulu Fitri (32), pegawai penerbitan yang kantornya terletak di Lebak Bulus.
Menurut Lulu, kasus tersebut hanya menunjukkan pihak yang lebih banyak memiliki sumber daya (keuangan dan akses kepada kekuasaan hukum) bisa membuat seseorang yang lebih lemah terpaksa mendekam di tahanan.
Padahal, Prita hanya seorang ibu rumah tangga yang memiliki dua orang anak yang masih kecil dan seharusnya menjadi bahan pertimbangan hukum.
Senada dengan Lulu, seorang pria bernama Rahman (28) mengatakan, kasus Prita berdampak negatif pada kebebasan berpendapat karena orang menjadi enggan mengeluh atau mengkritik.
Sementara itu, karyawan biro iklan di Menteng, Fajar Zikri (31) menilai RS Omni International telah bereaksi berlebihan karena menurutnya rumah sakit itu seharusnya cukup dengan menggunakan hak jawab terhadap keluhan Prita itu.
Sedangkan Mira Wibawa, seorang ibu rumah tangga berusia 34 tahun, menganggap tindakan Prita mengeluhkan pelayanan Omni Internasional lewat internet sebagai hal yang wajar.
"Kalau ada yang tidak beres, maka wajar bila orang mengeluh," katanya.
Ibu satu anak itu mengaku bingung dengan perlakuan hukum yang tidak adil di negerinya ini seraya membandingkan kasus Prita dengan kasus yang menimpa Lia Eden dalam perkara penodaan agama.
Lia Eden divonis dua tahun enam bulan, tetapi Prita Mulyasari yang hanya menulis surat keluhan bisa diancam enam tahun, tutur Mira keheranan.
Prita telah keluar dari rumah tahanan karena statusnya telah berubah menjadi tahanan kota, namun dia masih harus menjalani peradilan yang dianggap banyak orang sebagai peradilan terhadap kebebasan berpendapat.
Ini jelas bukan saja peradilan terhadap Prita Mulyasari, tetapi juga peradilan terhadap kebebasan berpendapat masyarakat negeri ini. (*)