Jakarta (ANTARA) - Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim menyebut angka kekerasan terhadap jurnalis perempuan berdasarkan Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 yang dirilis Yayasan Tifa sebagai bagian dari Konsorsium Jurnalisme Aman berkolaborasi dengan lembaga survei Populix menunjukkan kondisi di lapangan saat ini perlu diintervensi.
"Kalau kita cek di hasil riset, korbannya sebagian besar adalah teman-teman jurnalis perempuan. Padahal, jurnalis perempuan dalam riset ini jumlahnya sangat sedikit. Artinya, ada persoalan serius di dunia pers kita yang tidak membuat teman-teman jurnalis perempuan di Indonesia menjadi lebih aman," kata Sasmito di kawasan Menteng, Jakarta, Kamis.
Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa upaya intervensi diperlukan agar terjadinya perubahan di masa depan. Sementara itu, ia juga menyoroti kurangnya standar operasional prosedur (SOP) yang terdapat pada perusahaan-perusahaan pers di Indonesia.
"Perusahaan-perusahaan pers yang ada SOP kekerasan seksual itu bisa dihitung jari, termasuk di Dewan Pers periode sebelumnya, belum ada SOP kasus kekerasan terhadap jurnalis. Baru di periode sekarang dibuat SOP, dan mudah-mudahan bisa diadopsi perusahaan-perusahaan pers," ujarnya.
Sebelumnya, dalam Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 tersebut, Yayasan Tifa dan Populix mengungkapkan 45 persen jurnalis dari 536 responden mengaku mengalami kekerasan saat bekerja selama 2023.
Kemudian, dari 33 persen responden jurnalis perempuan atau 175 orang, terdapat 49 persen yang mengaku pernah mendapatkan kekerasan saat bekerja pada 2023. Sebelumnya, Yayasan Tifa bersama Populix merilis Indeks Keselamatan Jurnalis 2023, yang disebut mencapai angka sebesar 59,8 dari 100 atau termasuk kategori agak terlindungi.
Pengambilan data Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 dilakukan dengan menggunakan metode campuran, yakni kuantitatif dan kualitatif. Pengambilan data dilakukan mulai 1 Januari 2024 hingga 13 Februari 2024.
Pada metode kuantitatif, dilakukan survei terhadap 536 responden dari jurnalis aktif, dan juga data kuantitatif lain berasal dari data sekunder yang dikumpulkan oleh AJI untuk bahan faktor koreksi, yakni data aktual kekerasan terhadap jurnalis selama 2019-2023.
Untuk metode kualitatif, pengumpulan data dilakukan dengan cara "focus group discussion" (FGD) atau diskusi kelompok terpumpun, dan juga wawancara mendalam kepada beberapa pemangku kepentingan.
Baca juga: AJI Bali kenalkan alat bantu cek fakta ke jurnalis
Baca juga: Dewan Pers mengandalkan Satgas atasi kasus kekerasan pada jurnalis
Adapun "margin of error" (toleransi kesalahan) tidak diatur dan terdapat beberapa pertanyaan yang dapat dijawab lebih dari sekali atau "multiple answered". Pengambilan data kuantitatif dilakukan terhadap jaringan-jaringan jurnalis yang disebar di tempat liputan atau ruang media untuk mendapatkan keterwakilan setiap wilayah.
Pengambilan data kualitatif di wilayah Jawa menggunakan jaringan aliansi AJI atau asosiasi jurnalis lainnya, sedangkan di luar Jawa, data diambil berdasarkan pengelompokan wilayah.