Sragen (ANTARA) - Dunia industri berkembang sedemikian cepat. Model bisnis baru bermunculan dan banyak jenis pekerjaan lama yang kini tinggal sejarah. Tukang pos, agen koran, ojek panggalan dan sebagainya adalah contoh pekerjaan hilir yang kini telah berubah sedemikan rupa. Dunia bisnis makin mematang, untuk tidak hanya expert dalam satu sisi. Bukan sekedar untuk bisa bertahan hidup, namun juga memenangkan persaingan pasar. Minimal bisa bersanding dengan kompetitor lain. Tidak bisa lagi hanya satu “dewa” yang kemudian mengatur dan menjabarkan seluruh pekerjaan dalam bisnisnya. Rata-rata, bisnis raksasa yang punah adalah karena keputusan yang salah dalam mengambil strategi pasar. Contoh nyata adalah keputusan pendiri dan sekaligus co-CEO Research in Motion produsen Blackberry kala itu yang meremehkan teknologi layar sentuh dan ngotot mempertahankan tombol QWERTY-nya.
Peran sumber daya manusia dalam sebuah korporasi bukanlah sekedar pelengkap industri. Bisa dikata SDM adalah ruh dari industri itu sendiri. Bila peran SDM secara menyeluruh diabaikan tentu menjadi alamat buruk bagi perusahaan itu sendiri. Maka, pemberdayaan karyawan adalah sebuah keniscayaan. Sudah bukan zamannya lagi, karyawan hanya dihadapkan pada jobdesc atau KPI jadi yang tak tahu histori penyusunannya. Rontoknya perusahaan-perusahaan bahkan yang level multinasional bisa ditarik pelajarannya dari sisi tersebut. Karena ide-ide inovasi bisa berasal dari bilik manapun dari sebuah perusahaan, maka perusahaan perlu untuk menggali secara efektif dari sumber internal. Dari sana karyawan tidak lagi dipandang sebagai “sekrup” pelengkap mesin perusahaan, namun menjadi aset berharga yang bisa membuat perusahaan bersinar.
MBO Sebagai Solusi Problema Burnout
Melibatkan karyawan dalam merumuskan goal perusahan dan masing-masing personilnya sering dikhawatirkan oleh sebagian stakeholder. Namun, di era kekinian sepertinya hal tersebut sudah tidak relevan lagi. Tanpa adanya keterlibatan karyawan dalam penyusunan tujuan pekerjannya hanya akan mempermudah hadirnya burnout, yakni kondisi emosional dimana seorang karyawan merasakan kelelahan dan kejenuhan secara fisik dan mental. Situasi yang berbahaya, karena dampak pada sebuah perusahaan potensial tidak sesuai yang diharapkan. Perusahaan bisa kehilangan karyawan terbaik, turn over yang tidak terkendali, bahkan gerakan protes karyawan.
Burnout ditandai dengan kelelahan emosional dan fisik (exhaustion), sinisme dan menurunnya efikasi profesional. Jika dijabarkan lebih lanjut, karyawan yang mengalami burnout adalah personal kerja yang dalam kondisi merasa lelah secara emosional dan fisik, tidak peduli atau sikap menjauh bukan hanya dalam kaitan hubungan interpersonal dan munculnya perasaan kurang kompeten atau tidak efektif dalam pekerjaan (Bakker dkk., 2002). Lebih lanjut Bakker dkk menjelaskan, ketika karyawan dilibatkan dalam merumuskan tujuan perusahaan dan tujuan pekerjaannya, maka diharapkan akan lahir instrumen engagement baru, yaitu semangat (vigor), ditandai dengan tingginya tingkat energi dan ketahanan mental saat bekerja, kemauan untuk mengerahkan usaha dalam pekerjaan, serta ketekunan meskipun menghadapi kesulitan. Kemudian berdedikasi (dedication), yakni rasa bermakna, antusiasme, inspirasi, kebanggaan, dan tantangan dalam pekerjaan. Serta keterserapan (absorption) yang ditandai dengan konsentrasi penuh dan keterlibatan mendalam dalam pekerjaan, di mana waktu terasa cepat berlalu dan sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaan.
Namun keterlibatan karyawan seperti itu tentu bukan keluar dari ruang hampa. Harus ada metode yang diakui efektif sedemikian sehingga kalis dari sambaran burnout tersebut. Antara burnout dan engagement harus ada bringing sehingga semangat, berdedikasi dan keterserapan tidak jatuh menjadi sekedar angan-angan dan slogan. Salah satu metode yang yang diakui dalam beberapa dasawarsa terakhir adalah management by objectives (MBO). Sejak pertama kali diperkenalkan oleh Peter Drucker di tahun 1954, MBO semacam “mantra suci” yang telah memperbaiki performa karyawan dan perusahaan di berbagai negara. Menurut Drucker, pendekatan ini melibatkan penetapan tujuan organisasi secara jelas dan sistematis yang disepakati bersama antara pimpinan dan bawahan, serta digunakan sebagai standar dalam penilaian kinerja individu. Dari manajemen ini kemudian makin sempurna dengan munculnya pendekatan-pendekatan yang relate, seperti akronim goal SMART/Specific, Measurable, Achievable, Relevant,Time-bound (Doran, 1981), A Theory of Goal Setting and Task Performance (Latham G & Locke EA, 1990), Balance Scorecard/BSC (Kaplan R dan David Norton D, 1992), dan sebagainya.
Dalam MBO, pimpinan dan karyawan akan bergandengan dalam membahas tujuan bersama. Biasanya secara berjenjang, top-middle-low. Namun tidak ada yang ditinggal. Dalam dunia praksis di perusahaan tahapan ini biasa disebut goal roll down (GRD), dimana tujuan perusahaan yang sifatnya lag measure, diturunkan sampai level terendah yang menjadi tujuan masing-masing karyawan (lead measure). Ketika serangkaian rumusan tujuan ini bisa tertata rapi maka akan mudah melahirkan key performance indicator (KPI) dari masing-masing karyawan. KPI menjadi tidak sekedar alat nilai capaian kinerja, namun juga alat hubung dan alat umpan balik antara pimpinan dan karyawan. Karena MBO sendiri paling tidak mensyaratkan terpenuhinya tiga hal, yakni penetapan tujuan secara SMART, partisipasi aktif karyawan dalam penetapan tujuan dan evaluasi pencapaian tujuan secara objektif (Ashfaq, 2018).\
Rangkaian MBO yang demikian menjadi ikhtiar logis untuk menghindari situasi burnout menuju keterlibatan karyawan, sehingga layak diharapkan hal-hal positif bisa diwujudkan oleh perusahaan. Dari sanalah bertemu dua kepentingan positif. Dari sisi perusahaan, ia membutuhkan inovasi dari karyawan untuk bisa terus kompetitif. Sedangkan dari pihak karyawan, dia butuh dilibatkan untuk bisa menumbuhkan kepercayaan diri dan rasa penting perannya dalam memberikan sumbangsih di tempatnya bekerja. Secara keseluruhan hal tersebut dijaga dengan mempertahankan komitmen pimpinan, konsistensi implementasi dan kemampuan menyerap umpan balik, sebagaimana ruh dari MBO itu sendiri.
Wallaahu a’lam.
*) Penulis adalah Manajer Area Lazis Muhammadiyah (Lazismu) Jawa Tengah