Mataram (ANTARA) - Dinas Kesehatan Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat, menegaskan pernyataan yang menyebutkan obat cacing bisa menyebabkan penyakit hepatitis adalah hoaks.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Mataram H Emirald Isfihan di Mataram, Senin, mengatakan, tidak ada kandungan dari obat cacing tersebut yang bisa menyebabkan hepatitis.
"Hal itu sesuai dengan hasil penelitian yang sudah dilakukan sebagai dasar ilmiah," katanya.
Pernyataan itu disampaikan menyikapi adanya hoaks yang tersebar pada sejumlah media sosial yang menyebutkan obat cacing bisa menyebabkan penyakit hepatitis.
Menurutnya, dalam pelaksanaannya pemberian obat cacing diberikan minimal satu kali per enam bulan, dengan dosis tunggal atau cukup satu kali.
Baca juga: Vaksin hepatitis C dikembangkan lewat kerja sama multi disiplin
Pemberian obat cacing dilaksanakan melalui program pemberian obat massal (PPOM) dengan dosis tunggul. Untuk anak usia 1-2 tahun diberikan setengah tablet sedangkan anak di atas usia dua tahun diberikan satu tablet.
"Sejauh ini pemberian obat cacing tidak ada efek negatif terhadap kesehatan," katanya.
Ia mengatakan, pemberian obat cacing minimal satu kali dalam enam bulan dilakukan melalui puskesmas, posyandu, dan sekolah di Kota Mataram secara rutin dilaksanakan setiap bulan Agustus dirangkaikan dengan program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS).
Baca juga: Menggugah kesadaran global atasi hepatitis kian mengancam
Pemberian obat cacing dimaksudkan untuk mengurangi prevalensi infeksi cacing di kalangan anak-anak sekaligus meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup anak-anak.
"Jadi kami pastikan pernyataan obat cacing bisa menyebabkan penyakit hepatitis adalah hoaks," katanya lagi.
Di sisi lain, Emirald mengakui, kalau gangguan fungsi hati bisa terjadi jika mengonsumsi dua kali lipat dari dosis yang diberikan selama dua minggu berurut-urut.
Pemberian dosis itu memang ada, tapi ketika kondisi medis cacingan sudah menyebar hingga ke otak.
"Namun kondisi sangat jarang terjadi," katanya.
Terkait dengan itu, pihaknya mengimbau agar masyarakat lebih bijak membaca dan menerima informasi di media sosial yang kebenarannya masih dipertanyakan atau tidak bisa dipertanggungjawabkan.
