Mataram (ANTARA) - Kasus dugaan korupsi dana pokok pikiran rakyat (pokir) DPRD NTB telah naik ke penyidikan. Berbagai pihak telah diperiksa oleh Kejati NTB untuk dimintai keterangan, baik dari pejabat legislatif lokal maupun pejabat eksekutif Pemprov NTB. Mereka diperiksa atas kasus dugaan korupsi dana pokir DPRD NTB.
Nilainya besar, Rp1,85 miliar. Uang itu dikembalikan ke Kejati NTB diduga dari hasil korupsi dana pokir DPRD NTB. Namun, pengembalian uang itu tidak serta-merta menghapus dugaan perbuatan pidana atau tindak pidana korupsi. Perbuatan pidana atau tindak pidana telah terjadi.
Pengembalian uang dari hasil dugaan tindak pidana korupsi tidak serta-merta menghapus perbuatan pidana atau tindak pidana korupsi. Namun demikian, pengembalian uang dari hasil dugaan tindak pidana korupsi tentu saja secara hukum dapat meringankan tuntutan pidana atau hukuman pidana, meski tak dapat menghapus dugaan perbuatan pidana atau tindak pidana korupsi.
Dari sinilah menjadi pintu masuk sekaligus kekuatan bagi Kejati NTB untuk mengusut kasus ini secara tuntas tanpa pandang bulu—siapapun orangnya.
Mudah untuk memahami kasus ini, tergantung bagaimana keberanian Kejati NTB untuk mengusut kasus ini secara tegas tanpa kompromi dengan korupsi. Korupsi adalah musuh bersama yang harus diperangi. Korupsi telah merampas hak rakyat, mengkhianati kepercayaan rakyat, merusak lembaga/institusi demokrasi, menghambat pembangunan, dan memiskinkan rakyat banyak (Peter Eigen, 2003).
Dalam kasus ini, Kejati NTB telah menemukan mens rea. Ini artinya ada unsur niat jahat dalam korupsi dana pokir DPRD NTB. Dalam perkara pidana, mens rea adalah penanda antara kekhilafan dan kejahatan. Ia adalah jantung pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian, sudah saatnya Kejati NTB menetapkan tersangka kasus dugaan korupsi dana pokir DPRD tanpa ragu dan menunda-nunda karena telah memenuhi dua unsur alat bukti permulaan.
Deja vu Korupsi
Belum selesai kasus dugaan korupsi dana pokir DPRD NTB, kini muncul lagi kasus dugaan korupsi dana pokir DPRD Bima. Nilainya besar, Rp60 miliar.
Seperti pola berulang, korupsi dana pokir terjadi lagi dan berlangsung dalam kekuasaan gelap. Habis pokir DRPD NTB, terbitlah pokir DRPD Bima tepat untuk menggambarkan kasus ini.
Uang Rp60 miliar itu cukup untuk memperbaiki jalan-jalan yang rusak di Bima, membiayai tunggakkan BPJS dan kebutuhan obat-obatan di rumah sakit, atau menyediakan beasiswa bagi anak-anak tak mampu.
Pokir sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan lebih lanjut ditegaskan dalam Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 sesungguhnya adalah hasil penyerapan aspirasi masyarakat yang kemudian dituangkan dalam sistem perencanaan pembangunan daerah.
Pokir diharapkan menjadi penghubung antara kebutuhan rakyat di dapil dengan kebijakan anggaran daerah. Dengan pokir, jalan dapat diperbaiki, sekolah dapat rehabilitasi, kelompok tani dapat bantuan, hingga organisasi masyarakat dapat dukungan, semuanya menjadi bagian dari pokir. Namun, bagi kekuasaan yang rakus dan serakah, pokir justru di korupsi.
Begitulah kekuasaan jika tak dikelola dengan baik, transparan, akuntabel, jujur, dan amanah. Hasilnya, adalah korupsi dan penyimpangan.
Dalam kekuasaan yang gelap, selalu ada sesuatu yang disembunyikan. Karena itu, kontrol publik dan lembaga-lembaga terkait seperti Inspektorat, Kejari Bima-Kejati NTB, dan KPK menjadi keharusan untuk mencegah terjadinya korupsi dan penyimpangan.
Sistem demokrasi menyediakan tool itu. Upaya mematikan sebagian tool itu berarti membuka potensi terjadinya korupsi dan mematikan kontrol.
Perlunya Kontrol Publik
Korupsi pokir, selain karena pengelolaan yang tidak transparan dan akuntabel juga karena lemahnya kontrol, terutama kontrol internal legislatif-eksekutif lokal. Kontrol itu tersumbat oleh kepentingan: kompromi dan bagi-bagi jatah pokir.
Karena itu, kontrol terhadap kekuasaan menjadikan keharusan. Tanpa kontrol, kekuasaan akan cenderung korup. Demokrasi, meminjam Jurgen Habermas, bukan hanya sekedar pemungutan suara, tapi juga keterlibatan aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan kontrol publik.
Demokrasi memerlukan diskursus kritis dan rasionalitas publik dalam kebijakan publik. Kritik terhadap kekuasaan adalah vitamin bagi demokrasi. Tanpa kritik, kekuasaan akan cenderung korup.
Kita tak perlu takut apalagi alergi pada kritik. Setiap upaya membungkam kritik adalah upaya untuk mematikan demokrasi—sambil melakukan korupsi.
Dalam kekuasaan, ada amanah, ada kewenangan, ada dana publik yang harus di awasi, dikelola dengan baik, dan dipertanggungjawabkan. Tak ada korupsi tak terkait dengan kekuasaan. Korupsi selalu terkait dengan kekuasaan.
Namun, kekuasaan tak selalu koruptif. Bagi pemimpin yang amanah, jujur, dan integritas, kekuasaan adalah jalan untuk pengabdian, menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. Namun, bagi pemimpin yang tidak amanah, tidak jujur, dan nir-integritas, kekuasaan adalah kesempatan untuk memperkaya diri dan mengkorupsi uang rakyat.
Satu sisi, kekuasaan memang menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. Namun di sisi lain, kekuasaan juga bisa menciptakan ketidakadilan, penindasan, dan korupsi. Hanya pemimpin yang amanah, jujur, dan integritas yang bisa menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat.
*) Penulis adalah Anggota Komisi Pendidikan PB HMI
