Mataram (ANTARA) - Ratusan nelayan di Kabupaten Lombok Timur melakukan unjuk rasa ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Barat untuk menolak pemasangan dan penggunaan alat Vessel Monitoring System (VMS).

Ketua Forum Nelayan Lombok (Fornel) Rusdi Ariobo mengatakan seluruh nelayan di Lombok Timur menolak pemasangan alat VMS pada kapal nelayan karena biaya operasional VMS mahal sehingga sangat memberatkan nelayan kecil.

"Kami anggap teknologi ini lebih relevan untuk kapal besar, sedangkan untuk kapal nelayan kecil tidak memiliki potensi pelanggaran," kata Rusdi di depan Gedung DPRD NTB, Kamis.

Ia menyatakan, penggunaan alat VMS sering mengalami gangguan teknis dan menghambat kegiatan operasional nelayan. Untuk itu pihaknya meminta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42/PERMENKP/2015 tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan berukuran lebih dari 30 GT yang beroperasi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) untuk dicabut.

"Kami minta dicabut kewajiban pemasangan VMS untuk kapal kecil. Ganti dengan metode pengawasan berbasis komunitas nelayan atau teknologi sederhana yang lebih murah," tegas Rusdi.

Baca juga: Semua kapal dipasang VMS di 2025 untuk pengawasan
Baca juga: Nelayan NTB diminta waspadai gelombang tinggi capai 2,5 meter

Hal senada juga disampaikan Setiawan, nelayan Labuan Lombok Timur ini mengatakan selain menolak pemasangan alat VMS, nelayan juga menolak pembatasan kuota penangkapan ikan. Sebab, menurutnya pembatasan penangkapan ikan ini akan membatasi penghasilan nelayan yang bergantung pada hasil tangkapan harian.

"Kebijakan ini lebih menguntungkan perusahaan besar dan merugikan nelayan kecil. Usul kami cabut kebijakan kuota penangkapan ikan untuk kapal kecil," katanya.

Setiawan juga meminta agar zona penangkapan ikan lebih dari satu wilayah pengelolaan perikanan (WPP) dicabut. Menurut dia zona penangkapan ikan yang terbatas pada satu WPP sangat merugikan nelayan.

"Kami meminta izin untuk menangkap ikan di lebih dari satu WPP karena nelayan sering mengikuti migrasi ikan yang tidak terbatas pada satu WPP," ujarnya.

Selain itu, para nelayan juga menyuarakan penolakan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 5 persen yang diberlakukan pemerintah.

"Kami minta diturunkan menjadi 2,5 persen," kata Setiawan.

Baca juga: NTB cermati fenomena banjir rob menggenangi kawasan pesisir

Ia menilai, besaran PNBP yang diberlakukan itu mencekik pendapatan nelayan. Karana, harga acuan ikan Tuna diturunkan dari Rp14 ribu menjadi Rp10 ribu. Ikan Albacore diturunkan dari Rp14 ribu menjadi Rp5 ribu dan ikan Cakalang diturunkan dari Rp9 ribu menjadi Rp5 ribu.

"Harga acuan ikan ini terlalu tinggi tidak sesuai dengan harga pasar sehingga harga tangkapan nelayan dinilai rendah," katanya.

Setiawan menegaskan pemerintah juga perlu memberikan izin pengangkutan ikan dari pulau-pulau kecil. Karena banyak hasil tangkapan di pulau-pulau kecil tidak dapat dijual karena larangan pengangkutan.

"Larangan ini merugikan nelayan yang menggantungkan hidup pada daerah tangkapan di pulau-pulau kecil. Kami minta aturan yang melarang pengangkutan ikan dari pulau-pulau kecil ini segera direvisi," tegas Setiawan.

Sekretaris Dewan DPRD NTB Surya Bahari yang menerima kehadiran nelayan mengatakan semua tuntunan para nelayan akan segera ditinjau. Bahkan, pihaknya menjanjikan para nelayan siap diterima kembali pada Selasa (21/1).

"Semua tuntutan para nelayan akan diserahkan ke Komisi II DPRD NTB untuk dipelajari sehingga semua tuntunan para nelayan segera disikapi oleh para wakil rakyat sesuai dengan ketentuan yang berlaku," katanya.

Baca juga: Alhamdulillah!! Nelayan di Lombok Tengah mulai ekspor lobster


Pewarta : Nur Imansyah
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025