MENGUAK ISU PENCEMARAN PERAIRAN LABUAN LALAR Oleh Masnun

id

    

     Desir angin pesisir pantai Labuan Lalar di pagi yang cerah itu menyapu wajah-wajah ceria sekelompok nelayan yang tengah asik melepas jaring. Sebagian lainnya membentangkan "rawe" (sejenis alat  memancing ikan dengan banyak mata kail).

     Sementara di bagian lain tampak sekelompok bocah berkejaran di pinggir pantai yang membentang di depan perkampungan nelayan itu. Sesekali mereka berenang dan menyelam menikmati jernihnya air laut di permukiman etnis Bajo itu.

     Isu pencemaran perairan laut Kabupaten Sumbawa Barat khususnya pantai Desa Labuan Lalar, Kecamatan Taliwang yang akhir-akhir ini mencuat, tampaknya tak mempengaruhi semangat para nelayan untuk menangkap ikan. Bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana menangkap  ikan sebanyak-banyaknya agar nafkah keluarga tetap terjamin.

     Dadang (40), salah seorang nelayan di Desa Labuan Lalar nampak bersemangat mengemudikan perahunya yang bermesin ketinting 5 PK itu menuju daratan. Sesekali ia menyeruput sisa kopi dalam botol yang dibawanya dari rumah, kemudian menghisap dalam-dalam rokok kreteknya.

     Hari itu ia mendapatkan tiga ekor ikan "mengali" (sejenis ikan pelagis) yang dijual dengan harga Rp250.000 per ekor. Pada hari sebelumnya ia juga memperoleh tangkapan ikan yang dijual seharga Rp500.000.

     "Sejak beberapa pekan ini hasil tangkapan kami cukup banyak terutama yang menggunakan pancing rawe. Alhamdulillah setiap turun melaut tidak penah kosong, uang hasil penjualan ikan sebagian saya tabung untuk persediaan ketika hasil tangkapan tidak ada," kata pria yang juga bekerja sebagai tukang las itu.

     Ia mengaku tidak terpengaruh dengan isu pencemaran laut akibat  tailing (limbah tambang) PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang ditempatkan di palung laut Teluk Senunu, karena masalah itu sulit dibuktikan.

     Kalau suatu saat hasil tangkapan nelayan berkurang, menurut Dadang, itu tidak bisa dipastikan akibat pencemaran laut oleh tailing Newmont, karena harus dibuktikan secara ilmiah melalui penelitian dan pemeriksaan di laboratorium.

     "Kami sebagai nelayan yang awam tidak berani menuding bahwa telah terjadi pencemaran akibat pembuangan tailing. Menurut pengalaman saya beberapa jenis ikan sifatnya musiman. Saat ini di perairan Labuan Lalar sedang musim ikan mengali," kata pria berkulit sawo matang itu.

     Ungkapan serupa juga diutarakan Abdul Hamid, nelayan lain di Labuan Lalar. Ia menyatakan tidak pernah terusik dengan isu pencemaran laut, karena selama ini hasil tangkapan ikan dengan pancing rawe cukup banyak.

     Setiap hari ia bisa menjual hasil tangkapannya minimal Rp500.000. Dengan hasil penjualan ikan itu cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk biaya sekolah anak-anaknya.

     "Sebagai nelayan yang awam, saya tidak berani menuding bahwa perairan laut Labuan Lalar telah tercemar akibat penempatan tailing Newmont. Untuk memastikan apakah memang benar perairan laut telah tecemar atu tidak itu kewenangan pemerintah. Bagi kami yang terpenting adalah tetap mendapatkan ikan agar keluarga tetap bisa makan," katanya.

     Supran, nelayan asal Desa Labuan Lalar yang sering memancing ikan di perairan laut Labuhan Senutuk, Kecamatan Sekongkang juga mengaku hasil tangkapannya cukup banyak, kendati lokasi tersebut relatif dekat dengan pipa pembuangan tailing PTNNT.

     Menurut dia, pada musim pemancingan ikan dasar, seperti ikan kakap merah dan ketambak cukup dua jam memancing hasil tangkapan bisa dua bok berisi 40 hingga 50 kilogram yang dijual dengan harga minimal Rp1 juta.

     Namun, katanya, musim pemancingan ikan dasar di lokasi tersebut ada musimnya. Jadi tidak bisa setiap saat hasil tankapan ikan selalu banyak. Inilah kondisi kehidupan nelayan, pada saat musim banyak ikan rezeki melimpah.

     Karena itu menurut Supran, uang hasil penjualan ikan pada saat tangkapan melimpah harus diatur, sebagian ditabung untuk persiapan menghadapi musim paceklik.

     "Mengenai isu pencemaran lingkungan akibat tailing Newmont harus dibuktikan kebenarannya dan ini tugas pemerintah, melalui penelitian secara cermat dan pemeriksaan di laboratorium. Menurut saya yang awam, kalau memang benar laut sudah tercemar, maka akan banyak ikan yang mati terutama jenis kerang," katanya.

     Pria yang sudah puluhan tahun menjadi nelayan itu mengaku belum pernah menemukan ikan mati secara massal, demikian juga jenis kerang. Kalau seandainya memang benar perairan laut tercemar, maka yang paling cepat mati adalah siput mutiara yang dibudidayakan di perairan laut Labuan Lalar.

      

                               Bukti Konkret

    Nasrudin, ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Desa Labuan Lalar mengaku tidak berani memastikan bahwa perairan laut sudah tercemar oleh limbah PTNNT, karena tidak ada bukti-bukti kongkrit sebagai indikator telah terjadi pencemaran.    

    "Menurut pendapat saya yang awam kalau memang benar terjadi pencemaran akan banyak biota laut, seperti ikan dan kerang yang mati, namun hingga kini hal tersebut belum pernah terjadi. Karena itu kebenaran isu pencemaran itu harus dibuktikan melalui penelitian dan pemeriksaan sampel air di laboratorium," katanya.

    Bagi Nasrudin persoalan apakah perairan laut Labuan Lalar telah tercemar atau tidak sebaiknya dibuktikan dengan penelitian yang akurat dan pemeriksaan sampel air di laboratorium. Ini kewenangan pemerintah dalam hal ini Badan Lingkungan Hidup dan Penelitianj (BLHP) NTB maupun BLHP Kabupaten Sumbawa Barat untuk membuktikan.

    "Menurut pendapat saya polemik soal pencemaran itu sebaiknya diakhiri, karena yang lebih penting adalah bagaimana upaya pemerintah bersama PTNNT meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat terutama pada nelayan yang selama ini kehidupannya kurang beruntung," katanya.

    Nelayan di Kabupaten Sumbawa Barat terutama di Desa Labuan Lalar yang sebagian besar penduduknya bekerja sebagai nelayan  harus mendapat perlakuan khusus, artinya mereka harus diberikan bantuan alat tangkap yang lengkap, karena sekitar 20 persen merupakan buruh nelayan, mereka tidak memiliki perahu dan alat tangkap.

    Kalau memungkinkan, kata Nasrudin, para nelayan diberikan bantuan kapal berkapasitas 30 GT agar mereka bisa melaut lebih jauh. Ada nelayan Labuan Lalar yang menangkap ikan dan cumi-cumi hingga perairan laut Nusa Tenggara Timur dengan menggunakan kapal cukup besar.

    Selain itu, menurut Nasrudin, para nelayan juga harus dibina agar bantuan yang diberikan bisa berkembang dan kehidupan meteka tidak terpuruk.

    Nasrudin juga mengharapkan pemerintah bersama PTNNT membantu modal para istri nelayan Desa Labuan Lalar untuk usaha membeli ikan agar selain pendapatan suami, para istri nelayan juga mendapat penghasilan tambahan.

    "Dengan cara ini saya yakin kondisi kehidupan para nelayan akan akan lebih baik. Mareka tidak kebingungan ketika musim paceklik tiba," kata Ketua LPM yang juga tokoh pemuda Desa Labuan Lalar.

    Sejatinya keberadaan perusahaan tambang tembaga dan emas PTNNT di Batu Hijau cukup banyak memberikan kontribusi kepada daerah terutama Sumbawa Barat sebagai kebupaten penghasil. Selain itu juga  berdampak terhadap peningkatan perekonomian masyarakat.

    Kendati demikian  PTNNT selalu dituding sebagai perusak lingkungan, bahkan tailing Newmont yang ditempatkan di palung laut Teluk Senunu Kabupaten Sumbawa Barat juga dinilai telah mencemari perairan laut.  

    Meskipun isu tersebut hingga kini tidak bisa dibuktikan, tetapi sejumlah aktivis tetap menuding bahwa telah terjadi pencemaran dan mereka menuntut pembuangan limbah tambang di palung laut Teluk Senunu itu segera dihentikan.

    Tudingan miring itu juga datang dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Bahkan LSM lingkungan ini menyurati Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM terkait pemberian Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara tahun 2011 kepada sejumlah perusahaan tambang salah satunya PTNNT.

    Menurut Walhi, alasannya limbah tambang yang ditempatkan di Teluk Senunu sebanyak 140.000 ton per hari ke laut oleh PTNNT itu merusak lingkungan laut. Dan hasil wawancara yang dilakukan WALHI terhadap masyarakat sekitar tempat pembuangan tailing itu pada Mei 2011 yang mengeluhkan tangkapan ikan berkurang sejak pembuangan tailing ke laut.

    Bahkan protes itu berujung di pengadilan. Walhi menggugat  Kementerian Lingkungan Hidup terkait perpanjangan izin  penempatan tailing PTNNT oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada 21 Mei 2011.    



               Telah terjawab

    Namun tudingan miring itu akhirnya terjawab dengan keluarnya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara pada 3 April 2012 yang menolak gugatan Walhi terhadap Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) atas perpanjangan penempatan tailing di dasar laut oleh PTNNT.

    Bukti yang diajukan selama persidangan, secara jelas menunjukkan KLH telah mengikuti seluruh prosedur yang ditetapkan, dalam memberikan perpanjangan izin STP. Selain itu, dari keterangan sejumlah saksi ahli yang dihadirkan di persidangan, sistem STP aman bagi lingkungan.

    Putusan itu sejalan dengan hasil pengawasan secara rutin, pemantauan, kajian-kajian lingkungan dan sosial, serta pengujian yang dilakukan lebih dari 12 tahun oleh PTNNT bersama pemerintah, dan pihak-pihak independen.

    Hasil kajian tersebut secara konsisten menunjukkan bahwa sistem STP di tambang PTNNT, Sumbawa Barat, NTB telah sesuai  peraturan yang berlaku dan beroperasi sesuai rancangan.

    Dalam kesaksiannya di persidangan, para ahli dari sejumlah universitas terkemuka dan saksi dari penduduk sekitar wilayah tambang tembaga dan emas Batu Hijau, menegaskan bahwa sistem penempatan tailing di dasar laut di Batu Hijau yang telah beroperasi sejak tahun 2000 sesuai rancangan, dan tidak berdampak negatif terhadap perikanan di Sumbawa Barat.

   

     PTNNT mulai mengoperasikan sistem STP berdasarkan persyaratan perizinan AMDAL PTNNT. Setelah diberlakukannya peraturan perizinan tambahan, tambang Batu Hijau memperoleh izin STP pada 2002, yang kemudian diperpanjang sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 2005, 2007, dan 2011.

    Penempatan tailing  STP oleh PTNNT sesuai izin yang berlaku dan berdasarkan data pemantauan kelautan yang kami lakukan dan telah dilaporkan kepada pemerintah, sistem STP di Batu Hijau telah berjalan sesuai dengan desain dan prediksi yang tercantum dalam Amdal.

    Isu pencemaran perairan laut itu juga terbantahkan dengan hasil penelitian yang dilakukan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah (PPLHD) Provinsi NTB pada periode Januari-Desember 2011.

    Kepala Badan Lingkungan Hidup dan Penelitin (BLHP) Provinsi Nusa Tenggara Barat Dr Ir H Syamsul Hidayat Dilaga MS mengatakan, sah-sah saja kalau sebagian masyarakat berpendapat "tailing" (limbah tambang) PTNNT telah mencemari lingkungan.

    "Menurut hasil pemeriksaan sampel yang diambil dari sejumlah titik di lokasi penempatan tailing bawah laut atau submarine tailing placement (STP) Newmont di periran laut Teluk Senunu tidak terjadi pencemaran," katanya.

     Hasil pemantauan terhadap kualitas air laut di zona titik penataan, yakni di sekitar pipa tailing di ngarai Senunu maupun, di luar ngarai Senunu, khususnya di Selat Alas baku mutu telah sesuai dengan Keputusan Menteri  Lingkungan Hidup (Kepmen LH) 51/2004.

     Demikian juga hasil pemantauan kualitas sedimen laut di pesisir selatan dan Selat Alas telah memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

     Hasil penelitian yang dilakukan PPLHD Provinsi NTB yang dibentuk dengan surat Keputusan Gubernur NTB itu telah disosialisasikan kepada masyarakat di Sumbawa Barat.

     Syamsul mengakui, yang dipersoalkan sebagian masyarakat adalah penentuan titik pengambilan sampel. Mereka menduga itu tidak bisa menjamin validitas hasil penelitian.

      Namun, katanya, perlu diketahui, penentuan lokasi pengambilan sampel itu ditentukan secara ilmiah dan diyakini mencerminkan kondisi secara keseluruhan, karena tidak mungkin mengambil sampel di setiap jengkal lokasi pembuangan tailing tersebut.

     "Dari sisi regulasi STP PTNNT sesuai prosedur dan ketentuan yang ada dan izin tersebut dikeluarkan oleh badan yang berwenang dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup. Jadi secara hukum STP tersebut dibenarkan dan izin tersebut dikeluarkan setelah melihat dan melakukan penelitian di lapangan dan pemeriksaan sampel di laboratorium," kata Syamsul.

     Dia mengatakan, pada saat sosialisasi hasil penelitian dampak penempatan tailing di Sumbawa Barat belum lama ini ada sejumlah warga termasuk kepala desa menuding telah terjadi pencemaran di perairan laut.

     "Saat itu saya meminta yang bersangkutan untuk bersama-sama membuktikan bahwa telah terjadi pencemaran laut yang ditandai dengan air laut keruh dan jika ada yang bisa membuktikan saya yang paling pertama menuntut agar PTNNT menghentikan pembuangan tailing di Teluk Senunu," katanya.

     Namun, katanya, mereka yang menuding telah terjadi pencemaran itu bukan saja tidak mampu membuktikan tudingannya, tetapi yang bersangkutan keluar secara diam-diam dari tempat berlangsungnya acara sosialisasi tersebut.

     "Karena itu kalau sudah dibuktikan dengan hasil penelitian secara ilmiah kita jangan apriori. Sebaiknya kita percaya terhadap hasil penelitian dan keputusan Kementerian Lingkungan Hidup yang telah memperpanjang izin STP tersebut," ujarnya.

      Menurut Syamsul justru yang perlu diwaspadai adalah pencemaran lingkungan termasuk perairan laut akibat pembuangan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dari penambangan ilegal yang cukup banyak baik di Pulau Lombok maupun Pulau Sumbawa, karena pada umumnya merkuri atau air raksa yang digunakan untuk memisahkan mineral emas dari bantaun limbahnya dibuang di sembarang tempat.

      "Penambangan emas tanpa izin (PETI) kian menjamur di sejumlah lokasi, antara lain di Sekotong, Lombok Barat, Olat Labaong (Sumbawa) dan di sejumlah lokasi di Kabupaten Sumbawa Barat. Para penambang liar itu menggunakan merkuri dalam jumlah cukup banyak. Menurut hasil penelitian pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Sumbawa Barat limba B3 telah mencemari lingkungan," katanya.

     Karena itu aktivitas penambangan liar tersebut harus segera dihentikan agar kerusakan lingkungan akibat pembuangan limbah B3 secara sembarangan itu tidak semakin meluas. (*)