Mataram, 20/9 (ANTARA) - Badan Kerja Sama Internasional Korea (KOICA) sudah menghitung tingkat penyerapan karbon di lokasi proyek percontohan kawasan Hutan Aiberik, Kecamatan Batu Kliang, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan hasilnya masih rendah.
"Sudah dilakukan penghitungan dan survei-survei pendahuluan, dan memang hasilnya lahan hutan itu rusaknya atau deforestasinya tidak terlalu besar, sehingga kalau diimplementasi mekanisme REDD plus maka tidak menarik untuk diajukan," kata kata Manager Proyek KOICA Chairil A Siregar, di sela-sela "workshop" sistem MRV (Measurable, Reporting and Verification) atau pengukuran, pendataan dan verifikasi karbon, yang digelar di Mataram, Kamis.
"Workshop" sistem MRV karbon itu diselenggarakan oleh Pusat Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak) Kementerian Kehutanan (Kemhut) bekerja sama dengan Dinas Kehutanan Provinsi NTB.
Chairil mengatakan, mekanisme REDD plus diimplementasikan jika diyakini tingkat penyerapan karbon melalu konservasi, pengelolaan hutan lestari dan peningkatan cadangan-cadangan karbon hutan cukup signifikan.
Upaya konservasi, pengelolaan hutan lestari dan peningkatan cadangan pangan ditempuh jika tingkat kerusahan lahan kawasan hutan memungkinkan.
"REED plus harus didukung lahan yang memungkinkan baru bisa, itu kerusakan kawasan hutan tidak parah, sehingga kalau dilanjutkan dengan mekanisme REDD plus maka menjadi tidak menarik," ujarnya.
Dengan demikian, program uji coba pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di Aiberik, Pulau Lombok, tidak lagi mengarah ke implementasi REDD plus.
Seperti diketahui, Kementerian Kehutanan RI dan KOICA sudah menjalin kerja sama bidang kehutanan yang dikenal dengan Aforestasi dan Reforestasi (A/R) melalui mekanisme Mekanisme Pembangunan Bersih atau Clean Development Mechanism (CDM), sejak beberapa tahun lalu.
Program A/R dengan mekanisme pendanaan CDM itu mengarah kepada pengembangan kawasan hutan kemasyarakatan, yang akan diimplementasikan melalui mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang atau Reducing Emission from Deforestation and Degradation in Developing Countries (REDD) plus.
Program A/R merupakan pengembangan dari mekanisme REDD yang dianggap kurang sempurna karena deforestasi dan degradasi hutan memang mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) tetapi tidak meningkatkan kemampuan hutan itu sendiri untuk melakukan sekuestrasi atau penyerapan karbon.
Oleh karena itu muncullah mekanisme REDD-plus yang bukan hanya memberikan insentif untuk pengurangan deforestasi dan degradasi hutan, tetapi juga peningkatan penyerapan karbon melalu konservasi, pengelolaan hutan lestari dan peningkatan cadangan-cadangan karbon hutan di negara-negara berkembang.
Diyakini emisi karbodioksisa (CO2) dari deforestasi mencapai 20 persen, dan untuk mengurangi emisi, upaya utamanya yakni CDM, teknologi hijau, konservasi hutan, aforestasi dan reforestasi, serta REDD plus.
Hanya saja, uji coba program REDD plus di kawasan hutan Airberik, Lombok Tengah, NTB itu, tidak perlu dilanjutkan.
Solusi alternatifnya, yakni pemberian insentif untuk pengurangan deforestasi dan degradasi hutan melalui mekanisme CDM pola hutan kemasyarakatan atau tidak sampai program REDD plus.
"Jadi, akan lebih diarahkan kepada pengembangan kapasitas masyarakat di sekitar kawasan hutan tersebut untuk tetap menjaga hutannya sambil mengusahakan agroforestrinya, seperti menanam pisang, ubi, coklat dan tanaman pangan lainnya," ujar Chairl.
Untuk itu, KOICA akan membangun kapasitas SDM masyarakat sekitar kawasan hutan itu terkait program pemberdayaan masyarakat. (*)