KARTINI YANG MEMENJARAKAN 16 KORUPTOR Oleh Anwar Maga

id

Setiap tanggal 21 April bangsa Indonesia memeringati Hari Kartini sebagai wujud penghormatan kepada Raden Adjeng Kartini, tokoh emansipasi wanita Indonesia yang mendobrak belenggu terhadap wanita.

Sebelumnya, wanita hanya sosok yang identik dengan tukang masak, sehingga tidak perlu bersekolah, dan urusan sekolah atau pendidikan hingga urusan pemimpin diklaim sebagai hak kaum laki-laki.

Berkat perjuangan Kartini, wanita Indonesia mendapat pengakuan dan kedudukan yang sejajar dengan laki-laki dan memiliki hak yang sama dalam berbagai hal.

Hari demi hari, sosok Kartini bermunculan di mana-mana dan gambaran wanita era sebelum Kartini dengan streotip perempuan lemah, tidak berdaya dan harus patuh pada laki-laki, makin ditinggalkan.

Wanita yang diidentikkan dengan sosok konsumtif dan terpenjara dalam lingkup domestik pun perlahan-lahan terhapus seiring dengan kemajuan zaman.

Kini, wanita karier dan berprestasi di berbagai bidang semakin tumbuh subur, bahkan cukup banyak yang tampil sebagai "super woman" atau wanita yang mampu menjalankan peran laki-laki dalam mencari nafkah.

Bahkan, cukup banyak yang menjadi "panglima" untuk mengadili orang-orang yang bersalah, baik itu kaumnya sendiri maupun kaum laki-laki, yang terindikasi melakukan tindak pidana.

Di Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) terdapat lima orang hakim wanita dari belasan orang hakim di pengadilan Kelas I-A itu.

Lima orang hakim itu yakni Surya Yulie Hartanti, SH, Indria Miryani, SH, Harini, SH, Arini, SH dan Erly Soelistyarini, SH.

Kartini-kartini masa kini itu mampu berkiprah di bidang penegakan hukum hingga memenjarakan 16 orang koruptor yang merampas uang negara demi kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

Tiga dari lima orang hakim wanita itu masing-masing Surya Yulie Hartanti, SH, Indria Miryani, SH, dan Harini, SH, telah bersertifikat hakim tindak pidana korupsi (tipikor).

Para hakim wanita itu sudah lebih dari dua tahun menjadi tim majelis hakim untuk mengadili para koruptor yang melakukan tindak pidana di wilayah hukum PN Mataram (Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat).

Sejak Oktober 2008 hingga Maret 2009 mereka sudah menjebloskan 16 orang koruptor ke penjara dengan masa hukuman masing-masing satu hingga enam tahun.

Menurut Ketua PN Mataram, Suryanto, SH, M.Hum, 16 orang pelaku tindak pidana korupsi itu divonis majelis hakim pada bulan Oktober 2008 dan Januari hingga Maret 2009.

Namun, semua perkara korupsi itu mulai disidangkan di tahun 2008 yang dikemas dalam 14 berkas perkara.

"Ada dua berkas perkara yang masing-masing melibatkan dua terdakwa sehingga 14 berkas perkara itu melibatkan 16 terdakwa tindak pidana korupsi," ujarnya.

Suryanto mengatakan, dari 16 orang pelaku tindak pidana korupsi yang divonis beragam yakni 1-6 tahun penjara di tingkat Pengadilan Negeri itu, delapan orang di antaranya melanjutkan perkara tersebut ke tingkat Pengadilan Tinggi (PT) dan Mahkamah Agung (MA).

Empat terdakwa yang divonis para Kartini masa kini itu mengajukan banding, namun PT NTB memperkuat putusan hakim PN Mataram sehingga mereka mengajukan kasasi ke MA.

Sementara empat tervonis lainnya juga mengadukan banding ke PT NTB dan kini sedang dalam proses persidangan.

Delapan terdakwa lainnya yang juga divonis para Kartini itu menyatakan pikir-pikir, namun pada akhirnya tidak mengajukan banding sehingga putusan terhadap delapan terdakwa itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Selama tahun 2008 PN Mataram menerima penyerahan 16 berkas perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan 18 terdakwa untuk disidangkan karena dua berkas masing-masing melibatkan dua terdakwa.

Dari 16 berkas perkara dengan 18 terdakwa itu, tiga berkas perkara dengan tiga terdakwa dirampungkan melalui putusan pada Oktober 2008, dan ketiga terdakwanya mengajukan banding hingga kasasi.

Sementara 11 berkas perkara lainnya dengan 13 terdakwa divonis pada bulan Januari hingga Maret 2009, lima terdakwa di antaranya mengajukan banding dan delapan terdakwa menerima putusan tersebut.

Dua berkas perkara dengan dua terdakwa masih dalam proses persidangan di PN mataram, diperkirakan Mei atau Juni mendatang dapat dirampungkan.

"Dari dua terdakwa itu, seorang di antaranya merupakan mantan Gubernur NTB yakni Drs H. Lalu Serinata yang persidangannya masih dalam tahapan pemeriksaan saksi, sementara seorang terdakwa lainnya yakni M. Syaefuddin Saleh, ST, tinggal menunggu putusan, namun yang bersangkutan kini sedang sakit keras," ujar Suryanto.

Kerja keras

Para hakim wanita itu telah mampu menjalankan tugas yang dulunya hanya diperankan oleh kaum lak-laki, termasuk bersidang hingga larut malam karena perkara yang ditangani kian menumpuk di meja kerja.

Meskipun jauh dari suami karena menjalankan tugas di daerah lain, Harini, SH dan rekannya Surya Yulie Hartanti, SH, mengaku, masih dapat menjalankan tugas negara sesuai tupoksinya.

"Itu sudah menjadi tugas kami, meskipun berat karena kadang-kadang harus bersidang sampai malam, bahkan pernah bersidang hingga pukul 23.00 Wita dan listrik padam saat sidang diwarnai ketegangan," ujarnya.

Pekerjaan hakim pun kerap harus ekstra hati-hati baik saat berada di rumah, di ruang publik maupun perjalanan menuju tempat kerja.

Dua Kartini masa kini itu mengaku belum pernah mendapat ancaman ataupun teror meskipun telah memvonis terdakwa dalam perkara yang ditanganinya hingga enam tahun penjara.

Tanggal 19 Maret lalu, kedua hakim wanita itu bersama hakim lainnya menjatuhkan vonis enam tahun penjara dan denda sebesar Rp200 juta subsidier dua bulan kurungan, serta mengganti kerugian negara sebesar Rp3,5 miliar, terhadap terdakwa Baiq Magdalena.

Mantan Kepala Dinas Kesehatan NTB itu divonis terbukti secara sah dan meyakinkan telah menerima pemberian hadiah sebesar Rp3,5 miliar yang berhubungan dengan jabatannya.

Dari sejumlah pertimbangan, Magdalena divonis melanggar pasal 12 huruf b junto pasal 18 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Terdakwa dan penasihat hukumnya tidak menerima putusan itu sehingga mengajukan banding saat itu juga. Sanak keluarganya pun berang saat menyaksikan majelis hakim menyatakan putusannya itu.

"Sejauh ini, kami belum pernah diancam atau diteror, kami selalu yakin apa yang menjadi keputusan kami (majelis hakim) sudah ada unsur kemanusiaan seperti kasihan atau rasa iba lainnya," ujar Harini, dibenarkan Surya Yulie Hartanti.

Kedua hakim wanita itu pun mengaku harus selalu "enjoy" baik di kantor maupun di rumah serta di ruang publik, agar hidup menjadi berarti.

Mereka sudah menjadi Kartini masa kini yang bekerja untuk menegakkan hukum, maka mereka pun harus bersedia menerima risiko apa pun sebagai akibat dari keputusannya dalam persidangan.

Lalu, apa kata mereka soal Kartini masa depan yang kini hidup dalam kondisi serba mudah seiring dengan perkembangan zaman?

Harini dan Surya Yulie menyarankan wanita generasi muda penerus bangsa dewasa ini harus lebih tekun belajar meraih cita-cita demi masa depannya dan demi kemajuan bangsa dan negara.

"Memang di zaman sekarang, semua serba mudah karena kemajuan teknologi, namun tidak berarti harapan orangtua dan sanak keluarganya agar wanita pun harus mampu berkiprah di dunia laki-laki tidak bisa diraih," ujar Harini.

"Mungkin itu juga yang menjadi harapan Raden Adjeng Kartini saat memperjuangkan emansipasi wanita dan mendobrak belenggu terhadap wanita di masa lalu," ujar Surya Yulie. (*)