Mataram, 1/2 (ANTARA) - PT Angkasa Pura I selaku pengelola Bandara Internasional Lombok (BIL) mengamankan satu unit pesawat Batavia Air jenis Boing 737 yang dibiarkan di lokasi parkir bandara, sejak pendaratan pada Rabu (30/1) malam.
"Pesawat itu diamankan oleh PT Angkasa Pura I BIL, karena sejak 31 Januari 2013 tidak dioperasikan lagi dan dibiarkan di lokasi parkir bandara," kata Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) Provinsi NTB Ridwan Syah, di Mataram, Jumat.
Ridwan mengaku telah berkoordinasi dengan General Manager (GM) Angkasa Pura I BIL terkait pesawat Batavia Air itu, dan diperoleh kejelasan bahwa upaya pengamanan dimaksudkan agar tidak mengganggu aktivitas penerbangan di bandara tersebut.
Pesawat tersebut ditinggalkan di lokasi parkir tempat menurunkan penumpang terakhir pada Rabu (30/1) malam, yang semestinya berangkat lagi sesuai rute penerbangan Lombok-Surabaya-Jakarta, pada Kamis (31/1) pagi, namun tidak terlaksana terkait pailitnya manajemen Batavia Air.
Pilot dan co-polit serta krunya juga tidak menginformasikan kepada pengelola Bandara Internasional Lombok itu, atau pergi begitu saja.
Karena itu, pesawat yang dapat mengangkut lebih dari 150 orang itu digiring ke lokasi yang relatif jauh dari lokasi yang biasanya menjadi tempat menurunkan penumpang pesawat.
"Jadi, diamankan, bukan disita. Kecuali aset lain milik manajemen Batavia Air yang ada di bandara itu yang disita. Mungkin terkait penggunaan bandara," ujarnya.
GM PT Angkasa Pura BIL Pujiono, belum bisa dikonfirmasi. Ia tidak berada di tempat tugas, dan telepon selularnya tidak aktif saat dihubungi.
Seperti diketahui, pada 30 Januari 2013, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyatakan perusahaan maskapai penerbangan Batavia pailit karena tak mampu membayar utang 4,69 juta dolar AS kepada perusahaan sewa pesawat International Lease Finance Corporation (ILFC).
Atas putusan pengadilan itu, terhitung Kamis (31/1) pukul 00.00 WIB, maskapai penerbangan Batavia Air menghentikan seluruh aktivitas penerbangan di Indonesia.
Putusan pengadilan itu atas gugatan ILFC yang telah memenuhi berbagai persyaratan mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, pada 20 Desember 2012.
Gugatan tersebut merujuk pada perjanjian sewa-menyewa pesawat yang tertuang dalam Aircraft Lease Agreement tertanggal 20 Desember 2009, yang menyatakan ILFC menyewakan sebuah Airbus A330-202 serial pabrikan 205 dengan dua mesin General Electric CF6-80E1A4 dengan harga sewa senilai 2.202.647,83 juta dolar AS dalam jangka waktu sewa selama enam tahun, atau sejak 28 Desember 2009 hingga 27 Desember 2015.
Pembayaran sewa dilakukan secara bertahap dalam enam kali. Selain biaya sewa, maskapai yang dikenal dengan slogan Trust Us to Fly ini juga diharuskan membayar biaya sewa tambahan, dalam bentuk cadangan rangka pesawat udara, cadangan pemilikan kinerja mesin, cadangan LLP mesin, dan cadangan peralatan pendaratan dengan nilai 2.326.184.63 dolar AS. Biaya cadangan ini akan meningkat sebesar 3 persen per 1 Januari 2010.
Jumlah uang yang harus ditanggung Batavia Air bertambah atas adanya bunga keterlambatan pembayaran sebesar 159.231,61 dolar AS.
Berdasarkan perjanjian dan aturan main sewa-menyewa pesawat itu, maskapai penerbangan yang didirikan sejak 2002 ini memiliki total utang mencapai 4.688.064,07 dolar AS.
Sebelum jatuh tempo, ILFC menyatakan telah mengirimkan surat teguran sebanyak dua kali, yaitu 12 September 2012 dan 25 September 2012. Namun, Batavia tidak menggubris surat somasi itu.
Selain ILFC, Batavia Air juga dilaporkan memiliki tagihan kepada Sierra Leasing Limited yang juga berasal dari perjanjian sewa-menyewa pesawat. Utang yang jatuh tempo pada 13 Desember 2012 tersebut dilaporkan sebesar 4,94 juta dolar AS.
Terhadap hal ini, Sierra juga telah mengirimkan surat somasi dua kali pada tanggal yang sama dengan ILFC, yaitu 12 September 2012 dan 25 September 2012. Namun, somasi itu juga diabaikan Batavia.
Dengan demikian, dari dua kreditor ini saja, Batavia Air memiliki total utang jatuh tempo sebesar 9,63 juta dolar AS, sehingga masalah tersebut berujung di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. (*)