Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum dari Universitas Indonesia (UI) Djarot Dimas Achmad Andaru menekankan perlunya pengendalian dalam penyediaan alat kontrasepsi bagi usia remaja dan sekolah.
Djarot mengatakan penyediaan alat kontrasepsi perlu dikendalikan agar penerapannya tidak kontraproduktif dengan tujuan dibuatnya PP Nomor 28 tahun 2024 tentang Kesehatan yakni mencegah masalah kesehatan akibat hubungan seksual dan kehamilan di usia dini.
"Memang ada kebutuhan, ada urgensi dengan tingginya angka hubungan seks pada usia remaja maupun sekolah. Ini menyebabkan berbagai masalah kehamilan di usia dini maupun penyebaran penyakit menular seksual dan infeksi menular seksual termasuk HIV di kalangan remaja cukup tinggi," kata Djarot dalam sebuah diskusi di Jakarta Selatan, Jumat.
"Tingginya angka pernikahan dini ini menimbulkan kemiskinan terstruktur, SDM rendah, stunting dan sebagainya," imbuhnya.
Djarot memaparkan penyediaan alat kontrasepsi untuk usia remaja dan sekolah dapat dikendalikan agar tidak kontraproduktif melalui tiga cara.
Pertama, mengutamakan penguatan moral dan nilai agama serta budaya untuk membangun karakter luhur bangsa.
Kedua, mengutamakan upaya promotif dan preventif berupa edukasi seksual berdasarkan moral dan nilai agama serta budaya.
Ketiga, menjadikan penyediaan alat kontrasepsi sebagai upaya rehabilitatif bagi masyarakat usia remaja dan sekolah yang sudah menikah baik sah secara agama maupun secara ketentuan negara.
"Itu wajib dan harus secara tepat diawasi bagi orang-orang atau remaja yang belum mendapatkan ikatan pernikahan sah baik secara agama maupun pemerintah. Mereka tidak boleh mengaksesnya dalam kesempatan apapun," ujar Djarot.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menegaskan prinsip pemberian kontrasepsi untuk mencegah kehamilan pasangan usia subur di bawah 20 tahun.
Baca juga: Pakar kritisi wewenang Kejaksaan penyidik Tipikor
Baca juga: Pakar mengingatkan Menko Polhukam Hadi perhatikan saran Tim Percepatan Reformasi Hukum
"Pemberian kontrasepsi di BKKBN selama ini prinsipnya untuk pasangan usia subur (PUS), dan PUS saat ini ada yang berusia 14-16 tahun, sedangkan BKKBN lebih menyosialisasikan untuk tidak hamil dulu sebelum usia 20 tahun," ujar Hasto.
Ia menyebutkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), setiap 1.000 perempuan di Indonesia, yang sudah pernah hamil dan melahirkan di usia 15-19 tahun ada 26 orang, sedangkan berdasarkan data BKKBN, setiap 1.000 perempuan, yang sudah pernah hamil dan melahirkan pada usia yang sama ada 19 orang.
Hasto menjelaskan berbagai risiko yang terjadi akibat kehamilan yang terlalu muda, di antaranya dapat meningkatkan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB), kelahiran prematur, hingga bayi dengan berat badan bayi lahir rendah (BBLR). Untuk itu, ia menekankan perlunya UU dan PP tentang Kesehatan dilaksanakan secara proporsional.