Pakar kritisi wewenang Kejaksaan penyidik Tipikor

id kasus tipikor, kejaksaan agung, perkara korupsi, pakar hukum pidana, uii yogyakarta, prof mudzakir

Pakar kritisi wewenang Kejaksaan penyidik Tipikor

Sidang pemeriksaan saksi kasus pemerasan dan gratifikasi lingkungan Kementan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (27/5/2024). (ANTARA/Agatha Olivia Victoria)

Jakarta (ANTARA) - Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Mudzakir mengkritisi tugas dan kewenangan Kejaksaan sebagai penyidik perkara tindak pidana korupsi (Tipikor).

Mudzakir dalam keterangannya di Jakarta, Senin, mengatakan perkara korupsi menjadi perkara pidana yang seksi sehingga menjadi rebutan para penegak hukum, terutama Kejaksaan.

“Pertanyaan akademiknya adalah, mengapa jaksa serius mempertahankan wewenang menyidik dalam perkara tipikor dan tidak tertarik dalam perkara lain, misalnya pembunuhan, perampokan, atau pembegalan dan tidak tertarik menyidik perkara terorisme,” katanya.

Menurut dia, jika jaksa menjadi penyidik dalam perkara tipikor memang menimbulkan permasalahan dalam penegakan hukum.

“Karena wewenang menyidik tunggal, yaitu tipikor, maka setiap perkara yang dilaporkan kepada KPK dan jaksa konklusinya selalu tipikor, karena wewenangnya tunggal. Hanya tipikor (tipikorisasi),” katanya.

Dia mengatakan, hingga saat ini KPK, Kejaksaan sama-sama memiliki wewenang memeriksa perkara tipikor. Namun, sering kali ada perkara yang bukan tipikor malah dibuat menjadi perkara tipikor.

“Kredit macet, (dibuat) tipikor, padahal sudah ada jaminan harta benda di bank. Di mana letak kerugian keuangan negara dan tipikornya? kan dasar pinjamannya perdata, yaitu perjanjian kredit dengan jaminan,” katanya.

Sehingga, lanjut dia, ketika sampai pada tahap persidangan, hakim pun menolak dan membebaskan para terdakwa karena menilai perkara tersebut hanyalah sebatas perkara perdata.

Dia mencontohkan kasus Surya Darmadi di mana kerugian negara dalam dugaan korupsi dan pencucian uang PT Duta Palma Group lebih dari Rp104,1 triliun yang ditangani Jampidsus Kejagung Febrie Andriansyah justru dikurangi hukuman pidana uang penggantinya dari Rp42 triliun menjadi Rp2 triliun saja oleh Mahkamah Agung (MA).

Baca juga: Tekad menuntaskan kasus tipikor setelah tahapan Pemilu 2024
Baca juga: Hakim vonis 4 tahun terdakwa korupsi BPR Dompu

Untuk itu, Mudzakir menilai, lembaga pengawas seperti Komisi Kejaksaan RI dan Dewan Pengawas KPK RI masih kurang optimal dalam melakukan tugas dan fungsinya, sehingga tidak ada mekanisme kontrol yang berjalan.

“Menurut analisis saya begitu (pengawasan kurang optimal), sebagai pengawal dan pengawas lembaga profesional di bidang penegakan hukum yakni Dewas pada KPK dan Komisi Kejaksaan pada Kejaksaan RI,” ujarnya.