Jakarta (ANTARA) - Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyarankan pendaftaran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) untuk Jaminan sosial ketenagakerjaan (Jamsostek) dilakukan secara bertahap oleh pemerintah.
"Pemerintah kan selama ini alasannya data, belum valid dan lain sebagainya, padahal data itu menurut saya bertahap saja, kalau misalnya di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) ada 20 juta penerima, ya didaftarkan dulu saja 5 juta," kata Timboel saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Demi mempercepat realisasi PBI Jamsostek, kata dia, pemerintah bisa menggunakan data-data yang sudah ada di kementerian/lembaga, utamanya yang memuat data-data pekerja di sektor informal seperti nelayan atau petani.
"Kita bisa lihat kan di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ada data nelayan, pakai saja dulu itu, di Kementerian Pertanian (Kementan) ada juga data petani miskin, di dinas-dinas sosial ada data pemulung siapa, tukang becak siapa, kan ada jelas data-data di DTKS itu bisa digunakan terlebih dahulu, sambil cleansing atau pembersihan data PBI Jamsostek yang bermasalah," ujarnya.
Selain itu ia juga menegaskan pemberian jaminan sosial ketenagakerjaan telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (SJSN).
"Jadi ini ada dasar landasan yuridisnya, di Pasal 14 dan 17 UU SJSN, dimana Pasal 14 ayat (1) menyebutkan pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada BPJS," ucapnya.
Selain itu, lanjut dia, berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 pada tahun 2024 dijanjikan akan diberikan kepada 20 juta penerima.
"Namun enggak juga diberikan hingga sekarang, ada Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2021 juga mengamanatkan tentang itu, tidak diberikan juga. Nah, tentunya ini kan menjadi persoalan bahwa pasal 34 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, negara mengembangkan sistem jaminan sosial dengan memberdayakan masyarakat," tuturnya.
Dengan seluruh peraturan tersebut, kata dia, proses pemberian PBI Jamsostek, baik Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), hingga Jaminan Hari Tua (JHT), merupakan amanat konstitusi, sehingga seluruh rakyat semestinya berhak atas jaminan sosial tersebut.
Dari sisi keuangan, ia juga mendorong Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mewajibkan di APBN agar mengalokasikan anggaran untuk PBI Jamsostek, mengingat selama ini kebijakan tersebut hanya bersifat sukarela dilakukan di daerah dengan alokasi dari APBD.
"Pemerintah daerah memang belum semuanya, karena dia sukarela, Jakarta saja belum, ini kan juga persoalan bahwa memang masyarakat miskin di Jakarta belum menjadi subjek perlindungan. Jadi maksud saya, lakukan saja dulu bertahap data yang sudah valid, dijalankan dulu sembari data yang ada di DTKS divalidasi lagi, sampai menjurus kepada 20 juta penerima tersebut (berdasarkan RPJMN 2020-2024)," paparnya.
Baca juga: Ribuan volunteer Pertamina Grand Prix of Indonesia 2024 terlindungi jaminan sosial
Ia menegaskan jika pendaftaran PBI Jamsostek dilakukan secara bertahap, maka bisa menggerakkan ekonomi masyarakat miskin.
"Kita juga enggak menuntut sekaligus, bertahap asal ada perlindungan, sehingga ketika mereka nanti kecelakaan, masyarakat miskin ini dirawat biaya dari BPJS, mereka kalau enggak bekerja kan dapat surat Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB) yang dapat itu Rp1 juta per bulan, selama 12 bulan, paling tidak setiap bulan ini dapat Rp1 juta rupiah kan bisa menggerakkan ekonomi dia, membiayai keluarganya," tuturnya.
Baca juga: BPJS Ketenagakerjaan NTB peringati Hari Pelanggan Nasional dengan pelayanan spesial
Ia juga mendorong revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 76 tahun 2015 agar JKK, JKM, dan JHT juga dimasukkan sebagai landasan hukum, sehingga tidak terbatas pada pemberian Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) saja.
"Kalau program JKK, JKM, JHT itu Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan uang kepada Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Sosial menyerahkan data, nah nanti Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) itu mengharmonisasi regulasi, jadi yang kita dorong adalah revisi PP 76/2015 yang sekarang hanya ada JKN, kita masukkan JKK, JKM, dan JHT, agar itu menjadi landasan yuridis dan regulasinya," kata Timboel Siregar.