Polda NTB pantau penanganan kasus korupsi obat

id dikes bima,Dinkes Bima,Sumbawa

Polda NTB pantau penanganan kasus korupsi obat

Ilustrasi Polisi (1) (1/)

Mataram (ANTARA) - Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat, memantau penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan obat di Dinas Kesehatan Bima yang sedang diselidiki Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Kabupaten Bima.

Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda NTB Kombes Pol Syamsudin Baharuddin di Mataram, Selasa, mengatakan bahwa penanganannya menjadi perhatian karena nilai pengadaannya yang cukup besar mencapai Rp3,6 miliar.

"Jadi kita asistensi terus penanganannya. Ini saja tim Polres Kabupaten Bima sedang mengumpulkan data dan keterangan," kata Syamsudin.

Menurut informasinya, Polres Kabupaten Bima telah menerbitkan surat perintah penyelidikannya pada 7 Maret 2018.

Surat tersebut berkaitan dengan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi pengadaan obat-obatan dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) pada Dikes Bima, yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Tahun Anggaran 2018.

Salah satu pihak yang diagendakan dalam tahap penyelidikannya, yakni permintaan keterangan Kepala UPT Instalasi Farmasi Kesehatan (IFK) Bima, Nurkasna Wahyuni.

Dalam pengadaan obat ini ada dugaan pembengkakan anggaran dari usulan semula. Selain itu, jenis obat yang dibelanjakan diduga tidak sesuai dengan usulan puskesmas.

Pengadaan obat awalnya diusulkan oleh 21 puskesmas di Kabupaten Bima. Tindak lanjut dari usulan tersebut, UPT IFK Bima membuat perencanaan dan merekap kebutuhan sesuai besar anggarannya yang mencapai Rp3,2 miliar.

Perencanaan itu dibuat IFK Bima pada Desember 2017. Setelah perencanaannya rampung, awal Tahun 2018, IFK Bima menyerahkan hasil rekap perencanaannya kepada Dikes Kabupaten Bima.

Namun dalam proses pengadaannya, Dikes Bima tidak melibatkan IFK selaku UPT. Begitu juga dengan daftar sebagian obat yang dibelanjakan, diduga bukan berdasarkan pengajuan yang diusulkan 21 Puskesmas.

Namun muncul data tambahan soal BMHP yang sebelumnya tidak pernah diusulkan oleh IFK Bima. Hal tersebut menyebabkan pembengkakan angka yang nilainya mencapai Rp3,6 miliar.