Washington (ANTARA) - China tidak memulangkan para pekerja Korea Utara sesuai tenggat pada Desember sehingga melanggar aturan sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa, kata seorang pejabat tinggi AS, Rabu (22/1).
Pejabat itu menambahkan bahwa pelanggaran seperti itu membuat Washington memasukkan dua entitas, yang terlibat dalam pengiriman tenaga kerja Korut, ke dalam daftar hitam.
Resolusi Dewan Keamanan PBB 2017, yang didukung China, mewajibkan semua negara memulangkan pekerja Korea Utara paling lambat pada 22 Desember. Resolusi itu dikeluarkan guna menghentikan Korut mendulang devisa untuk mendanai program nuklir dan rudal balistiknya.
Amerika Serikat memperkirakan bahwa Pyongyang menghasilkan dana lebih dari 500 juta dolar AS (sekitar Rp6,8 triliun) per tahun dari hampir 100.000 pekerja Korut di luar negeri. Sekitar 50.000 di antara mereka bekerja di China dan 30.000 lainnya di Rusia.
"Banyak - sebagian besar ... menganggap serius dan memindahkan mereka," kata seorang pejabat tinggi Gedung Putih kepada para wartawan. Ia mengacu pernyataannya pada kewajiban memulangkan pekerja Korut.
"Tapi kita tahu bahwa satu negara tertentu memiliki sebagian besar pekerja dari Korea Utara dan tidak mengambil tindakan, oleh karena itu langkah yang kita ambil adalah menerapkan sanksi."
Saat menjawab pertanyaan, pejabat tersebut membenarkan bahwa negara yang ia maksud adalah China.
Washington pekan lalu menjatuhkan sanksi terhadap dua entitas Korea Utara, termasuk tempat penginapan yang berpusat di China, Beijing Sukbakso.
Menurut AS, kedua entitas itu ikut melakukan pelanggaran dengan mengirimkan orang-orang Korea Utara untuk bekerja di luar negeri. Tindakan itu merupakan pelanggaran terhadap aturan sanksi PBB.
Semua negara diwajibkan menyampaikan laporan paruh waktu kepada komite sanksi Korea Utara, yang berada di bawah Dewan Keamanan PBB, awal tahun lalu. Pelaporan itu merupakan wujud kepatuhan mereka pada resolusi 2017.
Negara-negara sekarang diharuskan menyampaikan laporan akhir pada akhir Maret tentang berapa banyak pekerja Korea Utara yang telah mereka pulangkan.
Menurut laporan paruh waktu dari Rusia, Moskow selama 2018 telah mengirimkan pulang dua pertiga dari 30.000 warga Korea Utara yang bekerja di negara itu.
Sementara itu, Beijing mengatakan pihaknya telah merepatriasi lebih dari setengah jumlah yang ada namun tidak menyebutkan secara rinci jumlah yang dimaksud.
"China akan dengan sungguh-sungguh terus menerapkan kewajiban internasionalnya, melaksanakan repatriasi secara teratur serta menyelesaikan repatriasi tepat waktu," kata misi China di PBB saat itu.
Pejabat Departemen Luar Negeri itu juga mengatakan Washington masih berharap bahwa Korut akan melakukan perundingan menyangkut program nuklirnya, terlepas dari pergantian menteri luar negerinya.
Pekan lalu, Korea Utara mengatakan kepada negara-negara yang memiliki kedutaan di Pyongyang bahwa Ri Son Gwon, seorang perwira tinggi militer dan pejabat Partai Buruh yang berkuasa, telah ditunjuk sebagai menteri luar negeri.
Ketika ditanya apakah kabar itu benar, pejabat AS tersebut mengatakan, "tampaknya, ya."
"Saya tidak punya data yang cukup soal dia ini siapa atau dia mewakili apa," tambahnya.
"Tapi harapannya adalah bahwa mereka akan mengerti betapa penting mengadakan pembicaraan dan membahas hal-hal ini seperti yang kita sepakati dalam perjanjian awal di Singapura," kata pejabat itu.
"Tidak ada keuntungan yang bisa diperoleh kalau tidak berbicara. Ini untuk keuntungan mereka sendiri."
Korea Utara pada Kamis menekankan bahwa pihaknya tidak lagi mengikatkan diri pada komitmen untuk menghentikan uji coba nuklir dan peluru kendali.
Negara itu menyalahkan Amerika Serikat, yang dianggapnya gagal memenuhi tenggat akhir tahun untuk melakukan perundingan nuklir serta bersikap "brutal dan tidak berperikemanusiaan" dengan menerapkan serangkaian sanksi.
Sumber: Reuters