Mataram (ANTARA) - Sejak awal kasus Lutfhi remaja pembawa bendera pada aksi massa pada 25 September dan awal Oktober 2019 memunculkan pro kontra.
Dimana kejadian ini bermula dari kegaduhan elit politik di DPR yang berakibat menjelang ahir masa jabatan, dimana seharusnya para wakil rakyat mempunyai kewajiban untuk membuat rasa nyaman dan aman pada warganya malah melakukan "akrobat politik", yang terjadi malah hal -hal yang bertentangan dengan kewajibannya dengan mengeluarkan kebijakan yang dianggap oleh masyarakat bukanlah berpihak pada masyarakat kebanyakan, cendrung jadi pemicu kegaduhan dan kegelisahan warganya.
Peristiwa inilah causalitasnya (sebab akibatnya) mengetahui motif peristiwa ini, hal esensi dan utama karena adalah bagian dari wujud tanggung jawab penyelenggara negara membuat situasi yang nyaman bagi warganya dengan kerja kerja dan produk kebijakan yang berpihak pada rakyat, karena sejatinya perlawanan masyarakat itu muncul karena rasa ketidakadilan.
Perdebatan dialektika dari kasus ini lebih lanjut mulai terjadi sejak Lutfhi ditangkap dan ditahan, ditinjau dari tujuan pemidanaan termasuk pelanggaran hukum acara pidana dalam tahap penyidikan, malah mengejutkan telah ditemukan pula berdasarkan fakta dipersidangan bahwa kualitas saksi fakta yang diajukan jaksa kurang meyakinkan, dimana saksi tidak melihat langsung akan hal apa apa yang dituduhkan pada remaja ini.
Termasuk tidak mampu menjelaskan rinci detail tentang kesaksiannya termasuk minimnya barang bukti pendukung berupa sarana yang digunakan untuk melawan petugas, ataupun fakta yang ada keterkaitan dengan kesalahan terdakwa.
Penyimpangan hukum acara pidana pun nyata-nyata terjadi karena dalam persidangan pemeriksaan terdakwa diketahui bahwa dalam pemeriksaaan terhadap dirinya ada kekerasan dan intimidasi sehingga keterangan yang diberikan dalam keadaan tidak bebas, terpaksa dan dirinya merasa terancam (vide pasal 52 Jo Pasal 117 KUHAP).
Maka jika benar keterangan tersebut dan terbukti dan hakim yakin ada perilaku kekerasan dalam penyidikan maka akibat hukumnya adalah bahwa berita acara pemeriksaan (bap) yang dibuat oleh kepolisian menjadi tidak sah, karena BAP tidak sah maka surat dakwaanpun menjadi batal.
Namun dalam praktiknya masih banyak hakim banyak hakim yang "kurang berminat" untuk berani membatalkan BAP yang dibuat dengan cara-cara kekerasan, karenanya disinilah perlu terobosan hakim guna mengkoreksi sistem peradilan pidana.
Khususnya menguji kebenaran materil termasuk membangun kesadaran hukum aparatur sekaligus mengantisipasi terjadi tindak kekerasan dan ancaman bagi tersangka ditingkat kepolisian karena masih ada terjadi dalam praktik pemeriksaan dengan cara kekerasan dan intimidasi ini bertentangan dengan semangat hukum acara pidana, UU HAM dan Konvensi Anti Kekerasan yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, yang semestinya aparat hukum harus tunduk dan patuh sebagai salah satu penyelenggara negara dari bangsa yang bermartabat dan menyandang negara hukum.
Meskipun demikian hakim dapat pula dengan menggunakan kewenangannya dan keyakinannya setelah mensinkronkan dengan alat bukti yang sudah divalidasi di persidangan jika perlu panggil kembali penyidik yang memeriksa berita acara pemeriksaannya guna mengetahui hal-hal apa yang terjadi dan dilakukan oleh polisi sebelum melakukan pemeriksaan pada diri tersangka di tingkat kepolisian.
Dengan memperhatikan pro kontra dan dialektika atas kasus ini termasuk perkembangan hukum, sistem teknologi informasi dan rasa keadilan masyarakat setelah disandingkan dengan bukti dan fakta di persidangan tentunya ada pergulatan dalam hati hakim karena saat ini persidangan akan memasuki fase tuntutan jaksa atas segala dakwaan, pledoi dan putusan, menuju tahap akhir persidangan.
Maka jika nanti berdasarkan bukti dan keyakinan hakim menemukan tidak ada perbuatan dan kesalahan dan tidak dapat dibuktikan causalitas, perbuatan dan kesalahannya sejatinya Lutfhi harus dibebaskan atau setidaknya kalaupun di formulasikan ada peristiwa pidana dapat pula menjatuhkan putusan onslag atas diri Lutfhi.
Jadi melalui moment kasus ini dapat menjadi peringatan sekaligus koreksi diri bagi penyelenggara negara, akan tanggung jawabnya yang harus menjamin dan menjadi kebutuhan dasar akan hak asasi warga, rasa nyaman, aman buat masyarakat bukan dengan membuat memicu kegaduhan, kegelisahan masyarakat sekaligus bagi aparatur hukum dapat lebih arif untuk menerapkan tujuan pemidanaan bukan asal diterapkan.
Serta bagi jaksa tidak terlalu mudah menerima perkara dari kepolisian tanpa teliti secara detail dan latar belakang kejadian yang lengkap dan verifikasi alat bukti.
Akhirnya publik saat ini hanya dapat berharap banyak melalui kewibawan dan kekuatan hati majelis hakim untuk membuat hukum (judge as law maker) agar dapat melihat perkara ini secara utuh dan menggali semua sebab akibat atas kasus ini termasuk motifnya.
Sebesar apa kesalahan apa yang dilalukan pelaku dengan hukuman yang akan dijatuhkan, mempertimbangkan alat bukti guna menghasilkan putusan yang adil dan bijaksana sesuai tujuan hukum agar hukum tidak dimaknai masyarakat rasa "hambar".
Setidaknya dari putusan tersebut nantinya akan menjadi pelajaran bagi semua pihak termasuk masyarakat terutama bagi penyelenggara negara bahwa adalah tanggung jawab penyelenggara negara untuk menjamin situasi yang baik, aman sejahtera bagi warganya dalam kehidupan negara.
Karena perlawanan muncul itu biasanya karena ada rasa ketidakadilan, padahal diketahui sampai saat ini keadilan di negeri ini masih sangat mahal harganya.
Azmi Syahputra
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Bung Karno