Yogyakarta (ANTARA) - "Kerokan" yang biasa dilakukan orang Jawa dipercaya mampu mengembalikan keseimbangan individu, baik fisik maupun metafisik, kata antropolog dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Atik Triratnawati.
"Dalam mengatasi masuk angin, orang Jawa menggunakan cara `kerokan` sebagai penyembuhan holistik, yakni berusaha mengembalikan keseimbangan `jagad gedhe` (makrokosmos) maupun `jagad cilik` (mikrokosmos). Artinya, manusia berusaha memperbaiki relasi sosial, baik dengan sesama, lingkungan maupun Tuhan," katanya, di Yogyakarta, Kamis.
Menurut dia dalam diskusi "Masuk Angin: Konsep Jawa Versus Modern dan Implikasi Pengobatannya", penyembuhan holistik melihat manusia secara lengkap. Artinya, pasien bukan hanya sekadar tampilan jasad yang harus dibebaskan dari bakteri maupun penyakit fisik lainnya, melainkan lebih dari itu.
"Dalam pengobatan holistik tidak hanya individu yang diperlakukan secara pribadi, tetapi juga ada unsur merawat, karena individu yang tidak mampu merawat diri sendiri, dibantu orang lain. Dalam hal ini kasih sayang akan muncul," katanya.
Ia mengatakan "kerokan" juga mengandung unsur tolong menolong. Meskipun penderita mampu mengerok diri sendiri, ada bagian tubuh tertentu yang harus dikerok oleh orang lain, karena keterbatasan jangkauan tangan manusia.
"Kerokan menunjukkan sifat tolong menolong antarsesama, saat ini diminta mengerok, lain kali ganti akan meminta dikerok. Hal ini menunjukkan bahwa bagi orang Jawa hidup itu tidak mungkin tanpa bantuan orang lain," katanya.
Bahkan, menurut dia, pascapengobatan, perilaku orang Jawa akan berubah lebih pasrah dan sabar atas apa yang akan terjadi, baik kesembuhan maupun ketidaksembuhan. Dengan rasa sugesti yang kuat atas penyembuhan yang mereka lakukan, mampu mempercepat proses kesembuhan.
Ia mengatakan bagi orang Jawa masuk angin telah dianggap sebagai gangguan kesehatan yang sifatnya biasa atau lumrah, bahkan sering dianggap sebagai penyakit harian.
Pemahaman konsep Jawa mengenai masuk angin selalu terkait dengan yang masuk ke dalam tubuh, sehingga seluruh tubuh menjadi dingin.
Angin yang bersifat dingin tersebut jika terdapat dalam jumlah yang tidak seimbang akan menimbulkan gangguan kesehatan. Teori penyebab penyakit ini pun muncul lebih didasarkan pada naturalistik daripada personalistik.
"Bagi orang awam masuk angin dianggap terjadi karena kehujanan, perut kosong, atau pencernaan kurang beres. Namun, bagi orang Jawa justru berbeda, dapat berupa fisik maupun mental bahkan keduanya," katanya.
Hal itu berbeda dengan kalangan medis, yang menganggap masuk angin hanya kumpulan gejala seperti flu, atau penyakit lainnya, sehingga penyembuhannya cenderung menekankan pada aspek klinis yang mandiri dan terpisah dari unsur budaya.
"Untuk angin duduk, kalangan medis menganggap sebagai gangguan pembuluh darah yang jika dibiarkan bisa menjadi serangan jantung," katanya. (*)