Oleh Slamet Hadi Purnomo
Mataram, (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat terus merevitalisasi berbagai potensi perekonomiannya melalui program-program unggulan yang diselaraskan dengan daya dukung yang ada.
Revitalisasi yang kini gencar dilakukan adalah pada sektor pertanian dalam arti luas, yang mencakup tiga komoditas unggulan yakni sapi, jagung, dan rumput laut, atau dikenal dengan program "pijar".
"Berbagai program unggulan yang kami implementasikan diharapkan dapat mendongkrak kemajuan perekonomian daerah," kata Gubernur Nusa Tenggara Barat TGH M Zainul Majdi pada seminar Kebangkitan Ekonomi Nasional dan NTB yang diselenggarakan Bank Indonesia Mataram, di Mataram, akhir Oktober.
Tekad NTB untuk menjadi provinsi yang mampu merevitalisasi pertaniannya sejalan dengan program nasional. Program revitalisasi pertanian sudah berlangsung beberapa tahun lalu, dan kini terus berlanjut.
Revitalisasi pertanian, perkebunan, perikanan gelombang kedua dilakukan dengan sasaran meningkatkan swasembada dan ketahanan pangan yang berkelanjutan serta bisa ikut menjadi cadangan dan pemasok pangan bagi dunia.
Provinsi NTB dulu dikenal dengan julukan Bumi Gogo Rancah (Bumi Gora). Program ini mencuat ketika NTB berupaya bisa memenuhi kebutuhan beras sendiri.
Program ini berhasil dan NTB akhirnya dikenal sebagai salah satu provinsi lumbung beras nasional.
NTB kini berupaya mengembangkan komoditas lain yakni jagung dan rumput laut. Selain komoditas itu, NTB yang secara historis dikenal sebagai sentra ternak sapi, berupaya merevitalisasi potensi tersebut melalui program "Bumi Sejuta Sapi (BSS).
Pelabuhan Ampenan
Jika Pemprov NTB bertekad menjadikan NTB sebagai Bumi Sejuta Sapi, produsen jagung dan rumput laut bukanlah berlebihan. Kata revitalisasi juga bukan pilihan kata yang salah untuk program ini. Sebab, jika dirunut ke belakang, ada benang merah yang mendasarinya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan, revitalisasi adalah proses, cara, perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali. Artinya, peternakan sapi, budi daya jagung maupun rumput laut di NTB telah ada sebelumnya, dan kini digiatkan kembali guna mencapai produktivitas yang optimal guna menggerakkan roda perekonomian masyarakat.
"Secara historis NTB memiliki peluang dalam pengembangan ternak sapi. BSS menjadi program unggulan karena secara historis, kultural, potensi lahan, potensi pakan dan seluruh elemen, sangat mendukung. Diharapkan program ini bisa menjadi pengungkit perekonomian masyarakat NTB," kata Zainul Majdi.
Bukan hanya sapi, NTB juga memiliki potensi untuk pengembangan komoditas jagung maupun rumput laut. Komoditas ini telah lama ada dan diperdagangkan secara luas.
Pelabuhan Ampenan merupakan saksi bisu perdagangan sapi dan produk pertanian lainnya di daerah ini. Ampenan merupakan "Kota Lama" di Mataram, NTB.
Kota ini pernah menjadi pusat perdagangan terbesar di NTB. Bangunan-bangunan tua masih berdiri kokoh hingga kini di kawasan tersebut.
Bahkan, di kawasan pelabuhan ini terdapat kampung-kampung yang bisa jadi juga merupakan representasi dari kehidupan berbagai suku bangsa di Indonesia, seperti Kampung Tionghoa, Kampung Bugis, Kampung Melayu, Kampung Jawa, Kampung Arab, dan Kampung Bali.
Pelabuhan Ampenan memang menjadi sentra arus barang maupun mobilisasi manusia dari dan ke NTB. Hasil bumi dan ternak yang dikapalkan melalui pelabuhan ini di antaranya kerbau, sapi, palawija serta hasil-hasil pertanian dan perkebunan lainnya.
Namun, dalam perkembangannya, Pelabuhan Ampenan dinilai tidak memadai lagi untuk dikembangkan menjadi pelabuhan besar.
Pada 1970 pelabuhan ini ditutup dan aktivitas pelabuhan dialihkan ke Lembar, Kabupaten Lombok Barat, yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Ampenan.
Pemerintah Kota Mataram kemudian mengembangkan bekas Pelabuhan Ampenan sebagai taman rekreasi.
Jadi, program "pijar" yang telah menjadi program unggulan Provinsi NTB ini secara historis sangat memungkinkan. Potensi pengembangan ternak sapi maupun sumber daya pendukung, sangat memadai.
Percepatan
Program BSS merupakan suatu upaya menggiatkan kembali usaha peternakan sapi dengan memberdayakan sumber daya lokal, sehingga terjadi percepatan pengembangan subsektor peternakan, khususnya peternakan sapi, menuju populasi satu juta ekor dalam waktu lima tahun (2009-2013).
Lahan untuk pengembangan pakan ternak di daerah ini mencapai 1.690.159 hektare, sedangkan daya tampung ternak sapi mencapai 1.370.258 ekor.
"Saat ini potensi yang sudah terpakai baru sekitar 679.321, sehingga masih terbuka peluang untuk mengembangkannya. Apalagi, dari sisi peluang pasar, komoditas sapi memiliki prospek yang sangat menjanjikan," kata Zainul Majdi.
Sentra sapi di NTB tidak hanya di Pulau Lombok, tapi juga di Pulau Sumbawa. Provinsi NTB terdiri atas dua pulau besar yakni Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa.
Budidaya sapi di NTB menggunakan dua pendekatan, yakni sistem kandang lepas (lar) untuk di Pulau Sumbawa dan sistem kandang kolektif yang banyak ditemui di Pulau Lombok.
Dari populasi sapi yang ada saat ini, 50 persen di antaranya berada di Pulau Sumbawa, sehingga wajar jika Pemerintah Provinsi NTB menetapkan Pulau Sumbawa sebagai ujung tombak bagi kesuksesan pelaksanaan program BSS.
Sasaran yang hendak dicapai dari program BSS ini adalah tercapainya populasi sapi secara optimal sesuai dengan daya dukung wilayah, peningkatan produksi dan produktivitas sapi bibit dan sapi potong, meningkatnya ketahanan pangan melalui penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal.
Selain itu, terwujudnya peternakan sapi yang terintegrasi dengan sektor terkait, pemanfaatan padang penggembalaan ternak secara optimal, terbangunnya pabrik pakan ternak ruminansia, meningkatnya kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan peternak maupun kandang kolektif, optimalnya dukungan NTB terhadap Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS) Nasional, dan tercapainya peningkatan pendapatan petani-peternak sapi.
Program tersebut selanjutnya diterjemahkan dalam strategi yang perlu dijalankan, seperti peningkatan populasi dan produktivitas sapi dengan program "3-S" (Satu induk, Satu anak, Satu tahun), pengendalian pengeluaran sapi bibit betina, pengendalian pemotongan betina produktif dan pengendalian penyakit bibit sapi.
Terkait dengan daya dukung, strategi yang dicanangkan pemerintah setempat di antaranya melalui pengaturan tata ruang padang penggembalaan ternak, pemanfaatan teknologi pakan, pengembangan sumber daya manusia dan kelembagaan melalui revitalisasi penyuluh peternakan, pengembangan kelompok tani peternak, pengembangan sarana dan prasarana peternakan sapi dan peningkatan investasi di bidang peternakan.
Pemprov NTB yang terbetuk dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Bali, NTB dan NTT ini juga dikenal sebagai produsen jagung.
Produksi jagung dari daerah ini bahkan diandalkan untuk mendukung pasokan kebutuhan nasional.
Data Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura NTB menyebutkan, produksi jagung NTB di tahun 2006 sebanyak 103.963 ton pipilan kering, meningkat menjadi 120.612 ton pipilan kering di tahun 2007.
Pada tahun 2008 produksi meningkat menjadi 196.263 ton pipilan kering dan tahun 2009 mencapai 305.551 ton pipilan kering.
Peningkatan itu terkait dengan peningkatan luas panen dan produktivitas jagung.
Untuk komoditas rumput laut, di NTB dapat dibudidayakan sepanjang tahun dengan periode yang relatif singkat yakni 30-60 hari. Potensi areal budidaya rumput laut mencapai 22.768 hektare dengan tingkat produksi mencapai 765.000 ton.
"Tingkat pemanfaatannya saat ini baru mencapai 6.694 hektare dengan potensi produksi sebesar 116.000 ton," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (Diskanlut) Provinsi NTB, H.M. Ali Syahdan.
Petani rumput laut di wilayah NTB kini tampaknya semakin termotivasi untuk mengembangkan rumput laut setelah mengetahui komoditas ini banyak diekspor ke berbagai negara.
Karena itu, tidak mengherankan jika produksi rumput laut terus mengalami peningkatan dari 32 ribu ton lebih di tahun 2006 menjadi sekitar 36 ribu ton di tahun 2007. Pada 2008 produksi rumput laut hampir 70 ribu ton dan 100 ribu ton di tahun 2009.
Pemprov NTB pun sudah mencanangkan gerakan masyarakat pesisir berbasis rumput laut dengan target produksi rumput laut kering di tahun 2013 sebanyak 546.626,40 ton dengan kualitas ekspor.
Sentra-sentra produksi rumput laut di NTB tersebar di Kabupaten Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, dan kabupaten lainnya yang memiliki kawasan pesisir.
Sementara jumlah petani nelayan rumput laut sudah mencapai 6.000 orang dan akan terus diupayakan agar semakin bertambah demi pencapaian target maksimal.
Guna menyukseskan revitalisasi pertanian yang mengandalkan program "pijar" ini, Wakil Gubernur NTB Badrul Munir meminta para penyuluh lebih memahami tujuan program "pijar" di daerah ini sehingga bisa menyampaikan informasi akurat kepada para petani.
"Sapi, jagung dan rumput laut (pijar) menjadi komoditas unggulan karena ketiga produk itu mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi Nusa Tenggara Barat (NTB)," katanya sebelum menutup kegiatan apresiasi manajemen agribisnis bagi para penyuluh pertanian angkatan II, di Mataram.
Meski Pemprov NTB memfokuskan program pada tiga komoditas unggulan, namun bukan berarti tidak memperhatikan komoditas lain yang memang memiliki nilai ekonomi.
"Kopi, mete dan komoditas lainnya silakan dikembangkan. Tetapi di antara sekian komoditas itu, harus ada yang unggul. Kalau dirangkul semua, sama dengan menggarami air laut. Tidak akan jadi," katanya.
Ketiga komoditas unggulan itu, kata Badrul, semuanya saling terkait satu sama lain. Misalnya, program BSS yang diharapkan terwujud pada 2014, selaras dengan program nasional dalam hal peningkatan produksi sapi.
Peningkatan produksi sapi tentunya harus disertai dengan pengadaan pakan yang tersedia sepanjang waktu. Hal itu bisa dilakukan dengan cara meningkatkan produksi jagung.
Produksi jagung bisa diarahkan bukan hanya untuk konsumsi pangan nonberas, tetapi juga ketersediaan pakan. Produksi jagung yang terus meningkat akan mendorong tersedianya pakan yang mencukupi, sehingga NTB tidak perlu mendatangkan pakan dari luar daerah.
"Kita harus buktikan, dengan potensi besar yang dimiliki, penyuluh pertanian mampu membantu meningkatkan kesejahteraan petani," katanya.
Jaminan
Sementara itu, pengamat pertanian dari Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat Dr Sudirman menilai program "pijar" akan terwujud jika pemerintah berani memberikan jaminan harga dan pasar.
"Pemerintah harus berani menjamin harga dan pasar terhadap hasil produksi petani terutama petani jagung kalau ingin Nusa Tenggara Barat menjadi salah satu provinsi penghasil jagung terbesar di Indonesia," katanya.
Menurut dia, jika NTB ingin seperti Gorontalo sebagai provinsi yang terkenal dengan produksi jagungnya, pemerintah daerah harus fokus dan terus mendorong peningkatan produksi jagung dengan memberikan teknologi tepat guna kepada petani yang disertai dengan pendampingan penuh.
Dengan pengembangan teknologi tepat guna disertai pendampingan, apapun bentuk program unggulan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, sekaligus memajukan ekonomi daerah akan mampu terwujud.
"Gubernur NTB HM Zainul Majdi memang saya nilai sudah cukup serius. Tapi apakah keseriusan itu sudah diaktualisasikan juga di kalangan bawah?" katanya dengan nada tanya.
NTB dengan potensi lahan keringnya yang mencapai 1,6 juta hektare memang sangat potensial untuk pengembangan komoditas jagung. Tapi, petani tidak bisa dipaksakan untuk menggarap lahan kering yang dinilai lebih berisiko rugi ketimbang menggarap lahan basah.
Karena itu, jika tidak ada pendampingan dari pemerintah, utamanya dari segi modal, teknologi dan jaminan pasar yang akan menyerap produksinya, pasti petani enggan.
Selain itu, faktor iklim yang kurang menentu saat ini juga menjadi pemikiran para petani untuk bercocok tanam di lahan kering. Apalagi dengan kondisi infrastruktur pengairan dan akses jalan yang belum memadai.
Sudirman yang juga Dekan Fakultas Pertanian Universitas Mataram ini menyarankan agar pemerintah daerah berani menentukan harga pembelian pemerintah terhadap komoditas pertanian yang menjadi unggulan seperti jagung dan rumput laut jika ingin menarik minat petani.
Hal seperti itu sudah diterapkan oleh pemerintah pusat dalam hal mengamankan harga gabah dengan menugaskan Perusahaan Umum Badan Bulog untuk membeli gabah petani dengan harga yang sudah ditentukan dan dinilai tidak merugikan para petani terutama di saat panen raya. (*)