Sudah saatnya daerah potensial pertanian seperti Nusa Tenggara Barat (NTB) lebih agresif menghasilkan komoditi perkebunan yang dapat membanggakan daerah, sekaligus menambah jenis komoditi unggulan nasional yang dibudidayakan secara besar-besaran oleh rakyat maupun sektor swasta.
Sejauh ini, komoditi perkebunan sebagian besar merupakan produk-produk ekspor sehingga menjadi sumber devisa negara yang cukup besar untuk dari sektor non-migas. Meskipun, sebagian besar produk-produk ekspor itu masih berbentuk bahan baku bukan dalam bentuk olahan, yang menyebabkan nilai jualnya menjadi kurang ekonomis.
Komoditi ekspor tersebut antara lain kelapa, kelapa sawit, kopi, kakao, karet, teh, mete, cengkeh, lada, tembakau, tebu, kayumanis, jahe, minyak atsiri.
Pemerintah Provinsi NTB berupaya menghasilkan kopi organik khas dengan harapan dapat menjadi produk primadona masa depan yang dapat mengangkat ekonomi masyarakat pedesaan.
Kopi organik atau yang lebih dikenal dengan istilah kopi "specialty" merupakan kopi yang memiliki cita rasa khas sesuai dengan lokasi atau daerah pengembangannya.
NTB mulai mengembangkan kopi organik itu di dua pulau besar yakni Lombok dan Sumbawa sejak awal 2010 yang nantinya akan diberi nama Kopi Rinjani (Lombok) dan Kopi Tambora (Sumbawa).
Luas wilayah daratan NTB mencapai 20.153,15 kilometer persegi, yang terdiri dari dua pulau utama yaitu Pulau Lombok seluas 4.738,70 kilometer persegi (23,51 persen dan Pulau Sumbawa seluas 15.414,50 km 2 (76,49 persen.
Dari luasan itu areal seluas 1.106.559 areal diantaranya merupakan lahan pertanian potensial, termasuk untuk pengembangan tanaman perkebunan dan hortikultura musiman maupun tahunan.
Sejauh ini baru dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian pangan seluas 497.893 hektare, terdiri dari lahan irigasi seluas 146.916 hektare, non irigasi 35.339 hektare, lahan tadah hujan seluas 28.553 hektare dan lahan kering seluas 287 hektare.
Sementara total penduduk NTB berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010 tercatat sebanyak 4,5 juta lebih yang sebagian besar bermukim di Pulau Lombok yang luasnya hanya seperempat dari luas wilayah NTB. Pulau Sumbawa yang luasnya tiga kali luas Pulau Lombok hanya dihuni oleh seperempat penduduk NTB.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat membebankan Dinas Perkebunan yang kini dipimpin H. Ihya Ulumuddin, untuk menghasilkan komoditi kopi dengan cita rasa khas Lombok-Sumbawa yang dimasa mendatang mampu menjadi salah satu kopi andalan Indonesia.
"Jika sesuai rencana, 3-4 tahun ke depan atau akhir 2013 mendatang NTB sudah memiliki kopi organik dengan cita rasa khas yang diproduksi di Pulau Lombok dan Sumbawa," ujar Ulumuddin.
NTB merupakan daerah potensial pengembangan tanaman kopi namun sejauh ini potensi lahan untuk tanaman kopi yang mencapai 31.011 hektare belum dioptimalkan.
Versi Dinas Perkebunan NTB, lahan kopi di wilayah itu baru mencapai 13.500 hektare dengan produksi 3.981 ton/tahun atau sekitar 550 kilogram/hektare, namun menyebar di semua kabupaten.
Tiga lokasi yang sangat potensial untuk pengembangan kopi yakni Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Batu Lantai Kabupaten Sumbawa dan Tambora Kabupaten Dompu.
Sejauh ini, petani NTB lebih banyak mengembangkan tanaman kopi jenis Robusta atau kopi dataran rendah, padahal NTB juga berpotensi dikembangkan kopi Arabika yang nilai ekonomisnya lebih tinggi yakni dapat mencapai Rp30 ribu/kilogram.
Harga kopi Robusta yang dikembangkan petani NTB itu hanya Rp15 ribu/kilogram, berbeda dengan kopi produksi Flores Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mencapai Rp28 ribu/kilogram dan kopi Bali yang menembus harga Rp34 ribu/kilogram.
Dengan mempertimbangkan kesesuaian dan ketersediaan lahan terutama ketinggian tempat, maka pengembangan areal tanaman kopi Arabika difokuskan di Sembalun dan Batulanteh, sementara kopi Robusta di Tambora.
Pengembangan kopi Arabika di dua lokasi itu yakni masing-masing seluas 117 hektare, merupakan program pengembangan kopi "specialty" di wilayah NTB yang dimulai di tahun anggaran 2010.
Pilihan NTB untuk mengembangkan kopi Arabika juga didukung Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) Kementerian Pertanian, yang mengalokasikan anggaran untuk pengembangan kopi Arabika seluas 350 hektare.
NTB juga mendapat dukungan anggaran untuk perluasan areal pengembangan kopi "speciality" dari Dirjen Pengolahan Lahan dan Air (PLA) sebanyak 300 hektare dengan nilai bantuan lima juta rupiah per hektare.
Dari dana APBD NTB tahun anggaran 2010, juga dialokasikan anggaran pengembangan kopi Arabika seluas 350 hektare.
Varietas kopi
Pemerintah Provinsi NTB lebih memilih varietas kopi arabika untuk dikembangkan menjadi kopi khas NTB karena varietas kopi merujuk kepada subspesies kopi. Biji kopi dari dua tempat yang berbeda biasanya juga memiliki karakter yang berbeda, baik dari aroma (dari aroma jeruk sampai aroma tanah), kandungan kafein, rasa dan tingkat keasaman.
Ciri khas itu tergantung pada tempat tumbuhan kopi itu, proses produksi dan perbedaan genetika subspesies kopi.
Kopi dari spesies "Coffea arabica" memiliki rasa yang berbeda daripada "Coffea robusta", dan memiliki banyak varietas serta tiap varietas memiliki ciri yang unik.
Beberapa varietas yang terkenal di dunia seperti kopi Kolombia yakni Colombian coffee dan Colombian Milds. Kolombia merupakan penghasil kopi kedua terbesar di dunia setelah Brasilia, yakni sekitar 12 persen kopi di dunia dihasilkan di negara itu.
Varietas kopi klas dunia lainnya yakni kopi Guatemala Huehuetenango yang ditanam pada ketinggian 5.000 kaki di bagian utara Guatemala, kopi Ethiopian Harrar yang ditanam di Harar, Ethiopia, dan kopi Ethiopian Yirgacheffe yang berasal dari daerah di kota Yirga Cheffe, Provinsi Sidamo (Oromia) di Ethiopia, serta kopi Tanzania Peaberry yang di tanam di Gunung Kilimanjaro di Tanzania.
Ada juga kopi Hawaiian Kona coffee yang ditanam di kaki pegunungan Hualalai di distrik Kona di Hawaii, kopi Kenyan yang terkenal karena tingkat keasamannya dan rasanya, kopi Mexico yang memproduksi biji kopi yang keras, serta kopi Mocha yakni kopi dari Yemen dahulunya diperdagangkan di pelabuhan Mocha di Yemen dan kopi Santos dari Brasilia yang memiliki tingkat keasaman yang rendah.
Kopi produk Indonesia yang terkenal antara lain kopi Jawa (Java coffee) yakni kopi dari pulau Jawa cukup terkenal sehingga nama Jawa menjadi nama identitas kopi tersebut, kopi Sumatra Mandheling dan Sumatra Lintong (Sumatera Utara), dan kopi Gayo yang berasal dari Dataran Tinggi Gayo (Gayo adalah nama Suku Asli di Aceh). Kopi Gayo disebut-sebut sebagai kopi organik terbaik di dunia.
Di Sulawesi ada kopi Toraja Kalosi yang ditanam di daerah pegunungan tinggi di Sulawesi, yang kaya aroma dengan tingkat keasaman yang seimbang dan memiliki ciri yang multidimensional serta berwarna coklat tua.
Indonesia juga mengembangkan kopi Luwak, salah satu varietas kopi Arabika yang telah dimakan oleh luwak kemudian dikumpulkan dan diolah. Rasa dan aroma kopi ini khas dan menjadi kopi termahal di dunia.
Kakao
NTB juga potensial tanaman kakao yang mencapai 16.732 hektare dan sejauh ini baru sekitar 6.000 hektare yang dimanfaatkan sehingga masih ada 10 ribu lebih hektare areal potensial kakao.
Produksi kakao dari areal seluas 6.000 hektare itu baru mencapai 2.535 ton atau sekitar 550 kilogram per hektare.
Untuk mengembangkan kakao di wilayah NTB, pemerintah memberi dukungan dana sebesar Rp14 miliar karena daerah ini menjadi bagian dari sasaran Gerakan Nasional (Gernas) Percepatan Revitalisasi Kakao Nasional tahun 2009-2011.
Dukungan APBN sebesar Rp14 miliar itu hanya untuk belanja fisik dalam program Gernas Kakao itu, sehingga untuk belanja operasional diupayakan dari APBD NTB.
Program Gernas Kakao mencakup intensifikasi dan peremajaan/rehabilitasi kebun kakao yang sudah ada agar lebih produktif lagi.
Program Gernas Percepatan Revitalisasi Kakao Nasional yang dicanangkan Kementerian Pertanian periode 2009-2011 itu merupakan program lanjutan dari Gernas Kakao Nasional yang dicanangkan pada tahun 2007 yang mencakup sembilan provinsi.
Kini, provinsi sasaran pengembangan kakao bertambah menjadi 15 provinsi, termasuk Provinsi NTB namun tidak mencakup semua daerah kabupaten. Khusus di Provinsi NTB hanya mencakup Kabupaten Lombok Utara dengan target luas areal 1.800 hektare dan dan Lombok Timur seluas 500 hektare, sehingga totalnya mencapai 2.300 hektare.
Libatkan peneliti PPKKI
Untuk mengembangkan kopi organik khas NTB, pemerintah daerah menjalin kerja sama dengan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) yang berkantor di Jalan PB Sudirman 90, Jember, sekitar 200 kilometer sebelah tenggara Surabaya, Jawa Timur.
Pada 17 Mei 2010, bertempat di Kantor Gubernur NTB di Mataram, Gubernur NTB KH. M. Zainul Majdi dan Direktur PPKKI DR Teguh Wahyudi, menandatangani nota kesepahaman (MoU) kerja sama pengembangan kopi dan kakao.
Jangka waktu kerja sama selama 12 bulan terhitung tanggal penandatanganan kesepakatan bersama itu.
Sasaran kerja samanya yakni pendampingan petani perkebunan dalam hal budi daya dan pemasaran kopi Arabika dan kakao di wilayah NTB.
Sementara ruang lingkup kerja sama itu meliputi pelatihan budi daya dan pengolahan pascapanen kepada para petani perkebunan dan para petugas dinas teknis terkait. Juga, mencakup kegiatan pemasaran hasil perkebunan (kopi dan kakao) itu dan dukungan sarana dan pembiayaan
"Dari jalinan kerja sama Pemprov NTB dengan PPKKI itu diharapkan terjadi peningkatan kerja sama di kalangan petani perkebunan terutama petani Kopi Arabika di daerah Sembalun Lombok Timur, Tepal Sumbawa dan daerah potensial Kopi Arabika lainnya," ujar Juru Bicara Pemerintah Provinsi NTB H. Lalu Moh Faozal, yang ikut mendampingi Gubernur NTB saat penandatanganan MoU dengan PPKKI.
PPKKI didirikan pada tanggal 1 Januari 1911 dengan nama dikala itu Besoekisch Proefstation. Setelah berkali-kali mengalami perubahan baik nama maupun pengelola, saat ini secara fungsional PPKKI berada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Republik Indonesia.
Sedangkan secara struktural dikelola oleh Lembaga Riset Perkebunan Indonesia Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia – Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia (LPPI-APPI).
PPKKI merupakan lembaga non profit yang memperoleh mandat untuk melakukan penelitian dan pengembangan komoditas kopi dan kakao secara nasional, sesuai dengan keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No 786/KPTS/ORG/9/1981 tanggal 21 Oktober 1981.
Tugas pokok dan fungsinya adalah melakukan penelitian guna mendapatkan varietas/klon unggul baru dan paket teknologi di bidang budidaya dan pengolahan hasil kopi dan kakao, melakukan kegiatan pelayanan kepada masyarakat tani/perkebunan kopi dan kakao di seluruh wilayah Indonesia guna memecahkan masalah dan mempercepat alih teknologi serta membina kemampuan di bidang sumber daya manusia, sarana dan prasarana guna mendukung kegiatan penelitian dan pelayanan.
Menindaklanjuti jalinan kerja sama pengembangan kopi dan kakao itu, Humas Pemprov NTB bersama 15 orang wartawan dari berbagai media baik cetak maupun televisi dan media "online" berkunjung ke PPKKI di Jember.
Perjalanan jurnalistik kalangan humas dan pers selama empat hari sejak 21-24 Nopember lalu, di Jawa Timur terutama kegiatan seharian di kawasan PPKKI Jember itu, belum cukup untuk memaknai secara keseluruhan peran para peneliti pertanian itu untuk membantu mengembangkan kopi dan kakao bercita rasa khas NTB.
Namun, humas dan wartawan NTB dituntut untuk dapat menjembatani upaya menghasilkan kopi bercita rasa khas NTB dan kesuksesan Gernas Percepatan Revitalisasi Kakao Nasional tahun 2009-2011.
Dalam kesempatan berkunjung ke kawasan PPKKI Jember itu, sempat terjadi perbincangan dengan sejumlah peneliti seperti DR Soetanto Abdoellah yang menjabat Kepala Bidang Riset, dan Purmiati Astuti Ningsih yang juga peneliti, serta Norholis selaku Kepala Kebun Percontohan Kopi dan Kakao.
Umumnya, para peneliti PPKKI Jember itu menyarankan Pemerintah Provinsi NTB lebih giat mengembangkan kopi Arabika yang menurut mereka sesuai dengan kondisi dataran tinggi Sembalun, Kabupaten Lombok Timur.
"Lahan pertanian pada ketinggian diatas 1.000 meter dari permukaan laut (dpl) cocok untuk dikembangkan kopi Arabika, dan itu sudah terbukti di banyak daerah. Kami yakni, NTB pun dapat mengembangkannya," ujar Soetanto saat bincang-bincang di kebun percontohan kopi dan kakao di kawasan PPKKI Jember itu.
Humas dan wartawan NTB juga sempat melihat dari dekat kegiatan penelitian dan pengembangan pengomposan limbah kebun dan limbah pabrik kopi dan kakao di kawasan PPKKI Jember itu.
Para peneliti PPKKI Jember berupaya memperpendek waktu pengomposan melalui pemanfaatan paket teknologi dengan harapan ketergantungan pupuk organik dari luar kebun dan biaya produksi pupuk anorganik dapat dikurangi.
Pada lokasi tertentu di sekitar kebun pencontohan tanaman kopi dan kakao itu, terdapat kandang kambing dan ternak perliharaan lainnya yang dikelola secara bersamaan sehingga dapat menghasilkan nilai tambah.
Para peneliti menerapkan pola integrasi kopi dan kakao dengan ternak, yakni pengembangan kopi dan kako bersamaan dengan pemeliharaan ternak kambing.
Dalam kebun pengembangan kopi dan kakao itu terdapat tanaman pangkasan penaung berupa lamtoro dan kulit kakao untuk makan ternak (pakan).
Pemeliharaan ternak kambing dalam kawasan pengembangan kopi dan kakao itu akan menghasilkan ekstrak biogas yang bersumber dari kotoran ternak.
Dari pengamatan dan hasil bincang-bincang itu, tampaknya upaya pengembangan kopi dan kakao di wilayah NTB perlu disertai proses pengomposan limbah kebun dan limbah pabrik komoditi perkebunan itu, agar proses pengomposan yang selama ini diterapkan di berbagai daerah termasuk NTB yang memerlukan wkatu 3-4 bulan dapat diperpendek menjadi 1-2 bulan saja.
Selain menghasilkan komoditi kopi dan kakao, tentu dapat dihasilkan ternak dan pupuk kompos yang semuanya bertujuan meningkatkan pendapatan petani NTB jika mengimplementasikan hasil penelitian PPKKI Jember itu. (*)