ICW beri nilai "E" penindakan korupsi periode 2020

id ICW,korupsi,penegak hukum

ICW beri nilai "E" penindakan korupsi periode 2020

Peneliti ICW Wana Alamsyah. (Antara/Benardy Ferdiansyah)

nilai "C" kepada Kejaksaan Agung dan nilai "E" masing-masing kepada KPK dan Kepolisian RI
Jakarta (ANTARA) - Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan nilai "E" terhadap kinerja penegak hukum dalam penindakan kasus korupsi periode 2020.

"Kinerja penindakan kasus korupsi oleh institusi penegak hukum secara umum hanya mencapai 20 persen atau berada pada peringkat E, yang mana peringkat E sangat buruk," kata peneliti ICW Wana Alamsyah dalam konferensi pers virtual "Laporan Hasil Pemantauan Kinerja Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2020" di Jakarta, Minggu.

Penyebabnya adalah dari tiga institusi penegak hukum yang berwenang untuk mengusut kasus korupsi, ICW memberikan nilai "C" kepada Kejaksaan Agung dan nilai "E" masing-masing kepada KPK dan Kepolisian RI.

Nilai tersebut berdasarkan analisis informasi yang berasal dari kanal institusi penegak hukum dan media massa dalam periode 1 Januari - 31 Desember 2020.

"Nilai E artinya persentase penanganan perkara yang dilakukan penegak hukum hanyalah 0-20 persen. Pada 2020, hanya ada 444 kasus yang ditangani penegak hukum dibanding dengan target penindakan kasus yaitu 2.225," tambah Wana.

ICW menemukan dari 444 kasus korupsi yang masuk dalam tahap penyidikan pada 2020, ada 875 tersangka dengan nilai kerugian negara yang ditimbulkan adalah sebesar Rp18,6 triliun, nilai suap sebesar Rp86,5 miliar dan pungutan liar senilai Rp5,2 miliar.

Rincian kasus korupsi yang ditangani adalah 374 kasus merupakan kasus baru (84,2 persen), pengembangan kasus sebanyak 55 (12,4 persen) dan Operasi Tangan Tangan (OTT) sebanyak 15 kasus (3,4 persen).

"Penindakan kasus korupsi oleh institusi penegak hukum secara tren cenderung menurun sejak 2015 yaitu ada 550 kasus hingga 2020 yang hanya 444 kasus, padahal nilai kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi, trennya cenderung meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah setiap tahun semakin lemah dari segi pengawasan," ungkap Wana.

ICW menyebut Kejaksaan Agung sampai akhir 2020 menangani sebanyak 259 kasus korupsi dengan anggaran penanganan kasus mencapai Rp75,3 miliar.

"Kinerja penindakan kasus korupsi oleh Kejaksaan cukup baik dalam aspek kuantitas yaitu sekitar 46 persen atau masuk dalam kategori C atau Cukup," tambah Wana.

Sebagian besar kasus yang ditangani Kejaksaan Agung dicatat ICW merupakan kasus baru yaitu sebanyak 222 kasus, selanjutnya pengembangan kasus sebanyak (34 kasus) dan OTT sebanyak 3 kasus.

"Kejaksaan juga institusi yang paling sering menangani kasus korupsi yang terjadi di BUMN, yakni sebanyak 16 dari 22 kasus yang disidik oleh penegak hukum," ungkap Wana.

Namun dalam profesionalisme penindakan kasus, ICW menduga terdapat sejumlah kantor Kejaksaan yang tidak menangani kasus korupsi.

"Artinya, Kejaksaan Agung perlu melakukan evaluasi terhadap setiap Kejaksaan yang terbukti tidak bekerja. Kejaksaan Agung pada kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung juga diduga tidak independen dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan," kata Wana.

Selanjutnya kinerja Kepolisian RI disebut oleh ICW menangani 170 kasus korupsi dengan target penanganan 1.539 kasus pada 2020 dengan anggaran Rp277 miliar.

"Persentase kinerja penindakan kasus korupsi oleh Kepolisian RI sekitar 8 persen atau masuk dalam kategori E atau sangat buruk namun kami tidak ditemukan adanya informasi mengenai penggunaan anggaran penyidikan kasus korupsi," ungkap Wana.

Sebagian besar kasus yang ditangani oleh Kepolisian merupakan kasus baru (151 kasus), pengembangan kasus sebanyak 14 kasus dan OTT sebanyak 5 kasus.

Aktor yang paling banyak disidik oleh Kepolsian menurut ICW adalah orang yang memiliki jabatan pada tingkat pelaksana. Hal tersebut diperparah dengan tidak adanya upaya untuk membongkar kasus pada aktor yang paling strategis.

"Misalnya kami menduga kepolisian memiliki konflik kepentingan pada saat menangani kasus dugaan korupsi penghapusan 'red notice' di Interpol dan tidak jelasnya penanganan kasus korupsi terkait dengan penyelewengan dana COVID-19," tambah Wana.

Sedangkan kinerja penindakan kasus korupsi oleh KPK hanya sekitar 13 persen dari target sebanyak 120 kasus.

"Hal tersebut menunjukkan bahwa kinerja KPK masuk dalam kategori E atau Sangat Buruk," kata Wana.

Sebagian besar penindakan kasus korupsi yang dilakukan oleh KPK merupakan hasil OTT (7 kasus) dan pengembangan (7 kasus), sedangkan kasus yang baru disidik pada 2020 hanya 1 kasus.

"Berdasarkan informasi dari situs 'website' KPK terdapat sebanyak 149 kasus korupsi yang disidik antara lain: 115 kasus perkara sisa tahun 2019 (carry over) dan 34 kasus lainnya disidik tahun 2020. Faktanya, ICW mencatat hanya 15 kasus yang disidik dengan tersangka sebanyak 75 orang," ungkap Wana.

Kasus yang dikembangkan oleh KPK diduga memiliki dua tujuan yaitu pertama akan dilanjutkan hingga tahap persidangan dan kedua kasus korupsi berpotensi untuk dihentikan dengan menerbitkan Surat Perintan Penghentian Penyidikan (SP3).

"Contoh kasus yang di-carry over dan di-SP3 adalah kasus dugaan korupsi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), ditambah lagi ada dugaan kebocoran surat perintah dalam beberapa kasus yang ditangani oleh KPK sehingga membuka ruang bagi pelaku untuk melarikan diri, menyembunyikan bukti atau potensi intimidasi dan teror terhadap penyidik KPK. Kebocoran ini berpotensi terjadi pada tingkat KPK ataupun Dewan Pengawas," jelas Wana.

Selanjutnya ICW juga merekomendasikan korupsi di sektor pengadaan barang/jasa perlu menjadi perhatian khusus bagi pemangku kepentingan.

"Sebab setiap proses dalam pengadaan barang/jasa berpotensi menimbulkan kecurangan sehingga berimplikasi pada ruginya negara dan buruknya proyek yang dikerjakan. Pemerintah perlu segera memprioritaskan agenda perampasan aset agar gagasan mengenai pemiskinan koruptor dan pengembalian kerugian negara dapat terealisasi," tegas Wana.