Petani korban gempa keluhkan harga kelapa anjlok

id Gempa Lombok,Desa Rempek

Petani korban gempa keluhkan harga kelapa anjlok

Ilustrasi - Pekerja mengupas kelapa untuk dijual ke pasar-pasar. (Foto Antaranews)

Harga kelapa sangat murah sekali, hanya Rp500 per butir. Itu belum dipotong ongkos petik Rp300/butir
Lombok Utara (Antaranews NTB) - Petani di Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat,? mengeluhkan anjloknya harga kelapa di saat mereka membutuhkan uang untuk keperluan hidup pascagempa bumi yang merobohkan rumahnya.

"Harga kelapa sangat murah sekali, hanya Rp500 per butir. Itu belum dipotong ongkos petik Rp300/butir. Kalau sebelum gempa mencapai Rp3.000/butir," kata Wiwin, salah seorang petani yang ditemui di lokasi pengungsian Posko Utama Lapangan Umum Desa Rempek, Lombok Utara, Senin.

Menurut dia, anjloknya harga kelapa disebabkan tidak ada pembeli terutama pedagang yang biasa mengirim kelapa ke Surabaya Jawa Timur sejak satu bulan terakhir.

Kondisi tersebut diperparah dengan kejadian gempa bumi berkekuatan 7 pada Skala Richter (SR) pada Minggu (5/8). Bencana alam tersebut merusak banyak bangunan, termasuk pabrik kopra di Lombok Utara, yang banyak menyerap kelapa dari petani.

"Kalau ada yang berani membeli dengan harga Rp2.000/butir tetap berani orang memanjat petik kelapa meskipun masih sering gempa. Tapi sekarang harganya hanya Rp500 dan belum dipotong ongkos petik," tutur Wiwin.

Kepala Dusun Dasan Banjur ini mengaku memiliki lahan kelapa seluas 1,5 hektare. Biasanya panen dilakukan setiap tiga bulan sekali.

Namun karena harga yang relatif rendah buah kelapa dibiarkan mengering di pohonnya dan jatuh ke tanah dengan sendirinya.

"Kalau petik dalam bentuk kelapa muda memang masih menguntungkan karena harga relatif mahal. Tapi akan merusak pohonnya, makanya saya tidak pernah menjual kelapa muda," ucap Wiwin yang juga sibuk mengurus warganya di pengungsian.

Tidak hanya mengeluhkan harga kelapa yang anjlok. Para petani di Desa Rempek, juga kesulitan menjual komoditas hasil perkebunan, seperti biji jambu mete, biji kakao dan kacang tanah.

"Setelah gempa besar terjadi, tidak ada pembeli yang datang ke desa. Aktivitas jual beli komoditas benar-benar mati saat ini, meskipun barang ada," ujar Wiwin sambil menegaskan bahwa komoditas perkebunan merupakan andalan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari warga di desanya.

Kepala Dusun Telaga Maluku Suriadi Narmanto (43), menambahkan para petani kacang tanah di daerahnya juga mengalami kerugian karena hasil panen yang tidak sesuai harapan.

Ia mencontohkan lahan seluas setengah hektare milik salah seorang petani hanya menghasilkan 200 kilogram kacang tanah. Padahal potensinya bisa satu hingga dua ton jika mendapatkan air yang cukup.

"Boleh dibilang gagal panen karena sawah yang ditanami kacang tanah tidak mendapatkan air yang cukup pada musim kemarau tahun ini," kata Suriadi sambil menunjuk sawah ditanami kacang yang belum dipanen pemiliknya karena mengungsi. (*)