Mataram (ANTARA) - Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Nusa Tenggara Barat mengingatkan pelatihan vokasi harus relevan dengan kebutuhan pasar kerja.
Kepala Disnakertrans Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, Kamis mengatakan pentingnya peran pelatihan vokasi sebagai salah satu strategi utama meningkatkan kualitas tenaga kerja di NTB.
"Pelatihan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja serta mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor formal harus terus didorong," ujarnya.
Baca juga: Disnaker ajak perusahaan di NTB evaluasi hubungan industrial
Aryadi menyampaikan berdasarkan data statistik, mayoritas angkatan kerja di NTB masih berada di sektor informal sebesar 70 persen.
"Ke depan, kita harus mendorong peningkatan penyerapan di sektor formal dengan target menjadi 30 persen," kata Gede Aryadi.
Ia mengatakan sektor informal yang dominan dapat menjadi rentan terhadap guncangan ekonomi. Oleh karena itu, revitalisasi pelatihan vokasi diharapkan dapat menciptakan tenaga kerja yang memiliki kompetensi sesuai kebutuhan dunia usaha dan industri.
Aryadi menggarisbawahi pentingnya mendorong pelaku UMKM di sektor informal untuk berekspansi ke sektor formal. Sektor informal, seperti UMKM, perlu didorong agar berkembang menjadi sektor formal yang mampu menyediakan lapangan kerja sesuai kebutuhan dunia industri.
Baca juga: Sebanyak 157 LPK di NTB terakreditasi nasional
Salah satu contoh UMKM yang sukses adalah Alung Snack Kerupuk Buleleng dari Lombok Tengah yang dibina oleh Disnakertrans dan juga diberikan bantuan modal usaha oleh salah satu perusahaan.
"Dulu mereka hanya memiliki 5 pekerja, sekarang sudah mencapai 40 pekerja karena produknya sudah sampai di ekspor ke luar," katanya.
Dalam penyusunan tugas dan fungsi tim, Aryadi menegaskan perlunya melibatkan berbagai pihak, termasuk asosiasi dunia usaha, serikat pekerja, dan pelaku industri. Hal ini penting untuk memastikan pelatihan vokasi dirancang sesuai kebutuhan nyata pasar kerja.
"Pelatihan tidak boleh direncanakan dan dilaksanakan secara sepihak. Perusahaan, asosiasi, dan lembaga pelatihan harus duduk bersama mulai dari proses perencanaan hingga implementasi. Hanya dengan kolaborasi seperti ini, kita bisa mencetak lulusan pelatihan yang siap kerja," imbuh Aryadi.
Baca juga: Penerapan upah di NTB didorong berbasis produktivitas
Aryadi juga menyoroti pentingnya diversifikasi pelatihan dengan menambahkan unsur pemagangan. Menurutnya, pelatihan teori saja tidak cukup tanpa diimbangi pengalaman langsung di lapangan.
"Peserta pelatihan perlu mendapatkan pengalaman praktis. Bahkan sebelum menjadi wirausaha, mereka harus terlebih dahulu memahami bagaimana bekerja di sebuah perusahaan," tegasnya.
Untuk itu, ia mengkritisi kebijakan yang memberikan alat kerja kepada peserta pelatihan tanpa mempertimbangkan kesiapan mereka.
"Bantuan alat harus diberikan kepada mereka yang benar-benar sudah terlatih, memiliki usaha yang berjalan, atau sudah membentuk kelompok usaha," katanya.
Baca juga: Penerapan upah di NTB didorong berbasis produktivitas
Selain itu Aryadi menyoroti perlunya standarisasi lembaga pelatihan untuk memastikan kualitas pelatihan sesuai standar nasional. Ia mengingatkan adanya sejumlah lembaga pelatihan yang tidak memenuhi standar bahkan menjanjikan hal-hal yang tidak realistis. Lembaga pelatihan harus memiliki izin yang jelas dan memenuhi standar kompetensi yang berlaku.
"Beberapa waktu lalu, ada lembaga pelatihan yang kami tindak karena menjanjikan pengiriman tenaga kerja ke Jepang tanpa dasar yang jelas. Hal seperti ini melanggar hukum dan merugikan masyarakat. Kami tidak ingin ada lembaga pelatihan yang hanya sekadar menjanjikan tanpa memberikan hasil nyata bagi peserta," katanya.