Mataram (ANTARA) - Kekalahan Yandi-Ros di Pilkada Bima 2024 merupakan tonggak sejarah berakhirnya dinasti politik di Bima. Ady-Irfan berhasil keluar sebagai the winner Pilkada Bima 2024.
Tak pelak, selama ini kekuasaan di Bima dikuasai oleh Golkar dan merupakan orang-orang lingkaran istana. Namun, sejarah kali ini Golkar dan dinasti politik di Bima tumbang. Ini merupakan sejarah baru bagi politik di Bima.
Kekalahan Yandi-Ros di Pilkada Bima 2024, yang direpresentasikan sebagai simbol dinasti politik di Bima dapat dibaca dalam beberapa hal:
Pertama, kesalahan partai pengusung calon dalam mengusulkan calon kepala daerah. Figur yang diusung sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati Bima kurang mewakili suara publik, sehingga calon yang diusung mendapat resistensi dari pemilih.
Kedua, karena efek kemarahan publik terhadap kekuasaan sebelumnya--IDP-Dahlan--yang anti terhadap kritik, pembangunan infrastruktur (jalan) yang tidak merata, dan ditengarai korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Meski berbagai instrumen dan perangkat kekuasaan dioperasikan, kemarahan publik tak bisa dibendung. Masyarakat berhak memilih pemimpin dan menentukan masa depannya sendiri. Terbukti masyarakat berhasil melakukan "kudeta konstitusional" terhadap dinasti kekuasaan yang berakar kuat di Bima selama ini yang di nilai kurang baik.
Masyarakat menghendaki perubahan, sosok, dan figur baru untuk memimpin Bima. Masyarakat menghendaki, tak hanya sekedar perubahan, namun juga perbaikan di seluruh aspek kehidupan masyarakat di Bima.
Masyarakat sudah jenuh dengan kekuasaan IDP-Dahlan selama ini yang di nilai anti terhadap kritik, abai dengan pembangunan, dan menumbuh-kembangkan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kejenuhan dan kemarahan publik itu tersalurkan melalui Pilkada dengan menghukum Yandi-Ros di Pilkada Bima 2024. Hasilnya, Yandi-Ros kalah telak di Bima meski secara sumber daya--kekuasan, mesin partai, uang--lebih kuat dibandingkan dengan Ady-Irfan.
Namun, ini bukan hanya sekedar pertarungan kekuasaan, mesin partai, uang, tetapi ini juga pertarungan untuk mendapatkan dan merebut simpati dan hati pemilih. Tampaknya Yandi-Ros gagal memahami dan mendapatkan ini, terutama memahami massa yang "diam" dan "tidur" selama ini.
Secercah Harapan
Terpilihnya Ady-Irfan di Pilkada Bima 2024 merupakan kehendak sebagian besar masyarakat Bima yang menginginkan perubahan dan perbaikan di Bima selama ini.
Tentu saja perubahan dan perbaikan tidak hanya sekedar jargon dan slogan, namun juga harus diwujudkan dalam bentuk kerja-kerja pemerintahan.
Beban dan tanggung jawab untuk mewujudkan Bima bermartabat itu berada di pundak mereka. Namun, tanpa partisipasi dan keterlibatan aktif masyarakat, sulit untuk mewujudkan Bima bermartabat itu.
Meminjam Jurgen Habermas, demokrasi bukan hanya sekedar Pemilu/Pilkada, tetapi juga keterlibatan aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan/kebijakan publik.
Namun, karena kesibukan dan perkejaan, masyarakat tidak memiliki waktu untuk berpartisipasi sekaligus mengontrol pemerintah. Kontrol dan partisipasi masyarakat itu telah terlembagakan dalam lembaga legislatif lokal kendati tak begitu powerful, bahkan terasa mati suri.
Kendati demikian, Ady-Irfan tak boleh melupakan masyarakat. Nasehat bijak Bung Karno, jangan melupakan asalmu. Tak ada pengabdian yang abadi kecuali kepada masyarakat.
John F Kennedy mengatakan, loyalitas kepada partai berakhir ketika loyalitas pada negara dimulai. Bukan loyalitas kepada tim sukses atau partai pengusung calon, tetapi kepada masyarakat.
Ady-Irfan harus berani keluar dari cengkeraman oligarki lokal, membersihkan orang-orang korup di birokrasi, dan membebaskan diri dari orang-orang toxic atau yang sekedar mencari suaka di lingkaran kekuasaan.
Ini sebagai langkah awal untuk membangun Bima ke depan. Tanpa melakukan ini kekuasaan daerah akan terjebak dalam lingkaran yang sama.
Juga, ada kebiasaan elite-elite politik atau pemimpin kita, di awal-awal pemerintahan terlihat baik, responsif, dekat dengan masyarakat, melakukan akselerasi program-program kerja pemerintah--tetapi begitu di pertengahan jalannya pemerintahan, mulai menjauh dan melupakan masyarakat.
Namun, ketika kekuasaan hendak berakhir dan Pemilu/Pilkada sudah tiba, mulai unjuk muka dan seolah-olah merakyat. Kebiasaan ini mesti/harus diubah. Politik tak semata-mata soal kekuasaan, tetapi soal pengabdian kepada kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat.
*) Penulis adalah Sekretaris Umum KPC HMI Cabang Yogyakarta