Mataram (ANTARA) - Kerusakan hutan menjadi isu penting di dunia. Oleh karena itu, hari Lingkungan Hidup Sedunia yang akan diperingati 5 Juni mendatang menjadi refleksi penting bagi pemerintah, pemerhati lingkungan dan juga masyarakat. Cuaca yang semakin panas diprediksi akan terus melanda Indonesia beberapa tahun ke depan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam berbagai publikasinya mengingatkan akan adanya perubahan iklim di Indonesia termasuk suhu akan lebih panas pada tahun 2030. Big data analytics BMKG menunjukkan tren peningkatan suhu udara sebesar 0,5 derajat celcius dari kondisi saat ini di Indonesia pada tahun 2030 nanti.
Panasnya iklim di Indonesia juga akan disertai dengan kekeringan yang makin tinggi hingga 20% daripada kondisi kekeringan saat ini yang berada di Sumatera Selatan, sebagian besar Pulau Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebaliknya, pada musim hujan jumlah hujan lebat hingga ekstrim juga cenderung meningkat hingga 40% dibandingkan saat ini. Berbagai tantangan ini membutuhkan langkah antisipasi lebih dini secara konkrit agar Indonesia mampu beradaptasi dan melakukan mitigasi secara tepat.
Setelah dilantik menjadi Gubernur, Lalu Muhammad Iqbal dan wakilnya memiliki visi misi khususnya terkait bidang ketahanan pangan. Gubernur akan mendorong terbangunnya ekosistem industri berbasis pertanian, peternakan, perikanan dan kelautan, dari hulu hingga hilir. Hilirisasi di sektor ini bukan lagi opsi, tapi sebuah keharusan agar rakyat NTB bisa merasakan manfaatnya seluas mungkin. Prinsipnya, apa yang dibudidayakan di tanah NTB harus dirasakan manfaat terbesarnya oleh rakyat NTB.
Disfungsional Sarana Pendukung Program
Dewasa ini ajaran pembangunan berkelanjutan (sustainable developmentt) telah diterima luas di berbagai negara di dunia. Konsepsi pembangunan yang memadukan kepentingan manusia, ekonomi dan lingkungan dalam kebijakan publik (public policy) masuk di Indonesia 2015 lalu. Terlibatnya Indonesia dalam kesepakatan Sustainable Develoment Goals (SDG) bersama 195 negara di dunia mengharuskan negara kita menginternalisasi konsepsi pembangunan yang telah menjadi perhatian bersama masyarakat dunia.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, maka implementasi pembangunan ketahanan pangan dilaksanakan dengan memperhatikan 3 (tiga) komponen utama yang harus dipenuhi, yaitu ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan dan pemanfaatan pangan.
Daya pendukung terlaksana program mengharuskan tersedianya sarana dan prasarana yang tidak hanya memadai tetapi tepat guna. Di NTB sampai pada tahun 2023 tercatat sekitar 80 unit jumlah sarana dan prasarana penampungan air yang dibangun untuk membangun program irigasi dan pengairan, diantaranya 14 unit bendungan skala besar dan 70 unit waduk/embung skala kecil. Berdasarkan angka tersebut, NTB termasuk daerah yang memiliki jumlah sarana penampung air terbanyak dibandingkan provinsi lain. Bendungan ini ditargetkan mampu menampung air sebesar 354 juta meter kubik/tahun. Lantas, bagaimana efektivitas dari keberadaan bendungan tersebut?
Berdasarkan tinjauan data yang ada dapat disimpulkan bahwa pembangunan bendungan-bendungan besar ini belum efektif seperti yang ditargetkan oleh pemerintah pusat. Pasalnya, rancangan pembangunan bendungan tidak sesuai dengan posisi topografis areal pertanian, yaitu untuk mendistribusikan air ke lahan pertanian.
Sebagai contoh, setelah ditinjau beberapa bendungan yang berada di Kabupaten Bima dan Dompu (Bendungan Mila dan Tanjung), ditinjau dari perspektif sosiologis pertanian, petani memiliki kecendrungan membudidayakan komoditas jagung menjadi kendala dalam keberlanjutan dan perawatan bendungan. Selain itu, kurangnya budidaya padi yang intens diabaikan serta pembangunan dan keberlanjutan perluasan jaringan irigasi sampai saat ini belum dilanjutkan menjadi masalah yang memicu disfungsional sarana bendungan.
Selama ini, demi klaim pembangunan, dibenarkan merusak lingkungan. Ironisnya, setiap kali “tembok besar” dibangun, hutan “digusur”. Ini menjadi catatan penting menjelang 100 hari kerja Iqbal-Dinda.
Tumpang Tindih Kebijakan Pendistribusian Prasarana Pertanian
Kita tidak asing menyaksikan tumpang tindih kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah NTB. Setelah Pulau Sumbawa (2016) ditetapkan sebagai sentral produksi jagung nasional seharusnya pemerintah harus berani membentuk kebijakan khusus terkait keberlanjutan dari pengembangan program jagung nasional. Hal ini dilakukan agar meminimalisir inharmonisasi kebijakan yang tidak berpihak pada petani.
Kebijakan terkait pendistribusian prasarana seperti benih, pupuk dan pestisida bersubsidi sebagian besar diserahkan dan dikelola oleh pihak swasta yang dalam hal ini pemerintah hanya mengambil pajak lebih kurang 20%. Ditambah lagi, beberapa perusahaan swasta yang diberi kewenangan untuk mendistribusikan pupuk bersubsidi berbasis sistem paket dan penjualan melebihi Harga Eceran Tertingi (HET) kepada para petani.
Masalah teknis juga kerap kali terjadi terkait dengan ketidakmerataan pendistribusian serta kelangkaan pupuk dan pestisida bersubsidi. Hal ini tentunya dipicu oleh pendataan jumlah petani yang tumpah tindih dengan luas lahan garapan yang tidak harmonis. Kondisi ojektif ekspansi lahan garapan ke areal hutan tutupan negara tentunya akan menambah biaya operasional para petani terhadap pembelian pupuk bersubsidi, yang seharusnya penerima pupuk subsidi itu dibatasi dengan kriteria luas lahan garapan dengan ketentuan tertentu, kini bertambah dan memicu terjadinya inkonsisten/pemerataan pembagian dan harga secara keseluruhan.
Penulis kembali menyayangkan, bahwa Pulau Sumbawa hanya sebatas sebagai sentral produksi jagung nasional “komoditi jebakan negara"?. Penyangkalan ini ditujukan karena inovasi pemerintah stagnan pada platform produksi semata tanpa meninjau prospek penjualan hasil panen dan mencari relasi ekspor yang lebih luas lagi. Posisi petani ketika dihadapkan dengan realitas semacam ini cukup ngambang dan paradoks. Mereka terpaksa memanen hasil pertanian dengan harga jual yang rendah kerena tidak bisa membiarkan jagung di lahan mereka dalam jangka waktu yang lama mengingat masa dormansi jagung perlu penanganan yang intens serta ancaman ternak yang dilepas liar oleh peternak menjadi ciri khas Pulau Sumbawa.
Pemerintah seharusnya mampu meghadirkan inovasi yang bergerak dibidang industrialisasi penanganan pasca panen di Pulau Sumbawa. Kebijakan ini mendorong daerah untuk lebih berinovasi dan mandiri dalam menggaet pemasukan daerah. Selama ini setiap hasil panen jagung hanya mampu didrop oleh pihak swasta ke daerah jawa dan sekitarnya, sedangkan sebagian besar relatif diekspor ke bebarapa titik manca negara.
Problem yang Bergulir dan Harapan Visi Misi Gubernur
Sampai saat ini fungsi pengawasan pemerintah daerah (Provinsi NTB) dalam mencegah laju ekspansi lahan garapan ke area hutan dan konservasi masih lemah dan minim dilaksanakan baik secara preventif maupun secara kuratif. Siapa yang akan kita salahkan jika kedua subjek tersebut tidak semaksimal mungkin meningkatkan kesadaran dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
Ancaman kerusakan hutan dan kehilangan agroekosistem pertanian kian memprihatinkan. Mari sejenak kita review data-data yang telah di rilis oleh Lembaga Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan Dinas Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (DLHK) Provinsi NTB. Sampai pada tahun 2023, kerusakan hutan dan landscape lainnya di Provinsi NTB telah mencapai angka 60% dari total luas keseluruhan sebesar 1.071.722 hektar.
Dari seluruh rangkaian kebijakan pemerintah daerah dan intensifikasi program sejauh ini mengindikasikan keseimbangan primer tetap negatif. Pelaksanaan visi misi tentang ketahanan pangan yang adil dan tepat sasaran harus segera dilakukan mengingat dampak negatif yang timbul akibat kerusakan hutan sangatlah berbahaya dan dapat menghadirkan bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kekeringan dan kemiskinan.
Gubernur NTB dalam evaluasi 100 hari kerjanya seharusnya memberikan atensi khusus kepada Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pertanian dan lembaga-lembaga terkait agar dapat memastikan bahwa keberlangsungan hidup orang banyak dalam hal ini petani terpenuhi dengan adil.
*) Penulis adalah Pengurus Bidang Lingkungan Hidup dan Mitigasi Bencana HMI Badko Bali Nusra