Menyiasati turunnya fiskal daerah

id APBD NTB 2026,TKD,fiskal Oleh Abdul Hakim

Menyiasati turunnya fiskal daerah

Ilustrasi. Pekerja menyelesaikan pembangunan hotel bertingkat di Mataram, NTB, Selasa (18/2/2025). (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/nz)

Mataram (ANTARA) - Tahun anggaran 2026 menjadi ujian berat bagi hampir seluruh pemerintah daerah di Indonesia. Setelah bertahun-tahun bergantung pada dana transfer dari pusat, kini kantong fiskal daerah mulai menipis.

Kebijakan pemerintah pusat yang mengalihkan sebagian Dana Transfer ke Daerah (TKD) berdampak langsung terhadap kemampuan belanja publik di tingkat lokal.

Di banyak provinsi, anggaran pembangunan terpaksa dipangkas, belanja rutin dirasionalisasi, sementara defisit fiskal mengintai.

Bagi kepala daerah, situasi ini bagaikan menakhodai kapal di tengah badai. Ombak kebijakan pusat datang bertubi-tubi, sementara para penumpang yang tak lain adalah rakyat tetap berharap perjalanan pembangunan tidak terhenti.

Fenomena ini bukan sekadar urusan angka dalam tabel anggaran. Di baliknya tersimpan tantangan serius, yakni bagaimana daerah tetap bisa menjalankan fungsi pelayanan publik dengan sumber daya yang kian terbatas.

Ketika TKD berkurang, ruang fiskal menyempit, dan prioritas pembangunan harus dipilih secara ketat, maka kemampuan inovasi dan efisiensi pemerintah daerah benar-benar diuji.

Dari Aceh hingga Papua, pola yang sama terlihat. Pendapatan daerah menurun, belanja dikurangi, dan defisit harus dikelola hati-hati.

Namun, di tengah keterbatasan itu, muncul pula daerah-daerah yang mencoba bertahan dengan cara lebih kreatif. Salah satu contohnya datang dari Nusa Tenggara Barat (NTB), yang kini berhadapan langsung dengan tekanan fiskal cukup besar namun memilih mengubahnya menjadi momentum untuk berbenah.

Tekanan anggaran

Provinsi NTB menjadi gambaran nyata bagaimana kebijakan fiskal nasional berimbas langsung ke daerah.

Dalam rancangan APBD 2026, total anggaran NTB turun menjadi Rp5,4 triliun, atau berkurang 15,4 persen dibanding APBD 2025 yang mencapai Rp6,4 triliun.

Penurunan itu terjadi akibat pengalihan dana transfer dari pusat senilai lebih dari Rp1 triliun.

Pemerintah provinsi mengakui kondisi fiskal tahun depan akan sangat menantang. Penurunan transfer pusat menyebabkan hilangnya banyak kantong pendanaan untuk urusan pemerintahan.

Namun, alih-alih menyerah, Pemerintah Provinsi NTB memilih menjadikan situasi ini sebagai momentum untuk berinovasi dan menata ulang prioritas pembangunan.

Arah kebijakan difokuskan pada tiga hal utama, yakni efisiensi belanja, optimalisasi pendapatan asli daerah (PAD), dan reformasi regulasi pajak serta retribusi daerah.

Dalam rancangan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) 2026, PAD NTB justru ditargetkan naik 5,39 persen, dari Rp2,8 triliun menjadi Rp2,9 triliun.

Kenaikan ini diupayakan melalui revisi Perda Retribusi Daerah untuk menyesuaikan potensi penerimaan dengan kondisi ekonomi terkini.

Pemerintah juga mulai menertibkan aset-aset daerah yang disewakan agar lebih produktif, termasuk menjalin kerja sama dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) untuk menilai ulang nilai ekonominya.

Di sektor lain, NTB membuka peluang peningkatan PAD melalui pemberian Izin Pertambangan Rakyat (IPR) bagi koperasi yang memenuhi syarat lingkungan.

Kebijakan tersebut menunjukkan pergeseran arah pembangunan dari ketergantungan ke kemandirian fiskal. NTB mencoba membangun basis ekonomi daerah yang lebih kuat melalui pemetaan potensi lokal mulai dari pariwisata, energi, pertanian, hingga industri kreatif.

Namun, jalan menuju kemandirian itu tidak mudah. DPRD NTB menyoroti keterlambatan pengajuan rancangan KUA - PPAS 2026 yang berpotensi menghambat pembahasan dan penetapan APBD tepat waktu.

Di sisi lain, Kementerian Dalam Negeri menekankan pentingnya penyesuaian anggaran perjalanan dinas dan operasional sebagai bagian dari kebijakan efisiensi nasional.

Keterlambatan dan rasionalisasi ini mungkin tampak administratif, tetapi sejatinya mencerminkan betapa sulitnya menjaga keseimbangan fiskal daerah di tengah perubahan kebijakan pusat.

Efisiensi yang berlebihan tanpa inovasi pendapatan juga berisiko menurunkan kualitas layanan publik. Tantangan NTB kini adalah menemukan titik seimbang antara penghematan dan produktivitas.

Kemandirian daerah

Situasi fiskal 2026 dapat menjadi titik balik penting bagi hubungan keuangan pusat dan daerah. Penurunan TKD, meski terasa menyakitkan, bisa menjadi dorongan bagi daerah untuk memperkuat kemandirian ekonomi dan menata ulang strategi pembangunan agar lebih berkelanjutan.

Langkah yang ditempuh Pemprov NTB dengan merevisi regulasi retribusi, menertibkan aset, serta memperluas basis PAD adalah contoh konkret adaptasi terhadap keterbatasan fiskal.

Dengan tata kelola aset yang profesional dan struktur retribusi yang realistis, daerah dapat memperkuat fondasi fiskalnya sendiri, bukan sekadar menambal defisit jangka pendek.

Namun, kemandirian fiskal tidak cukup hanya dengan menaikkan target pendapatan. Daerah juga perlu mengubah paradigma belanja publik.

Efisiensi harus bermakna, artinya setiap rupiah anggaran mesti menghasilkan dampak sosial dan ekonomi yang nyata bagi masyarakat.

Belanja yang bersifat seremonial atau administratif perlu dikurangi, sementara belanja yang benar-benar produktif, seperti untuk pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat, harus menjadi prioritas utama.

Sektor pariwisata dan energi terbarukan di NTB memiliki potensi besar untuk menopang pendapatan jangka panjang. Pemanfaatan potensi itu perlu diarahkan pada program yang inklusif, misalnya pengembangan desa wisata berbasis masyarakat atau pemanfaatan sumber daya surya dan angin untuk energi lokal.

Pendekatan semacam ini tidak hanya meningkatkan PAD, tetapi juga membuka lapangan kerja dan memperkuat ekonomi lokal.

Di sisi legislatif, peran DPRD menjadi sangat penting. Fungsi pengawasan harus dijalankan secara kritis agar kebijakan efisiensi tidak berubah menjadi stagnasi. Pembahasan APBD perlu dilakukan tepat waktu dan terbuka agar masyarakat dapat ikut mengawasi ke mana arah uang publik mengalir.

Pada saat yang sama, pemerintah daerah juga perlu memperkuat kapasitas birokrasi agar lebih adaptif terhadap perubahan kebijakan fiskal nasional. Transparansi dan digitalisasi pengelolaan anggaran menjadi keharusan agar setiap rupiah dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka.

Krisis fiskal bisa menjadi cermin bagi daerah untuk menilai kembali arah pembangunan. Daerah yang mampu beradaptasi akan tumbuh lebih kuat, sementara yang bergantung pada dana pusat akan tertinggal dalam ketergantungan struktural.

Masa depan fiskal

Turunnya APBD di hampir seluruh provinsi Indonesia bukan sekadar masalah teknis anggaran, tetapi juga tanda bahwa era baru hubungan fiskal sedang dimulai.

Ketergantungan pada dana transfer pusat tidak bisa lagi dijadikan jaminan utama. Daerah perlu membangun fondasi ekonomi dan fiskal yang lebih kokoh, dengan mengandalkan inovasi, tata kelola yang baik, serta keberanian mengambil keputusan strategis.

Nusa Tenggara Barat menunjukkan arah perubahan itu. Di tengah penurunan anggaran, pemerintah provinsi memilih memperkuat PAD, menertibkan aset, dan mengubah cara kerja birokrasi agar lebih efisien.

Langkah-langkah ini tidak hanya menjawab tantangan jangka pendek, tetapi juga menyiapkan pondasi bagi kemandirian fiskal di masa depan.

Kekuatan fiskal sejati tidak ditentukan oleh seberapa besar anggaran yang dimiliki, melainkan oleh seberapa efektif anggaran itu digunakan untuk menyejahterakan rakyat.

Jika daerah mampu berinovasi dan tetap berorientasi pada kepentingan publik, maka badai fiskal yang melanda bisa menjadi awal dari perubahan besar menuju tata kelola keuangan yang lebih sehat dan berdaya saing.

Krisis ini, pada akhirnya, adalah kesempatan. Kesempatan bagi daerah untuk membuktikan bahwa kemandirian bukan sekadar slogan, melainkan sikap yang lahir dari tanggung jawab dan kemampuan membaca zaman.

Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - NTB dan ujian kemandirian fiskal di tahun sulit 2026



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.