Menolak pariwisata yang mengusik taman bumi Rinjani

id pariwisata ,taman bumi Rinjani,rinjani Oleh Harianto Bahagia *)

Menolak pariwisata yang mengusik taman bumi Rinjani

Anggota the Society Indonesian of Environtmental Journalists (SIEJ) simpul NTB Harianto Bahagia (ANTARA/HO - Dok Harianto Bahagia)

Mataram (ANTARA) - Pemerintah Provinsi NTB akhirnya mengambil posisi yang tegas bahwa pembangunan glamping dan seaplane tidak akan pernah menjadi wajah baru di kawasan taman bumi (geopark) Rinjani.

Itu bukan sekadar keputusan administratif, melainkan pernyataan politik-kultural bahwa gunung tertinggi di Pulau Lombok ini tak boleh diperlakukan sebagai ruang eksperimen investasi pariwisata cepat saji.

Penolakan Pemprov NTB menjadi penanda bahwa pembangunan tetap harus memiliki etika, terutama ketika menyangkut lanskap yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat adat selama berabad-abad.

Penolakan itu muncul seiring gelombang keberatan dari para pegiat lingkungan, warga lokal, masyarakat adat, dan komunitas lintas profesi yang melihat wacana pembangunan glamping dan seaplane sebagai ancaman terhadap keseimbangan ekologis dan spiritual Rinjani.

Di tengah berbagai tekanan ekonomi yang kerap dijadikan dalih untuk membuka ruang-ruang baru bagi industri pariwisata, langkah Pemprov NTB ini terasa seperti rem yang bekerja tepat waktu.

Rinjani bukan tempat untuk menguji “inovasi” yang memutus relasi manusia dengan gunung, terlebih jika inovasi itu dibungkus narasi modernitas yang tak menyisakan ruang bagi kearifan lokal.

Sikap Pemprov juga menegaskan bahwa kebijakan pembangunan di NTB mesti membaca kembali akar kosmologi Sasak, yakni sebuah kosmologi yang menempatkan gunung sebagai pusat orientasi moral dan ekologis.

Tidak ada gunung yang sepenuhnya diam. Rinjani, bagi orang Sasak, selalu berbicara lewat kabutnya, lewat desir angin yang memantul dari dinding kaldera, lewat mata air yang tak pernah berhenti mengalir dari tubuhnya.

Karena itu, ketika ada wacana pembangunan glamping dan seaplane tiba-tiba muncul di ruang publik, banyak orang merasa seperti mendengar denting yang sumbang: bunyi yang memutus kesinambungan rasa antara manusia dan gunung.

Penolakan yang kemudian menguat bukan sekadar reaksi atas proyek wisata modern, melainkan suara lama yang terus bergema bahwa Rinjani bukan sekadar destinasi, tetapi ruang batin, tempat generasi tumbuh menata hubungan dengan alam.

Lewat pemberitaan beberapa media online, secara tidak langsung Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, ikut menyuarakan keberatan pembangunan glamping dan seaplane. Ia menyarankan di Rinjani mesti lebih memperhatikan fungsinya sebagai kawasan konservasi. Sikapnya itu juga terasa selaras dengan keyakinan masyarakat adat yang telah menjaga gunung ini jauh sebelum berbagai regulasi konservasi formal dibentuk.

Pertengah bulan Juli 2025 lalu, dia juga terlihat hadir dalam prosesi adat Ngayu-ayu di Sembalun, sebuah ritus yang hanya digelar sekali dalam tiga tahun. Kehadirannya itu lebih dari sekadar seremoni. Ritus itu juga seperti penegasan bahwa menjaga Rinjani menuntut kehadiran tubuh, telinga, dan kesediaan untuk mendengarkan bahasa spiritual masyarakat lokal.

Ngayu-ayu mengingatkan kita bahwa gunung bukan ruang ekonomi semata, melainkan simpul kosmologi, ialah ruang tempat manusia meneguhkan hubungan timbal balik dengan semesta.

Jejak Ritus dan Bahasa Alam

Di Sajang, masyarakat adat juga melakukan ritus Ngasuh Gunung. Ada keheningan yang tak mudah dijelaskan ketika para tetua berkumpul, membaca tanda-tanda, lalu memanjatkan doa agar gunung tetap seimbang. Ngasuh berarti merawat; sebuah kata yang membuat kita memahami bahwa menjaga Rinjani adalah tindakan sehari-hari, bukan hanya ritual besar.

Rinjani dirawat dengan kesabaran: dengan tidak mengganggu jalur airnya, tidak menambah beban yang tak dapat ditanggung hutan, tidak memutus napas satwa yang berdiam di lereng-lereng sunyinya.

Di berbagai pelosok di Pulau Lombok, bahasa ekologis ini menemukan variannya sendiri. Masyarakat Aikdewa misalnya menggelar Ngalun Aik, memelihara mata air sebagai denyut kehidupan yang mengalir dari kaki Rinjani.

Komunitas adat di Tetebatu menghidupkan ritual Roros Reban dan Ngansor Gadang. Sementara di desa yang lain di Kecamatan Pringgasela juga berlangsung Selamatan Mata Air Tibu Bunter.

Semua ritus lokal itu mengajarkan hal serupa: air bukan hanya materi, tetapi ingatan. Setiap ritus adalah cara menagih kesadaran bersama bahwa kelestarian bukan konsep abstrak, melainkan hubungan konkret antara tanah, air, pohon, dan manusia.

Jauh hari, lewat penggalan syair yang diciptakan oleh Pahlawan Nasional, Maulanasyaikh TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid juga mengingatkan betapa pentingnya kita memahami keberadaan dan fungsi Rinjani sebagai pasak bumi (kosmologi dan ekologi) masyarakat di Pulau Lombok.

"Pulau Sasak kecil sekali

Tapi gunungnya besar dan tinggi

Kalau-lah orang pandai mengkaji

Pastilah sujud seribu kali".

Pelestarian Ekologi

Dalam lanskap semacam ini, rencana glamping dan seaplane terasa seperti ketergesaan. Pembangunan yang merusak ritme ekologis bukan hanya mengancam vegetasi dan ketenangan Segara Anak, tetapi juga merusak urat nadi spiritual yang telah lama membuat masyarakat Sasak menyatu dengan gunung.

Mewujudkan wisata yang nyaman tidak salah, tetapi memaksakan infrastruktur modern di ruang sakral seperti kaldera adalah bentuk lupa terhadap ingatan kolektif yang telah lama diwariskan secara turun-temurun. Karena itu, penolakan publik kemarin terasa seperti benang yang menyambung dua dunia, yaitu kebijakan formal dan kosmologi lokal.

Ketika pemerintah daerah menegaskan pentingnya menjaga ekologi Rinjani, warga melihat bahwa suara mereka tidak hilang ditelan jargon pembangunan. Di tengah ketidakpastian iklim dan tekanan ekonomi, kehati-hatian semacam ini terasa sebagai bentuk keberanian.

Rinjani, pada akhirnya, bukan hanya urusan alam. Ia adalah penjaga arah. Selama ritual-ritual itu terus digelar, selama pemerintah melihat nilai di balik narasi masyarakat adat, kita masih memiliki harapan bahwa gunung tidak akan diperlakukan sebagai halaman belakang yang boleh dirapikan sesuka hati.

Penolakan terhadap pembangunan glamping dan seaplane adalah semacam pengingat bahwa masa depan Lombok tidak boleh mengabaikan bisikan alam dan jejak ritual yang selama ini menjaga keseimbangan pulau.

Rinjani seperti memanggil kita untuk kembali merefleksi diri dengan caranya sendiri: lewat kabut, air, dan keyakinan lokal bahwa gunung yang dirawat adalah taman bumi yang memberi sumber penghidupan warga di sekitarnya.

*) Penulis adalah anggota the Society Indonesian of Environtmental Journalists (SIEJ) simpul NTB.



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.