WALIKOTA BIMA MANGKIR DARI PANGGILAN KEJAKSAAN

id

Mataram, 16/1 (ANTARA) - Walikota Bima, Drs HM Nur Latif, mangkir dari panggilan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi pada proyek pembangunan terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) tahun 2005, yang dijadwalkan Jumat siang.

Kasi Penkum dan Humas Kejati NTB, Sugiyanta, SH, di Mataram, mengatakan, Nur Latif yang dikenal dengan sebutan Noli itu beralasan sedang mengikuti rapat dengan DPRD Kota Bima yang akan berakhir Minggu (18/1) malam.

"Noli baru saja menelepon saya dan menyampaikan permohonan maaf karena tidak bisa hadir untuk diperiksa karena sedang rapat dengan DPRD di Bima," ujarnya.

Sugiyanta mengatakan, Noli meminta jadwal pemeriksaan itu ditunda hingga Senin (19/1) namun permintaan itu tidak bisa dipenuhi karena pada hari itu ada rapat koordinasi kejaksaan se-NTB, di Kantor Kejati NTB.

Sementara pada Selasa (19/1) dan Rabu (20/1) penyidik yang menangani kasus dugaan korupsi itu mempunyai agenda lain yang tidak bisa ditinggalkan.

"Setelah berkoordinasi secara baik, akhirnya diputuskan waktu pemeriksaan Noli dijadwalkan Kamis (21/1) pekan depan dan hal ini sudah diberitahu kepada yang bersangkutan dan disetujui," ujarnya.

Walikota Bima itu akan menjalani pemeriksaan sebagai saksi untuk ketiga kalinya karena penyidik Kejati NTB masih membutuhkan keterangan tambahan untuk mempertajam berkas dakwaan H Arifin Adnan (kontraktor) selaku salah seorang tersangka kasus dugaan korupsi itu.

Pemeriksaan pertama pada tanggal 27 Nopember 2008 dengan 22 pertanyaan dan pemeriksaan kedua juga sebagai saksi pada 4 Desember 2008 dengan 10 pertanyaan.

Pemeriksaan pertama mengarah kepada pola pengelolaan dana proyek pembangunan terminal AKAP yang diduga mengandung unsur perbuatan merugikan negara dan pemeriksaan kedua lebih difokuskan kepada nilai uang negara yang dirugikan.

Sementara pemeriksaan ketiga lebih dimaksudkan untuk mengetahui kejelasan proses pembebasan lahan untuk terminal AKAP itu.

Penyidik menduga Nur Latif tidak mempedomani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Perpres Nomor 65 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Penyidik Kejati NTB juga akan memeriksa Walikota Bima itu sebagai tersangka namun hingga kini izin presiden belum juga turun meskipun sudah diajukan sejak Nopember 2008.

Pada Juli lalu, penyidik Kejati NTB menetapkan dua orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan terminal AKAP tahun anggaran 2005 itu dengan perkiraan kerugian negara sebesar Rp9 miliar lebih, yakni Nur Latif selaku Walikota Bima dan Arifin sebagai rekanan yang mengaku pemilik tanah.
Versi Kejati NTB, dugaan korupsi atau indikasi perbuatan merugikan negara terlihat dari bukti-bukti permulaan seperti pengakuan Arifin bahwa tanah seluas lima hektare untuk pembangunan terminal AKAP itu merupakan miliknya sehingga Pemkab Bima membayarnya untuk membebaskan lahan tersebut.

Padahal, informasi yang berkembang menyatakan areal untuk pembangunan terminal AKAP itu bukan lahan milik Arifin tetapi merupakan tanah negara di kawasan pantai atau lahan dalam penguasaan negara.

Proses pembebasan lahan juga tidak sesuai Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau berindikasi penggelembungan harga (mark up), dan lahan itu tidak representatif karena terletak di tepi pantai dan di waktu malam digenangi air laut.(*)