KEJAKSAAN AKHIRI PEMERIKSAAN WALIKOTA BIMA SEBAGAI SAKSI

id

Mataram, 27/1 (ANTARA) - Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Barat (NTB) mengakhiri pemeriksaan Walikota Bima, Drs H.M. Nur Latif, sebagai saksi setelah tiga kali diperiksa terkait dugaan korupsi pada proyek pembangunan terminal Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) tahun 2005.

"Penyidik menyatakan kesaksian Walikota Bima telah melengkapi berkas perkara tersangka H. Arifin Adnan, sehingga tidak lagi diperiksa sebagai saksi," kata Kasi Penkum dan Humas Kejati NTB, Sugiyanta, SH, di Mataram, Selasa.

Nur Latif telah memenuhi panggilan kejaksaan untuk diperiksa sebagai saksi pada Selasa (27/1), setelah dua kali mangkir dari panggilan yang dijadwalkan 16 Januari dan 22 Januari lalu.

Menurut Sugiyanta, pemeriksaan sebagai saksi untuk ketiga kalinya itu berlangsung selama tiga jam dan penyidik lebih banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat klarifikasi atas keterangan saksi-saksi lainnya.

Berbeda dengan pemeriksaan pertama pada tanggal 27 Nopember 2008 yang lebih dari empat jam karena mengarah kepada pola pengelolaan dana proyek pembangunan terminal AKAP yang diduga mengandung unsur perbuatan merugikan negara.

Demikian pula, pemeriksaan kedua pada tanggal 4 Desember 2008 yang mencapai lima jam lebih karena difokuskan kepada nilai uang negara yang dirugikan.

Kepala daerah di Kota Bima itu tidak lagi diperiksa sebagai saksi namun akan diperiksa dengan status tersangka jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menerbitkan izin karena yang bersangkutan merupakan pejabat negara.

Izin pemeriksaan itu sudah ditunggu sejak pengajuan permohonan izin pemeriksaan ke presiden melalui Kejaksaan Agung, akhir Juli 2008.

"Sebenarnya penyidik sangat ingin memeriksa Walikota Bima sebagai tersangka agar dapat diberkaskan untuk kepentingan penyusunan dakwaan, namun terkendala surat izin tersebut," ujarnya.

Pada pertengahan Juli 2008, penyidik Kejati NTB menetapkan dua orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan terminal AKAP tahun anggaran 2005 itu dengan perkiraan kerugian negara sebesar Rp9 miliar lebih, yakni Nur Latif selaku Walikota Bima dan Arifin Adnan sebagai rekanan yang mengaku pemilik tanah.

Versi Kejati NTB, dugaan korupsi atau indikasi perbuatan merugikan negara terlihat dari bukti-bukti permulaan seperti pengakuan Arifin bahwa tanah seluas lima hektare untuk pembangunan terminal AKAP itu merupakan miliknya sehingga Pemkab Bima membayarnya untuk membebaskan lahan tersebut.

Padahal, informasi yang berkembang menyatakan areal untuk pembangunan terminal AKAP itu bukan lahan milik Arifin tetapi merupakan tanah negara di kawasan pantai atau lahan dalam penguasaan negara.

Proses pembebasan lahan juga tidak sesuai Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau berindikasi penggelembungan harga (mark up), dan lahan itu tidak representatif karena terletak di tepi pantai dan di waktu malam digenangi air laut. (*)