DPR MASUKI MASA RESES

id

Jakarta (ANTARA) - DPR RI kembali memasuki masa reses persidangan dan reses kali ini berlangsung di tengah memuncaknya polemik mengenai keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ketua DPR RI Marzuki Alie di Gedung DPR/MPR Jakarta, Jumat, menutup masa persidangan kedua DPR RI tahun 2010-2011 yang telah berlangsung sejak 22 November 2010.

Masa reses DPR RI akan berlangsung hingga 9 Januari 2011. Pada Kamis (16/12), DPR RI menerima draft RUU tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Terkait RUU tersebut, Ketua DPR RI Marzuki Alie sebelumnya telah mengharapkan usulan pemerintah agar Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih dan bukan ditetapkan, dapat dimaknai dengan tepat.

"Usulan tersebut demi menyelaraskan perkembangan situasi dan zaman dengan sejarah dan budaya yang dimiliki bangsa ini," katanya.

Marzuki mengatakan, saat ini dengan perkembangan zaman, tentunya demokrasi melalui pemilihan adalah hal yang tepat. Namun bukan berarti dengan proses pemilihan langsung seperti yang diamanatkan UUD, mengganggu kedudukan Sri Sultan dan Paku Alam sebagai raja di Yogyakarta karena Sultan dan Paku Alam tetap dijadikan Gubernur dan Wakil Gubernur Utama.

Dengan kedudukannya sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Utama, maka kedudukan Sri Sultan bukan lagi sebagai pelaksana eksekutif dengan segala tugas dan tanggungjawabnya, namun lebih sebagai simbol pemersatu dengan tugas dan kewajiban tertentu yang akan diatur dalam UU tersebut.

"Saya coba membandingkan, misalnya, dengan negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda, Swedia yang tetap mempertahankan kerajaan walaupun pemerintahan dipilih secara demokratis. Raja ataupun ratu di negara-negara tersebut masih memiliki kekuasaan tertentu, namun tidak lagi seperti dahulu ketika negara-negara tersebut masih menganut sistem kerajaan murni," katanya.

Dengan demikian, kata dia, pemerintahan bisa berjalan demokratis dan pemerintahan dapat berganti sesuai keinginan rakyat, namun kerajaan-kerajaan tersebut tetap eksis dan memiliki kekuasaan tertentu. Yogyakarta pun akan seperti itu, dimana raja tetap memiliki beberapa kewenangan yang tidak bisa diganggu gugat.

"Kita tengok, misalnya, Inggris, ketika pemilu berlangsung dan terpilih perdana menteri, maka yang melantik mereka ada Ratu Elizabeth II. Negara-negara ini sadar bahwa demokrasi merupakan keniscayaan, namun mereka juga sadar bahwa kerajaan dan budaya mereka harus tetap dipertahankan," kata Marzuki.

Selain itu, keinginan untuk tetap mempertahankan Sultan sebagai gubernur, juga sangat riskan. Hal ini terutama terkait dengan penggunaan anggaran.

"Namanya manusia bisa saja salah. Kalau Sultan sebagai gubernur dan sebagai kuasa APBD, maka ketika ada kesalahan dalam penggunaan anggaran itu, maka tentunya satu hal yang tidak mungkin jika Sultan harus mempertangungjawabkannya. Namun ketika ada pelanggaran namun Sultan tidak harus mempertangungjawabkan, maka tentunya hal ini akan menimbulkan kecemburuan daerah lainnya dan juga dapat menyebabkan ketidakpastian hukum," katanya.

Dia mengatakan, RUU usulan pemerintah ini berupaya menjadi jembatan akan hal-hal yang seperti ini. Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Utama akan diberikan peran seperti halnya raja atau ratu di Inggris, Belanda, Swedia atau lainnya.

Keraton Surakarta seperti halnya Kerajaan Inggris akan tetap mendapatkan anggaran yang menjadi kewenangan Sultan dan Paku Alam untuk menggunakannya. (*)