Bahagia atau sengsara, pilihan manusia: sebuah kontemplasi

id Bahagia,Senang,Gembira, Lili Sholehuddin,Manusia,Sengsara

Bahagia atau sengsara, pilihan manusia: sebuah kontemplasi

Dr. Lili Sholehuddin, M.Pd. (Foto: Istimewa)

Mataram (ANTARA) - Hidup itu bagai sebuah kapal besar yang berlayar mengarungi bahtera lautan luas dan dalam menuju pulau keabadian. Sebelum sampai tujuan, kapal itu transit di sebuah pelabuhan sekedar beristirahat sambil menikmati indahnya pemandangan.
       
Kemudian, nahkoda memberitahukan para penumpang bahwa tidak akan ada lagi pengumuman, terkecuali rambu dan isyarat berupa tanda-tanda yang disediakan di segala sudut pulau dengan maksud agar selalu ingat dan sewaktu-waktu kapal berangkat, mereka sudah berada di tempat duduknya masing-masing. 
       
Semua penumpang kapal pun keluar dan turun di pelabuhan untuk beristirahat dan melihat-lihat serta menikmati lingkungan dan keindahan alam yang segar, menarik, dan menyenangkan. 
       
Pulau itu memang hijau ranau dan sangat mempesona, membuat para penumpang kapal terlena dan terbuai oleh keelokannya, bahkan ingin bertempat tinggal sebagai penghuni pulau itu. Lupa kalau mereka sejatinya hanya sekedar transit dan kapal akan melanjutkan perjalanan menuju pulau peristirahatan abadi dan kekal.
       
Sesuai jadwal keberangkatan, kapal pun melanjutkan perjalanan. Penumpang yang selalu sadar dan "eling" terhadap peringatan yang telah diberitahukan nahkoda akan berada di kapal dengan membawa bekal persiapan yang cukup untuk melanjutkan kehidupan di pulau tempat tujuan. Mereka menatap ke depan dengan wajah penuh optimisme, ceria, dan sukacita. 
       
Tetapi banyak pula di antara penumpang, masuk ke dalam kapal dengan tangan kosong, tidak membawa bekal apapun. Wajah mereka pun terlihat "madesu", kusam, dan hitam kelam bagai tertutup debu serta diliputi rasa cemas, khawatir, dan takut.
       
Pemaknaan secara sederhana dan kontekstual terhadap “hidup bagai kapal besar” itu merupakan analogi bahwa yang dimaksud kapal adalah usia, yaitu kesempatan hidup yang dimiliki oleh setiap individu manusia yang akan mengalami masa berakhir sesuai jatah perjalanan waktu yang telah ditentukan baginya. 
       
Lalu pengertian “nahkoda” adalah sang Pencipta untuk memastikan manusia agar selalu ingat akan tugas dan fungsinya dalam menjalani hidup dengan rambu-rambu yang diberikan sebagai kompas agar tidak tersesat.
       
Adapun pulau pertama adalah alam rahim (lauhil mahfudz) di mana ruh saat itu berkumpul dan memberikan kesaksian atas pengakuan terhadap sang Pencipta sebagai Rab (pemelihara, pencipta, penguasa) sebagaimana firman-Nya: 
       
“Sebuah kesaksian terhadap jiwa (ruh) akan ke-Maha-Esaan Allah sebagai Rab (pemelihara dan penguasa tunggal) sehingga tidak ada alasan bagi ruh itu (berbuat lalai dan ingkar).” [Al-A’raf Ayat 172].
       
Sementara pulau kedua yaitu dunia yang merupakan ajang permainan dan senda gurau, tempat transit yang fana, dan semu bukan hakiki dan abadi karena sewaktu-waktu akan ditinggalkan.
       
Seperti seorang musafir yang berteduh di bawah pohon karena lelah atau kepanasan. Bila rasa lelah dan panas telah hilang, maka tentu ia akan terus melanjutkan perjalanan menuju tempat tujuan sebagaimana penjelasan Rasulullah SAW kepada Ibnu Umar yang berbunyi: “Jadilah engkau seorang musafir selama hidup di dunia”. 
       
Ibnu Umar RA mempertegas, berbuatlah optimal, serius, dan sungguh-sungguh. Jangan sesekali menunda-nunda pekerjaan. Pergunakanlah waktu sehat sebelum sakit dan hidup sebelum ajal menjemput.” 
       
Kedudukan hadits ini shahih, riwayat al-Bukhari, no. 6416; at-Tirmidzi, no. 2333; Ibnu Majah no. 4114; Ahmad, II/24 dan 41; al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, XIV/230, no. 4029; Ibnu Hibban, at-Ta’liqatul Hisan– no. 696 dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 1157. 
       
Hakikat hadits itu merupakan landasan agar manusia tidak memiliki angan-angan  panjang. Orang yang beriman tidak sepantasnya menganggap dunia ini sebagai tempat tinggal yang abadi. Namun, seyogianya ia menganggap hidup di dunia seperti musafir yang sedang menyiapkan bekal bepergian menempuh perjalanan yang teramat panjang.
       
Selanjutnya, sebutan pulau ketiga adalah tempat tujuan yaitu kampung akhirat sebagai terminal akhir perjalanan hidup manusia. Kehidupan akhirat ini menjadi representasi kebaikan atau keburukan bergantung bekal dan amalnya. Faktor kebaikan inilah yang seharusnya menjadi konsentrasi dan fokus aktivitas manusia selama berada di dunia. 
       
Manusia harus mempersiapkan perbekalan dengan mengumpulkan pundi-pundi amal sebagai bekal untuk melanjutkan perjalanan panjang tak bertepi dan tempat peristirahatan yang teramat indah. 
       
Firman Allah: “Kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau belaka. Kampung akhirat itulah sesungguhnya yang lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah manusia memahaminya?” (Aurat al-An’aam Ayat 32).
      
Narasi yang dibangun ayat di atas cukup unik, segar, dan inspiratif. Gaya bahasanya sederhana, mudah dicerna, dan memiliki makna yang dalam. Intinya bahwa dunia adalah tempat mempersiapkan bekal bagi seseorang berupa amal kebajikan yang dapat menjamin nasib baik dalam meniti perjalanan hidup di dunia maupun di akhirat nanti.
       
Dalam perspektif keberlangsungan hidup, makna perumpamaan di atas merupakan gambaran konkret yang menceritakan sifat, sikap, dan perilaku hidup manusia yang beragam. Ada yang selalu mawas diri dengan banyak mengingat Allah, beribadah, berbuat kebaikan, membantu sesama, dan lain-lain. 
       
Namun, tidak sedikit pula dari manusia yang justru menggunakan kesempatan yang ada dengan banyak melakukan kemaksiatan dan kemungkaran, melampiaskan hawa nafsu seks, mengkonsumsi miras, narkoba, dan berjudi. 
       
Tidak sampai di situ, kebobrokan mental juga terjadi pada ekosistem lingkungan hidup dengan banyaknya manusia yang melakukan pencemaran udara dan air, illegal logging, pembakaran hutan, dan melakukan pembuangan limbah industri ke sungai yang menyebabkan biota laut rusak dan punah. 
       
Akibat tindakan atau ulah manusia seperti itu terjadilah beragam bencana alam yang menimpa bangsa ini seperti banjir bandang, tsunami, tanah longsor, kebakaran hutan, dan kesulitan air bersih. Melengkapi keterpurukan ibu pertiwi adalah terjadinya krisis moral dan mentalitas rendah, manipulasi, eksploitasi, dan korupsi yang merajalela. 
       
Di sisi lain, sesuai fakta, tindak pidana korupsi masih menjadi permasalahan utama bangsa Indonesia. Bahkan sepanjang tahun 2020 saja Polda Lampung misalnya, berhasil mengungkap 10 perkara tindak pidana korupsi.
       
Angka tersebut hanya selesai separuh dari jumlah kasus yang ditangani (mencapai 20 kasus). Begitu mirisnya mentalitas bangsa ini, peristiwa demi peristiwa musibah alam pun kemudian datang silih berganti, dan tak seorang pun tahu kapan malapetaka itu akan berakhir. 
       
Merajalelanya korupsi telah menimbulkan kemiskinan dan ketidakadilan, sehingga menyebabkan lahirnya ketimpangan sosial dan menjadi pemicu terjadinya gesekan-gesekan sosial yang mengarah pada meletusnya pertikaian. 
       
Kemudian, kasus teraktual dan menjadi momok bagi setiap individu saat ini adalah berjangkitnya wabah pandemi COVID-19. Kejadian luar biasa ini telah menyita perhatian masyarakat dunia, termasuk Indonesia, dan sampai sejauh ini belum ada vaksin handal yang dianggap efektif menurunkan bahkan mengatasi virus tersebut.    
       
Itulah fakta peristiwa yang terjadi dan terhampar luas sebagai sebuah hukum kausalitas berupa kekurangan, kemalangan, dan ketakutan sebagai implikasi perbuatan maksiat dalam  berbagai bentuknya. 
        
Oleh karena itu, satu-satunya solusi untuk menyelesaikan dan mengakhiri malapetaka tersebut adalah bertaubat dengan benar (nasuh) dan kembali ke jalan Allah, karena taubat nasuh akan menghilangkan semua dampak negatif perbuatan dosa yang pernah dilakukan seseorang.
       
Rasulullah SAW bersabda:  “Orang yang bertaubat dari perbuatan dosa seperti orang yang tidak pernah berbuat dosa (sama sekali)”. Inilah makna yang diisyaratkan Allah Azza wa Jalla berikut ini: “Supaya dirasakan oleh mereka sebagian dari (akibat) perbuatannya, lalu kembali (ke jalan yang benar).” [ar Rum/30:41]. 
       
Maknanya, agar manusia bertaubat dari perbuatan maksiat yang menimbulkan kerusakan besar dalam kehidupannya, lalu menjadi baik dan sejahtera. Umar bin Khaththab pernah berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya tidak akan terjadi suatu malapetaka kecuali dengan (sebab) perbuatan dosa, dan tidak akan hilang malapetaka kecuali bertaubat (sungguh-sungguh)…” 

Kembali kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya dengan cara mempelajari, memahami dan mengamalkan Quran dan Hadits adalah pilihan tepat untuk mengakhiri berbagai bencana dalam segala bentuknya, bahkan menggantikannya dengan kebaikan, kemaslahatan dan kesejahteraan.
       
Kenapa? Tidak lain dan tidak bukan karena Islam disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla  untuk membawa pada kebaikan dan kemaslahatan hidup manusia secara universal. Wallahu ‘alam.

*Penulis, Dr. Lili Sholehuddin, M.Pd. adalah Wakil Ketua I (Bidang Akademik) Sekolah Tinggi Ilmu Shuffah al-Quran Abdullah bin Mas'ud (STISQABM)