Mataram, 8/6 (ANTARA) - Pengamat pertanian dari Universitas Mataram Prof Lalu Wirasapta Karyadi menilai peran penyuluh dalam memberikan informasi pasar belum optimal sehingga nilai tukar petani (NTP) di daerah itu masih berada di bawah 100 persen.
"Selama ini penyuluh pertanian lapangan (PPL) masih berkutat pada upaya membantu petani dari sisi teknis budidaya. Padahal yang penting saat ini bagaimana petani bisa memperoleh informasi pasar agar produksinya bisa dijual dengan harga layak," katanya di Mataram, Jumat.
Ia menyebutkan, NTP di Provinsi NTB masih dianggap rendah karena berada di bawah 100 persen. Bahkan berada di posisi 31 dari seluruh provinsi yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Selain faktor informasi pasar yang minim, kata Wirasapta, pemilihan komoditas juga ikut menjadi faktor pembentukan NTP. Petani di NTB masih terbiasa dengan pola tanam padi dan palawija dalam satu lahan.
Kondisi itu tentunya berbeda dengan petani di daerah lain yang memperoleh NTP di atas 100 persen, seperti di Pulau Kalimantan dan Sumatera yang memiliki lahan perkebunan sawit dan karet. Dua komoditas itu memiliki nilai ekonomi tinggi.
"Sebenarnya meskipun petani di NTB hanya terpaku pada pola tanam padi dan palawija, kesejahteraannya bisa saja meningkat asalkan pasarnya jelas dan harga yang diterima layak. Itu tugas pemerintah untuk memfasilitasi petani," katanya.
Selama ini, kata dia, pemerintah lebih fokus pada upaya peningkatan produksi, sedangkan penyediaan pasar masih relatif minim. Hal itu menyebabkan harga hasil produksi petani pada saat musim panen raya anjlok.
Ia mencontohkan, petani di Kabupaten Dompu saat ini gencar menanam jagung untuk mendukung program unggulan Pemerintah Provinsi NTB, yakni peningkatan populasi sapi, jagung dan rumput laut atau "Pijar".
Namun pada saat musim panen raya, petani jagung di daerah itu menghadapi kendala memasarkan hasil produksinya. Hal itu mengindikasikan masih lemahnya sistem informasi pasar sebagai bagian dari agribisnis.
"Informasi pasar itu seharusnya bisa diberikan oleh para tenaga penyuluh pertanian lapangan yang ada di masing-masing desa. Penyuluh itu garda terdepan dalam pembangunan pertanian," ujarnya.
Menurut dia, peran penyuluh pertanian lapangan penting untuk meningkatkan taraf hidup petani di NTB yang masih melakukan usaha tani secara subsistem.
Penyuluh bisa menjadi pendamping bagi petani di NTB yang sebagian besar tamatan sekolah dasar (SD) dan memiliki lahan relatif sempit, yakni rata-rata 0,25 hektare.
Melalui penerapan teknologi dan penyebaran informasi pasar, kata Wirasapta, petani akan termotivasi melakukan usaha tani komoditas tertentu yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
"Contohnya, petani di Pulau Lombok setiap tahun menanam tembakau. Itu dilakukan karena sudah jelas pasarnya. Banyak perusahaan rokok yang bersedia menampung hasil produksi mereka," ujarnya. (*)