Fitra: keterbukaan anggaran Kota Mataram cukup baik

id Fitra, survei keterbukaan anggaran daerah, 12 daerah di Indonesia

"Bahkan, Kota Mataram meraih nilai tertinggi predikat transparansi, dengan skor 51 dibandingkan dengan 11 provinsi, kota dan kabupaten lainnya," kata Direktur Fitra Ervin Kaffah.
Mataram (Antara Mataram) - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyatakan, keterbukaan anggaran daerah di Pemerintah Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) cukup baik, dibanding 11 daerah provinsi, kabupaten dan kota lainnya yang disurvei.

"Bahkan, Kota Mataram meraih nilai tertinggi predikat transparansi, dengan skor 51 dibandingkan dengan 11 provinsi, kota dan kabupaten lainnya," kata Direktur Fitra Ervin Kaffah, ketika mempublikasikan Survei Keterbukaan Anggaran Daerah atau Open Budget Survey (OBS) pada 12 daerah di Indonesia, yang digelar di Mataram, Senin.

Survei OBS itu dilakukan pada September 2012 hingga Februari 2013, yang mencakup 12 wilayah, yakni empat provinsi (NTB, Jatim, Riau, Kalimantan), empat kota (Mataram, Samarinda, Pekan Baru, Blitar), dan empat kabupaten (Lombok Utara, Bondowoso, Indragiri Hulu, Kutai Kertanegara).

Metodelogi OBS yang digunakan yakni, kuisioner yang sangat detail, wawancara mendalam, penggunaan metode "snow ball" dan klarifikasi hasil survei oleh pemerintah.

Sedangkan instrumen OBS difokuskan pada ketersediaan dokumen perencanaan dan penganggaran (PPAS, Nota keuangan, RAPBD, APBD), pertanggung jawaban ((LPKD, Laporan Audit atas LKPD dan SKPD) RPBJ (Rencana Pengadaan Barang dan Jasa).

Khusus perencanaan anggaran, difokuskan pada kualitas dokumen perencanaan (Nota Keuangan dan RAPBD), diseminasi nota keuangan dan RAPBD ke publik, proses APBD, pengesahan anggaran menjadi APBD, kualitas informasi dalam APBD, diseminasi APBD ke publik, dan sistem pengadaan barang dan jasa.

Untuk proses pelaporan dan pengawasan anggaran, difokuskan pada pengawasan pelayanan publik, informasi kondisi dari layanan publik, ruang partisifasi masyarakat, dan akses terhadap informasi anggaran untuk fasilitas pelayanan LKPD (Kualitas LKPD, Diseminasi LKPD ke publik).

Selain itu, fase audit yang mencakup rutinitas, cakupan dan akesibiltas laporan � laporan audit, hubungan dengan publik dalam pemeriksaan ekternal laporan audit.

Ervin mengatakan, dari hasil survei OBS itu jika dibandingkan dengan Kota Mataram, maka Provinsi NTB menempati peringkat ke 3 dengan skor 36, diatas Kota Samarinda yang meraih skor 42.

Untuk level provinsi, Provinsi NTB memiliki nilai tertinggi dengan skor 36 jika dibandingkan dengan propinsi lain seperti Provinsi Riau skor 35, Jatim skor 20, dan Kaltim skor15.

Dengan demikian, diantara tiga wilayah (Provinsi NTB, Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Utara), Kota mataram memiliki nilai tertinggi dengan skor 51, sedangkan Provinsi NTB hanya 36 dan Kabupaten Lombok Utara skor 17.

"Hanya saja, terdapat kejanggalan karena Kota Mataram sendiri belum memiliki infrastrukur (PPID), sedangkan provinsi NTB sudah memiliki 45 PPID SKPD dan PPID provinsi, Lombok Utara sembilan PPID SKPD dan PPID kab," ujarnya.

Ervin menambahkan, Kota Mataram akan memiliki perkembangan yang lebih bagus dibandingkan dengan provinsi jika sudah memiliki PPID, asalkan pada 2013 Kota Mataram fokus membuat PPID.

Dari hasil temuan survei OBS itu, Fitra menyimpulkan bahwa Provinsi NTB, Kabupaten Lombok Utara, dan Kota Mataram sama-sama melakukan proses permintaan masukan kepada masyarakat dalam bentuk musyawarah perencanaan pembangunan di masing�masing tingkatan dengan mengundang perwakilan masyarakat.

Sementara di tiga wilayah tersebut, DPRD tidak pernah melakukan konsultasi publik terhadap RAPBD menuju APBD.

"Rendahnya skor NTB dalam proses perencanaan karena agenda atau meteri pada musrenbang provinsi hanya membahas sebagian belanja yang ada anggarannya," ujarnya.

Fitra kemudian merekomendasikan pentingnya format anggaran yang dapat membuat tingkat pembelajaran dokumen anggaran tinggi. Namun, dokumen yang lebih lengkap juga perlu dibuka oleh pemerintah agar ada inovasi dalam pengelolaan anggaran.

Selain itu, komitmen pemerintah nasional maupun daerah untuk transparansi juga harus tinggi, dan UU KIP seharusnya bisa memudahkan proses permintaan informasi.

"Sayangnya, Komisi Informasi masih belum berani untuk menentukan dengan pasti dokumen yang harus dibuka, tidak hanya informasi. Di sisi lain, masyarakat sudah semakin melek anggaran sehingga pelibatan masyarakat juga semakin berguna, dan LPSE masih perlu dikembangkan dari sisi `user interface` agar mudah pencarian dan penyajian informasinya," ujar Ervin. (*)