"Sakit Itu Tidak Enak", pesan mantan aktivis HMI Jogja

id Sakit Itu Tidak Enak,mantan aktivis HMI,HMI Jogja,Marakom,UIN Yogyakarta

"Sakit Itu Tidak Enak", pesan mantan aktivis HMI Jogja

Aktivis HMI Marakom UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,  Joko bersama keluarga (ANTARA/HO-Dok Joko)

Mataram (ANTARA) - Alhamdulillah, sekarang saya sudah mulai berangsur sehat. Sudah bisa sholat Isya’ genap 4 rekaat sambil berdiri. Juga sudah bisa mandi pakai gayung. Terimakasih atas doa saudara-saudari saya di grup ini. 

Saya juga berdoa semoga semuanya diberikan kesehatan. Untungnya saya tidak pernah sakit waktu masih jadi kader HMI. Untuk kader aktif HMI, jangan coba-coba sakit waktu masih aktif di Himpunan. Apalagi yang tinggal di Sekretariat HMI Marakom Universitas Islam Negeri (UIN) (Dulu IAIN, red) Yogyakarta. Semua kader harus sehat. Kalau toh sakit, jangan sampai ketahuan. Sakit itu tidak enak. 

Kalau ada kader yang terpaksa sakit, tetaplah pura-pura sehat. Saya percaya, anak Marakom sangat terlatih untuk berpura-pura. Tanya saja ketua Marakom. Pasti ia bisa berpura-pura sangat tenang, meski tiap malam susah memejamkan mata. Dari memikirkan kontrakan, kader, sampai menyimpan hubungan dengan seseorang yang tidak boleh diperlihatkan di depan umum. 

Ada juga kader yang saking pintarnya berpura-pura, sampai-sampai dirinya sendiri terperdaya. Kalau kasus yang ini saya berani menyebut nama. Kang Shofa. Sejatinya, ia bukanlah mahasiswa. Faktanya, ia memang tidak pernah kuliah, mengerjakan ujian, atau apapun yang berbau kampus. 

Ia mendaftar, membayar SPP, melakukan registrasi hanya agar bisa menjadi anggota HMI. Karena status anggota HMI harus mahasiswa atau mahasiswi. Maka ber pura-pura lah ia menjadi mahasiswa. Dengan penyamaran yang sempurna. 

Pura-pura yang lain? Mbak Yayuk, --penyuplai gizi anak marakom-lah saksi utamanya. Mbak Yayuk pasti hafal. Setiap ahir bulan, anak-anak Marakom pasti berpura-pura. Makan dengan lahap, sedikit basa-basi untuk mengalihkan perhatian, setelah itu baru 'pura-pura' ke belakang, supaya bisa ngutang. Saya sendiri tidak tahu, apakah saya masih punya tanggungan dengan mbak Yayuk. 

Meskipun anak Marakom pintar berpura-pura, nyatanya ada saja kader yang sakit, sudah berpura-pura, tetap ketahuan. Kalau yang dapat nasib seperti ini, syukuri saja. Ini adalah beberapa kisah mereka. 

Kang Ali Fachrudin, si juragan sate Camar. Ia pernah sakit. Matanya menguning. Badannya meriang berhari-hari. Makan tidak enak, karena sakit. Juga karena memang tidak ada yang dimakan. Kami --Nurul (istrinya) dan saya-- memaksanya ke rumah sakit. 

Meski darah kang Ali 99 persen karat kadar ke-NU-annya, waktu itu mau saja kami bawa ke Rumah Sakit PKU Muhammadiyah yang dekat Pasar Kembang itu. Alhamdulillah, ia menurut waktu kami panggilkan taksi. Bertiga kami ke rumah sakit. 

Sampai depan rumah sakit, Ali meminta untuk dibelikan satu kilo buah Pir. Saya lupa harganya. Nurul yang membayarnya. Selesai kami membayar buah pir, Ali tidak kelihatan. Rupanya ia sudah di dalam taksi. Dengan wajah tanpa dosa sedikitpun, ia mengajak kami pulang ke kontrakan. 

Yang penting sudah ke rumah sakit, katanya. Persoalan masuk atau tidak, diperiksa atau tidak, secara substansi, sudah terpenuhi. Daripada berdebat, kami ikut Ali pulang. Toh, kami memang sudah ke rumah Sakit, seperti kata kang Ali. Sampai kos-kosan, kami bertiga makan buah pir dengan senang, kecuali mbak Nurul. Sepertinya dia tidak suka buah Pir, mungkin lebih suka buah Anggur atau Pisang. 

Beda cerita dengan kader lainnya, mas Arif Ahsan. Seingat saya, beliau 2 sampai 3 kali menginap di Rumah Sakit selama menjadi santri Marakom. Saya lupa apa sakitnya. Di kesempatan terahir, sakitnya agak serius. Pulang dari rumah sakit, wajahnya masih pucat, sama sekali belum sehat. Kakaknya Arif, mbak Kuci, menelpon orangtuanya. Lalu disepakati, si Arif akan diantarkan pulang ke Lamongan. 

Supaya segera sehat. Berundinglah kami. Keputusannya, saya dengan bang Taufik akan mengantarkan Arif naik bis. Kesepakatan lainnya, seluruh biaya tiket dan makan selama perjalanan, dibebankan kepada pasien, alias si sakit. 

Setelah kami hitung-hitung, ternyata biaya tiket naik bis hampir sama dengan biaya rental mobil. Lalu kami putuskan untuk rental mobil, supaya mbak Kuci bisa juga ikut mendampingi. Begitu kami putuskan untuk rental mobil, ternyata banyak teman-teman marakom lain yang karena 'rasa persaudaraannya' yang tinggi, ingin ikut ngantar. Jadilah kami berdelapan mengantar pasien. 

Sampai mobil hampir tidak muat. Saya tidak tahu perasaan mas Pasien waktu itu. Saya menduga, pasti ia sangat 'senang'. Buktinya, sampai di rumah, kami disuguhi masakan yang enak, lengkap dan kelihatan disiapkan dengan baik. Saya tidak sempat berfikir apakah kami merepotkan keluarga Arif atau tidak. Saya menikmati makanan dengan lahap, karena memang lapar. 

Selesai makan dan beristirahat, kami tinggalkan Arif di rumah. Rombongan pengantar pasien telah memutuskan untuk melanjutkan jalan-jalan. Seingat saya ke Trenggalek. Ke rumah mbak Ida, salah satu kader tarbiyah. Yang kerudungnya khas seperti bertopi. Biasanya kalo ke kampus, dia naik motor Astrea Grand ber skotlet warna kuning. Kalo tidak salah, ia anak PAI. 

Begitulah, kami hanya berpura-pura mengantar orang sakit, bonusnya jalan-jalan. Bos Lazismu Jateng, kang Shofa, seingat saya yang membuat keputusan untuk lanjut jalan-jalan. Kami hanya ngikut. Jadi, kalo nanti di akhirat hal-hal seperti ini secara iseng ditanyakan oleh malaikat, biar Shofa saja yang menjelaskan. 

Kisah kader sakit lainnya yang masih saya ingat adalah ketika senior kami saat itu, mbak Ummi, mengalami kecelakaan di Klaten. Mbak Ummi adalah kader marakom sejati. Jiwanya jiwa pemberontak. Hatinya selalu tergerak untuk melawan kezaliman. Jiwa mudanya senantiasa sigap untuk menantang. Makanya, waktu dia melihat plang HATI-HATI, SEDANG ADA PERBAIKAN JALAN, tergeraklah hatinya untuk melawan. 

Karena pernah mendengar banyak proyek yang di mark-up, ditabraklah papan nama itu. Jatuhkan beliau. Bergeserlah tulang engsel paha beliau. Oleh teman-teman marakom, dibawalah beliau ke rumah Sakit. Lalu ditunggui secara bergiliran, tentu, karena rasa persaudaraan tadi. Meskipun ayahanda mbak Ummi sudah dating dan standby menunggui, kami tetap saja merasa bertanggungjawab untuk menemani. 

Ajaibnya, rasa tanggungjawab itu dirasakan oleh banyak kader. Makanya tidak heran jika setiap hari, banyak diantara kami yang standby di rumah sakit. Bagi kader yang punya kesibukan seperti kuliah atau kegiatan lainnya, mereka akan tetap menyempatkan diri berkunjung ke rumah sakit. Makanya tidak heran, antara jam 11 sampai jam 12 siang, atau antara jam 17.00 sampai jam 19.00, banyak anak marakom yang berkunjung ke rumah sakit, ikut menemani ayah mbak Ummi. 

Dan seperti biasa, setiap rombongan kami dating, ayaj mbak Ummi tampak sumringah. Diutusnya salah satu dari kami untuk membeli nasi bungkus sejumlah ‘tamu’ yang dating. Tak lupa, minimal 5 bungkus rokok, Wismilak dan Dji Sam Soe. Lalu secara Bersama-sama kami makan di bawah pohon rindang di halaman rumah sakit. Ditutup dengan sama-sama mengisap rokok. 

Alhamdulillah, nikmat sekali. Dan setelah selesai makan, beberapa dari kami pamit pulang dengan perut kenyang dan sore nanti akan kembali datang. Sementara ayah mbak Ummi melepas mereka dengan hati riang. Setelah sadar 5 bungkus rokok sudah hilang, beliau segera mengutus salah satu kami untuk membeli lagi. 

Ashiaaap, tentu jawab kami. Begitulah, dalam beberapa hari, ayahanda mbak ummi tidak pernah kesepian, selalu ada kami yang dengan tulus menemani beliau, terutama pada jam makan. Kami juga menyadari kalau beliau tidak terlalu bisa menikmati rokok sendirian. 

Oleh karena itu, sebisa mungkin, kami berusaha untuk menemani beliau mengisap rokok sambil mendoakan putrinya yang aktifis itu. Setelah mbak Ummi sehat dan diperbolehkan pulang, saya tidak tahu, mana yang lebih besar antara biaya berobat di rumah sakit dengan biaya menjamu ‘tamu-tamu’ rutin beliau. Yang saya tahu, sepertinya beliau sedih ketika harus berpisah dengan kami. Tentu kami lebih sedih. Bukan hanya karena berpisah dengan beliau. Tapi momen kekeluargaan ketika makan dan merokok Bersama akan sulit kami lupakan di hari-hari berikutnya, ketika perut kami lapar dan tidak ada selembarpun rupiah di dompet.

*) Penulis adalah aktivis HMI Marakom UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 
Opini ditulis saat penulis berobat Poli-Kardiovaskuler, RSUD dr. Moerjani Sampit. Sambil bersenandung, anak sekecil itu berkelahi dengan Mahfudz