Jakarta (ANTARA) - Beri saya daftar tempat-tempat romantis pula melankolis. Kamu tak terampuni bila tidak memasukkan stasiun kereta di dalamnya.
Seorang puan barangkali berharap kereta datang terlambat, ketika kepalanya masih bersandar di bahu laki-laki yang sama-sama duduk di satu kursi, sebelum kekasih hatinya pergi.
Air mata yang meleleh di pipi perempuan paruh baya pasti sesak dengan doa, sekaligus tak menyangka waktu sebegitu lekas membuat anak laki-laki kecilnya sudah cukup dewasa untuk jadi seorang perantau.
Di sanalah tempat di mana siapa saja bisa melihat orang tercintanya lamat-lamat pergi, untuk perihal penting, untuk sebuah cita-cita.
Stasiun kereta tak tergantikan. Biarpun bandar udara menjadi cap kemajuan, stasiun kereta adalah masa lalu yang terjaga sampai sekarang.
***
Di kejauhan, Kutojaya Utara perlahan mendekat. Melongkap beberapa rel di sebelahnya, Tokyu 8500 yang berangkat dari Bogor dengan tenaga listrik juga sebentar lagi tiba di stasiun paling ujung Kota Jakarta. Bunyi roda melewati sambungan rel yang menjadi ciri khas suara kereta mulai melambat frekuensinya, roda besi berdecit ketika bergesekan dengan rel baja untuk menahan laju percepatan.
Beberapa lama setelahnya, Kutojaya Utara didorong mundur oleh lokomotif menuju depo usai menyelesaikan tugasnya mengantar penumpang dari Stasiun Kutoarjo Purworejo.
Tidak lama, datang lagi kereta lain, Argo Sindoro, Tokyo Metro 05 dari Kampung Bandan, dan Brawijaya yang akan bertugas mengangkut penumpang menuju Malang. Ketika berpapasan, kereta saling bertukar sapa dengan membunyikan klakson panjang. Stasiun Jakarta Kota dengan 12 jalurnya sungguh sibuk untuk menjadi perhentian terakhir para ular besi.
Dari 12 jalur itu, hanya 11 jalur yang difungsikan untuk relasi kereta listrik Jabodetabek. Sementara jalur satu hanya digunakan untuk perhentian sementara dan ruang tunggu kereta api jarak jauh. Kebanyakan kereta api tujuan kota-kota di tengah dan timur Pulau Jawa hanya melangsir di stasiun dengan kode JAKK, sebelum akhirnya mengangkut penumpang dari Stasiun Gambir atau Pasar Senen. Setidaknya, pada saat ini.
Karena sebagaimana stasiun kereta merupakan sebuah masa lalu yang terjaga hingga kini, maka banyak cerita yang mengiringinya dari tahun ke tahun, bahkan lebih dari seabad yang lalu.
Asal mula
Beos. Sebutan lain Stasiun Jakarta Kota yang merupakan stasiun paling ujung tanpa kelanjutan jalur lintasan, atau terminus, adalah warisan nama Belanda yang memiliki makna. Beos berasal dari kata Batavia En Omstreken, yang artinya Batavia dan Sekitarnya. Sebutan itu merujuk pada stasiun kereta paling ujung yang menghubungkan antara Jakarta dengan kota-kota tetangga seperti Buitenzorg (Bogor), Bekassie (Bekasi), Bandoeng (Bandung), dan Karavam (Karawang).
Sejatinya Stasiun Beos pertama kali dibangun pada tahun 1927. Namun cikal bakal lahirnya stasiun yang pada masa kolonial bernama Stasiun Batavia Benedenstad itu sudah ada sejak 1869, sebagai dua stasiun kereta yang terpisah.
Tersebutlah Stasiun Batavia Noord (Batavia Utara), stasiun milik perusahaan swasta belanda bernama Nederlands Indische Spoorweg Maatchappij (NIS) yang menghubungkan Batavia-Buitenzorg. Lalu 200 meter di sebelah selatannya, berdiri Stasiun Batavia Zuid (Batavia Selatan) milik perusahaan swasta Belanda Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij (BOS) yang melayani rute lintas Jakarta-Bekasi-Karawang-Bandung. BOS disebut-sebut juga menjadi cikal bakal nama Beos karena lokasi Stasiun Batavia Zuid pada masa itu adalah tempat berdirinya Stasiun Jakarta Kota hingga saat ini.
Dalam perjalanannya perusahaan negara milik Belanda di bidang kereta api, Staats Sporwegen (SS) membeli seluruh jaringan kereta api milik BOS termasuk Stasiun Batavia Zuid, pada tahun 1898. Sedangkan pada 1913, hal sama juga terjadi pada NIS yang menjual seluruh jalur kereta api kepada SS, beserta dengan Stasiun Batavia Noord.
Pemerintah Hindia Belanda yang telah menguasai seluruh jalur kereta api melakukan penataan ulang terhadap sistem angkutan kereta api, salah satunya membangun stasiun baru di Jakarta yang terintegrasi. Ide ini adalah benih lahirnya Stasiun Beos.
Awalnya, Kepala Insinyur SS yakni Ir. C. W. Koch diberi tugas untuk merancang stasiun baru tersebut. Koch mendesain sebuah stasiun dengan fasad memanjang dengan pintu masuk yang monumental di bagian tengah, dengan terdapat menara jam salah satu sudut bangunan .
Namun rancangan itu hanyalah gambar dan tak pernah jadi nyata karena alasan ekonomi dan tidak disetujui. Proyek stasiun besar tersebut akhirnya dialihkan oleh arsitek ternama yaitu Ir. Frans Johan Louwrens Ghijsels. Dia adalah pendiri biro arsitek Algemeen Inginieurs en Architectenbureau (AIA), konsultan arsitektur terbesar di Hindia Belanda kala itu.
Ghijsels yang merupakan arsitek kelahiran Tulungagung dan sudah menghasilkan beberapa karya berupa bangunan kantor, rumah sakit, gereja, sampai sekolah di Batavia, mencoba membuat beberapa variasi desain pintu masuk utama pada tampak depan bangunan.
Lantas, diputuskan desain stasiun berupa sebuah bangunan lebar, fasad yang rendah dengan sisi tengahnya terdapat sebuah atap besi melengkung nan megah. Terdapat tiga pintu masuk dengan gaya lengkungan art deco yang kental.
Pada 1927, Stasiun Batavia Zuid dirobohkan untuk memulai pembangunan stasiun kereta baru. Operasional kereta di Stasiun Batavia Zuid untuk sementara dipindahkan ke Stasiun Batavia Nord.
Konstruksi pembangunan stasiun itu dikerjakan oleh kontraktor Belanda Hollandse Beton Maatshcappij. Beberapa material bangunan seperti pilar baja penopang atap stasiun dan atap peron diimpor langsung dari Belanda.
Pada 1929, stasiun baru itu rampung dan diresmikan tanggal 8 Oktober dengan nama Stasiun Batavia Benedenstad. Sebuah peresmian dibuat bak pesta besar satu hari satu malam.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.C.D. de Graeff meresmikan Stasiun Batavia Benedenstad. Pagi harinya, upacara selamatan dilakukan dengan dihadiri oleh 500 pegawai pribumi. Hiburan dibuat semeriah mungkin untuk merayakan peresmian dengan menghadirkan pertunjukan wayang dan beberapa penari ronggeng.
Pada sore hari, dilakukan penguburan dua kepala kerbau di depan pintu masuk stasiun, sebagai kepercayaan agar pengoperasiannya terhindar dari segala bahaya. De Graeff sendiri yang melakukan penguburan kepala kerbau seraya mempercayai kearifan lokal bangsa Indonesia.
Malam harinya adalah pesta para elite. Pejabat pemerintahan Hindia-Belanda dari Bandung dan Batavia menghadiri pesta itu bersama para pendampingnya, menari riang gembira diiringi orkestra yang menggempita. Perayaan besar untuk stasiun terbesar di Hindia-Belanda pada saat itu.
Masa kini
Bangunan Stasiun Beos atau Jakarta Kota berbentuk seperti huruf T jika dilihat dari udara, dengan masing-masing pintu di akhir sudutnya. Terdapat pintu di bagian sayap stasiun di utara dan selatan yang dihubungkan lobi utama dengan atap tinggi berbentuk kubah barel. Pintu utamanya berada di sebelah barat dengan desain lengkungan geometris art deco berupa jendela-jendela ikonik yang serupa dengan pintu utara dan selatan. Art deco adalah gaya arsitektur yang sedang menjadi mode di Amerika dan Eropa pasca-Perang Dunia I. Ghijsels berupaya membawa rupa kampung halamannya ke wilayah koloni Belanda di Asia, dan sentuhan itu masih terjaga hingga saat ini.
Sisi timur adalah peron kereta dengan 12 jalur yang disertai atap peron berbentuk huruf V yang ditopang oleh pilar baja dari Belanda. Sisi timur bangunan stasiun terbuka di bagian bawah, dan terlapis kaca di bagian atasnya sebagai jalan cahaya masuk. Jika berdiam diri di dalam stasiun sejak Matahari sepenggalah sampai tepat di atas kepala, kita akan menyaksikan cahaya disertai bayang-bayang peron bergeser perlahan di lantai stasiun.
Lantai keramik di lobi utama Stasiun Jakarta Kota adalah elemen yang bukan berasal dari masa kolonial. Dulu, lantai stasiun berlapis ubin berwarna kuning dan abu-abu. Lantai yang sama masih tersisa di bagian lantai dua stasiun.
Benda antik lain yang bukan orisinial dari bangunan Stasiun Beos adalah jam kuno di tengah-tengah lobi. Jam yang masih berfungsi dengan menunjukkan waktu lewat angka romawi itu disematkan pada tahun 2009. Di dalam lingkar angka-angka romawi tersebut tertulis F.M. OHLENROT, di bawahnya tertulis secara melengkung SOERABAIJA & SEMARANG. Jam yang memiliki dua muka ini berasal dari Stasiun Sukabumi yang beroperasi pada 1882 dan berhenti beroperasi pada 1970, lalu kembali beroperasi kembali sejak 2009 hingga kini.
Ruang-ruang pada bangunan stasiun diberdayakan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) melalui Daerah Operasi (Daop) I Jakarta sebagai gerai-gerai restoran maupun minimarket sebagai fasilitas bagi penumpang. Pada bagian lobi besar stasiun itu pula kerap dijadikan tempat berkegiatan komunitas.
“Untuk melestarikan sejarah Stasiun Jakarta Kota, PT KAI melakukan kegiatan berkolaborasi dengan beberapa komunitas. Contohnya kegiatan Napak Tilas Stasiun Jakarta Kota, sebagai saksi perebutan kekuasaan perkeretaapian dari tangan Jepang. Di mana Stasiun Jakarta Kota menjadi pusat perebutan dan sebagai embrio pengambilalihan perkeretaapian di Jawa dan Sumatera,” kata VP Public Relations PT KAI Joni Martinus.
Di pintu gerbang utama, dindingnya dihiasi dengan keramik ubin berpola wafel dengan warna kuning kehijauan. Pada lobi gerbang utama ini juga terdapat dua tangga untuk ke lantai atas yang anak tangganya dilapisi oleh kayu jati. Lantai dua Stasiun Jakarta Kota yang berisi ruangan-ruangan ini pernah menjadi kantor PT KAI, namun saat ini tak lagi terpakai dan dalam tahap pengembangan revitalisasi untuk diberdayakan ke depannya.
Gerbang utama Stasiun Jakarta Kota sempat ditutup dan dijadikan sebagai antrean penumpang untuk mesin tiket. Di balik pintu itu dulunya adalah jalan raya. Namun kini pintu utama yang menghadap langsung ke Museum Mandiri tersebut kembali dibuka dengan mengubah jalan kendaraan menjadi lapangan besar yang dihiasi air mancur, dan terdapat proyek akses stasiun MRT di area sebelah kiri.
Stasiun Beos akan makin sibuk dengan integrasi baru dari perhentian akhir kereta MRT dari Lebak Bulus yang melintasi Fatmawati, Sudirman, Thamrin, dan akan berakhir di Kawasan Wisata Kota Tua Jakarta.
Stasiun perhentian akhir yang dulunya sempat menjadi tempat untuk menaikturunkan penumpang kereta api jarak jauh ini akan dilakukan revitalisasi sebagai upaya menjaga bangunan yang termasuk cagar budaya.
“Pada tahun 2024 tengah dilakukan penyusunan DED (detail engineering design) Revitalisasi Stasiun Jakarta Kota. Guna memaksimalkan fungsi asli bangunan, penataan tenant komersial, pendataan komponen bangunan yang rusak atau hilang sebagian,” kata Joni.
Joni menyebut hal itu dilakukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai pada atribut fisik bangunan dengan penyesuaian terhadap kebutuhan saat ini, sesuai dengan kaidah dan etika pelestarian.
Stasiun Beos, yang dari berdiri hingga kini tidak pernah berubah fungsi.