MPLS Humanis dan Inklusif di Surabaya

id MPLS,Humanis ,Inklusif,surabaya Oleh M. Isa Ansori *)

MPLS Humanis dan Inklusif di Surabaya

Kolumnis dan Akademisi, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya, Wakil Ketua ICMI Jatim, M. Isa Ansori (ANTARA/HO-Dok M. Isa Ansori)

Surabaya (ANTARA) - Hari pertama masuk sekolah selalu menjadi momen istimewa. Ia tidak hanya menandai dimulainya proses belajar, tetapi juga momentum psikologis yang penuh harapan — baik bagi anak, orang tua, maupun para pendidik. Di Surabaya, hari pertama Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) tahun ini terasa berbeda: lebih hidup, lebih hangat, dan lebih manusiawi.

Saya berkeliling ke beberapa sekolah di Kota Pahlawan. Di Yayasan Baiturrahman Surabaya, yang membina TK, MI, SMP, hingga SMA, saya menyaksikan sebuah harmoni antarjenjang yang jarang ditemukan. Para siswa dikumpulkan di masjid, melaksanakan salat berjamaah, lalu diberi pengarahan yang menyentuh nilai spiritualitas, disiplin, dan tanggung jawab. Pendekatan seperti ini memperlihatkan bahwa MPLS bukan hanya pengenalan fisik ruang sekolah, tapi juga pembuka jalan menuju pembentukan karakter.

Di sekolah-sekolah negeri seperti SDN Kaliasin, SDN Tanah Kali Kedinding, dan SDN Sidotopo, saya mendapati wajah ceria anak-anak dan senyum hangat para orang tua. Jalanan padat, khususnya di kawasan Sidotopo, dipenuhi kendaraan para wali murid yang mengantar dan menjemput. Bukan sekadar lalu lintas yang padat, tetapi gambaran keterlibatan emosional orang tua dalam proses pendidikan anak-anaknya. Ini adalah bentuk nyata dari gotong royong dalam dunia pendidikan.

Yang menarik, suasana ini tidak terjadi begitu saja. Surat edaran Wali Kota Surabaya yang disampaikan melalui Dinas Pendidikan agar para orang tua mengantarkan anaknya di hari pertama sekolah, serta kebijakan pelonggaran jam kerja bagi para pekerja, benar-benar direspons secara positif oleh masyarakat. Tidak ada kesan keterpaksaan. Yang terlihat justru partisipasi tulus dan semangat kolaborasi.

MPLS kali ini menghadirkan wajah pendidikan yang inklusif dan humanis. Inklusif karena melibatkan semua pihak — guru, siswa, orang tua, dan pemerintah. Humanis karena mengedepankan pendekatan yang menyentuh hati, bukan sekadar prosedur administratif. Pendidikan tidak boleh menjadi ruang yang menakutkan atau asing, tetapi rumah kedua yang ramah bagi setiap anak.

Saya sempat berbincang dengan Kepala SMA Kertajaya, Ibu Samini, pelaksanaan MPLS dijalankan dilakukan dengan membagi dua kelas, kelas untuk mereka berkategori inklusi didampingi oleh kakak kelasnya, dan kelas regular, mereka diajak untuk membuat peta masa depan, sambal menggali potensi diri yang ada. Tujuannya agar siswa bias memahami potensi dan menyadari tanggung jawab apa yang harus dilakukan untuk masa depannya. Sementara di SMP Baiturrahman, saya bertemu Ketua OSIS nya, Wisnhu Dharma Aditya. Dia bercerita bahwa MPLS pada hari pertama dan kedua dilaksanakan dengan melakukan pengenalan lingkungan sekolah dan saling kenal antara siswa kelas 7 dengan kakak kelasnya. Menurut Wisnu acara pengenalan lingkungan ini diharapkan bisa membaur antar semua warga sekolah, sehingga mereka semua bisa saling menguatkan.

Apa yang kita saksikan di Surabaya adalah cermin bahwa ketika kebijakan berpihak pada anak, masyarakat pun bergerak. Sekolah bukan benteng yang tertutup, melainkan taman yang terbuka untuk tumbuh bersama. Semangat ini perlu dijaga dan ditularkan ke hari-hari berikutnya dalam kalender pendidikan. Ini mengingatkan kita pada pemahaman belajar growth mindset.

MPLS Surabaya lebih dari sekadar seremoni, MPLS tahun ini mencerminkan pendekatan pendidikan yang berpijak pada growth mindset — pola pikir bertumbuh. Anak tidak dipandang sebagai makhluk pasif yang hanya menerima ilmu, tetapi sebagai individu yang bisa berkembang, belajar dari kesalahan, dan tumbuh melalui tantangan. MPLS yang humanis dan inklusif memberikan pesan sejak awal: setiap anak punya potensi, dan setiap potensi bisa diasah, bukan dibatasi oleh label "pintar" atau "tidak pintar".

Growth mindset juga memberi ruang bagi guru dan orang tua untuk melihat pendidikan sebagai proses panjang yang butuh dukungan, bukan tekanan. Dengan menyambut hari pertama sekolah secara kolaboratif, kita menanamkan keyakinan bahwa anak-anak boleh gagal, boleh takut, tapi tidak boleh menyerah. Mereka perlu tahu bahwa sekolah adalah tempat aman untuk belajar — bukan hanya untuk menguasai pelajaran, tetapi untuk tumbuh sebagai manusia.

Maka dari itu, MPLS di Surabaya telah menjadi contoh baik bagaimana kebijakan, nilai-nilai pendidikan, dan peran komunitas dapat berpadu dalam satu semangat: membangun generasi masa depan yang tidak hanya cerdas, tapi juga tangguh dan percaya diri.

Pendidikan sejati bukan tentang siapa yang tercepat sampai di garis akhir, tetapi siapa yang tidak berhenti bertumbuh. Karena masa depan bukan hanya dibentuk oleh kurikulum dan buku teks, tapi juga oleh pelukan orang tua di pagi hari, doa dari guru yang tulus, dan lingkungan sekolah yang memanusiakan anak-anak kita

*) penulis adalah Pemerhati Pendidikan Anak, Ketua Koalisi Pegiat Pendidikan Ramah Anak Indonesia, Pengajar di STT Multemedia Internasional Malang, Pengurus LPA Jatim dan Wakil Ketua ICMI Jatim, Tinggal di Surabaya



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.