Rencana pemimpin Taiwan ke negara Pasifik bentuk provokasi

id china,taiwan,lai ching-te,satu china,amerika serikat,pasifik

Rencana pemimpin Taiwan ke negara Pasifik bentuk provokasi

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian dalam konferensi pers di Beijing, Jumat (22/11/2024). (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Beijing (ANTARA) - Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian menyebut rencana pemimpin Taiwan Lai Ching-te mengunjungi tiga negara di Pasifik adalah bentk provokasi.

"Kegiatan manipulasi politik dan provokasi otoritas Lai Ching-te dengan menggunakan perjalanan ke negara-negara yang memiliki apa yang disebut 'hubungan diplomatik' dengan Taiwan tidak akan menghasilkan apa-apa," kata Lin Jian dalam konferensi pers di Beijing, Jumat.

Pemimpin Taiwan Lai Ching-te disebut akan mengunjungi tiga sekutu diplomatik di Pasifik pada 30 November 2024.

Pemimpin Taiwan biasanya menggunakan kunjungan ke negara-negara Pasifik untuk melakukan persinggahan resmi ke Amerika Serikat, pendukung dan pemasok senjata terpenting Taiwan.

Dari 12 negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Taiwan, tiga di antaranya berada di Pasifik yaitu Palau, Kepulauan Marshall dan Tuvalu.

"Prinsip satu China adalah norma dasar dalam hubungan internasional dan konsensus internasional yang berlaku," tambah Lin Jian.

Kunjungan itu, ungkap Lin Jian, tidak akan menggoyahkan komitmen internasional terhadap prinsip "Satu-China".

"Kami mendesak negara-negara terkait untuk melihat dengan jelas tren sejarah dan membuat keputusan yang tepat yang benar-benar memenuhi kepentingan mendasar dan jangka panjang mereka," ungkap Lin Jian.

Lin Jian menyebut Presiden Xi Jinping dalam pertemuan dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden di Lima, Peru juga menekankan bahwa prinsip satu China dan tiga komunike bersama China-AS merupakan landasan politik hubungan China-AS dan harus dipatuhi.

"Perdamaian dan stabilitas lintas selat dan aktivitas separatis 'kemerdekaan Taiwan' tidak dapat didamaikan seperti air dan api. Jika AS peduli untuk menjaga perdamaian di Selat Taiwan, sangat penting untuk melihat dengan jelas sifat sejati Lai Ching-te dan otoritas DPP dalam mencari 'kemerdekaan Taiwan', menangani masalah Taiwan dengan sangat hati-hati, dengan tegas menentang 'kemerdekaan Taiwan' dan mendukung reunifikasi damai China," jelas Lin Jian.

Ia pun menegaskan sikap China yang tegas menentang segala bentuk interaksi resmi antara AS dan wilayah Taiwan.

"China dengan tegas menentang kunjungan pemimpin otoritas Taiwan ke AS dengan nama apa pun atau dengan dalih apa pun, dan dengan tegas menentang segala bentuk persekongkolan dan dukungan AS terhadap separatis 'kemerdekaan Taiwan' dan kegiatan separatis mereka," ungkap Lin Jian.

Baca juga: Kopi terbaik Indonesia ambil bagian pameran kopi di Taiwan

Urutan tiga negara tujuan kunjungan Lai di Pasifik tersebut belum diketahui hingga 1-2 hari kunjungan. Kunjungan yang direncanakan berlangsung selama 7 hari itu merupakan kunjungan luar negeri pertama bagi Lai sejak memenangi pemilu pada Januari 2024 dan menjabat secara resmi pada Mei 2024. Juru Bicara Taiwan Karen Kuo menyampaikan kunjungan tersebut tidak hanya merupakan tanggapan positif terhadap undangan dari ketiga negara Pasifik, tetapi juga menunjukkan komitmen Taiwan terhadap para mitra di kawasan tersebut.

Ia diduga akan singgah ke Hawai atau Guam yang merupakan pangkalan militer Amerika Serikat. Kunjungan Lai akan dilakukan pada akhir masa pemerintahan Presiden Joe Biden, yang mengatakan pasukan AS akan membela Taiwan jika terjadi invasi oleh China.

Saat ini hanya ada 12 negara yang punya hubungan diplomatik dengan Taiwan yaitu Belize, Guatemala, Paraguay, Haiti, Saint Kitts and Nevis, Saint Lucia, Saint Vincent and the Grenadines, Kepulauan Marshall, Palau, Tuvalu, Eswatini dan Vatikan.

Baca juga: KDEI Taipei fasilitasi pelatihan literasi digital pekerja migran

Lai Ching-te dari Partai Progresif Demokratik (DPP) dinilai sebagai pemimpin Taiwan yang sangat gigih memperjuangkan kemerdekaan Taiwan. Namun, Beijing menyebut dia "berbahaya" dan menjadi salah satu "kelompok separatis" sehingga dapat memicu konflik lintas Selat.

Di bawah kepemimpinan mantan pemimpin Taiwan Tsai Ing-wen dari DPP sejak 2016, Taiwan mengambil sikap keras menentang Beijing serta prinsip "Satu China" yang mengatakan bahwa Taiwan merupakan wilayah di bawah kekuasaan Beijing.