Mataram (Antaranews NTB) - Kebiasaan sebagian warga buang air besar sembarangan agaknya masih menjadi persoalan cukup serius, tak terkecuali di Mataram, Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Perilaku buang air besar sembarangan (BABS) atau "Open Defecation Free" (ODF) itu menimbulkan pencemaran lingkungan dan menjadi salah satu penyebab munculnya berbagai jenis penyakit, seperti diare dan kolera.
Karena itu berbagai upaya dilakukan Pemerintah Kota Mataram untuk mengatasi persoalan BABS dalam upaya mewujudkan program Buang Air Besar Sembarangan Nol (BASNO).
Hingga kini warga di 14 dari 50 kelurahan yang ada di Kota Mataram masih belum menghilangkan kebiasaan BABS. Sementara 46 kelurahan lainnya dapat diketegorikan bebas dari BABS atau dengan kata lain sudah mencapai BASNO.
Menurut Kepala Dinkes Mataram, dr H Usman Hadi dari 50 kelurahan, terdapat sekitar 14 kelurahan yang penduduknya masih suka BABS. Sementara 36 kelurahan lainnya sudah dapat dikategorkan BASNO.
Menurut Usman Hadi, sebanyak 14 kelurahan yang penduduknya masih melakukan kebiasaan BABS tersebut umumnya berada di kawasan pinggiran terutama yang bermukim di pinggiran sungai dan pesisir pantai.
Karena, katanya, untuk menekan angka BABS yang masih cukup tinggi di kawasan pinggiran tersebut, pihaknya aktif melakukan penyuluhan terhadap warga melalui para kader dan aparat setempat.
Namun ia mengakui memang agak berat untuk mengubah perilaku sebagian warga yang masih BABS. Ini sebenarnya karena faktor kebiasaan, masih adanya lahan kosong dan kurang fasilitas, seperti jamban.
Terkait dengan itu, untuk mendukung peningkatan angka kelurahan yang dinyatakan BASNO, Dinkes Kota Mataram setiap tahunya mengalokasikan anggaran untuk stimulan pembangunan jamban keluarga.
Pada 2019 dialokasikan anggaran sebesar Rp90 juta untuk program pembangunan jamban keluarga.
Dalam pemberian bantuan pembangunan jamban keluarga, Dinkes Kota Mataram tidak memberikan bantuan dalam bentuk uang tunai, melainkan berupa bahan bangunan sesuai dengan kebutuhan.
Dalam pembangunan jamban keluarga Dinkes Kota Mataram sifatnya pasif, artinya menunggu inisitif masyarakat untuk membangun. Kalau pemerintah yang membangun terkadang tidak dimanfaatkan dan tidak dimanfaatkan dengan baik.
Selain itu, menurut Usman Hadi, salah satu solusi untuk menjadikan Kota Mataram sebagai daerah dengan penduduk BASNO perlu adanya program pembangunan instalasi pengelolaan air limbah (Ipal) komunal.
Ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat yang tidak memiliki lahan membuat Ipal sekaligus mensinkronkan program jamban keluarga, sebab selama ini ada warga yang mau membangun jamban tapi tidak memiliki lahan untuk Ipal.
Ia mengatakan jika masyarakat sudah memiliki kemauan untuk membangun STBM, tinggal memberikan dana stimulan dan masyarakat bertanggung jawab dalam mengelolanya.
Program tersebut sebagai bahan evaluasi dari sebelumnya, yakni pemerintah mencari lahan kosong untuk membangunkan MCK komunal. Akan tetapi setelah MCK jadi, jarang dimanfaatkan. Bahkan pengelolanyapun tidak ada, sehingga MCK itu terkesan terbengkalai.
Karena itu saat ini dibalik, pembangunan MCK komunal harus dari partisipasi masyarakat agar dapat dimanfaatkan dan dijaga. Untuk anggaran setiap tahun dialokasikan Rp60 juta.
Sejatinya salah satu upaya untuk menciptakan kebersihan lingkungan terutama dengan menghentikan kebiasaan BAMS itu, maka pemerintah harus membantu menyediakan fasilitas yang dibutuhkan.
Program STBM
Salah satu program yang diinisiasi adalah Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Kota Mataram. Pada awal 2018 Pemerintah Kota Mataram dan Yayasan Plan Indonesia menandatangani naskah Kesepakatan Kerjasama Pelaksanaan Woman dan Disability Inclusive Wash and Nutrition Project atau "WINNER Project".
WINNER Project Manager dari Yayasan Plan Indonesia Herie Ferdian mengatakan program WINNER merupakan suatu inisiatif yang bertujuan untuk mengurangi tingginya angka diare dan stunting di Indonesia, termasuk di Kota Mataram, mengingat prevalensi stunting di Indonesia cukup tinggi sampai dengan angka 37,2 persen.
Sedangkan Unicef juga mencatat setiap tahunnya di Indonesia, 100 balita meninggal karena diare. Hal tersebut disebabkan oleh buruknya kondisi sanitasi khususnya terkait perilaku BABS yang masih cukup tinggi.
Kondisi ini apabila tidak segera diambil tindakan akan menghadapkan Indonesia pada risiko kehilangan banyak generasi penerus di masa depan.
Sedangkan untuk program WINNER yang dilaksanakan Plan Indonesia, dimulai dari kegiatan STBM di kabupaten Grobogan Jawa Tengah, yang kemudian diperluas cakupannya di wilayah NTB, dan NTT.
Melalui Program WINNER mudah-mudahan Kota Mataram juga dapat mendeklarasikan diri sebagai Kota Sehat dan terbebas dari perilaku BABS.
Sementara dikatakan Wakil Wali Kota Mataram H. Mohan Roliskana menyambut baik program yang ditawarkan oleh Yayasan Plan Indonesia, yang menurutnya telah sesuai dan sejalan dengan amanat RPJMN 2015-2019, yang dikenal sebagai Gerakan 100-0-100.
RPJMN yang telah mengamanatkan pemenuhan 100 persen akses pelayanan air bersih, 0 (nol) persen proporsi rumah tangga kumuh, dan 100 persen pelayanan sanitasi, harus dapat dipenuhi pula targetnya di Kota Mataram pada tahun 2019 dengan penguatan melalui program WINNER.
Karena itu sangat penting bagi semua pihak yang terlibat agar benar-benar dapat memahami program tersebut untuk diterapkan secara optimal di wilayah yang telah ditentukan, yang selanjutnya dapat direplikasi di kelurahan-kelurahan lainnya di Kota Mataram, sebagai penyadaran bagi masyarakat untuk meninggalkan perilaku-perilaku negatif yang akan berpengaruh pada kebersihan lingkungan.
Adanya kesepakatan ini sebagai bentuk kesungguhaan. Semoga semakin membaiknya kondisi sanitasi masyarakat Kota Mataram dari waktu ke waktu, seiring pula dengan membaiknya kondisi intelektualitas dan ekonominya.
Perjuangan tak kenal menyerah yang dilakukan Pemerintah Kota Mataram dalam mengatasi masalah kebiasaan BABS, optimis akan membuahkan hasil, tentunya atas dukungan seluruh masyarakat dengan menghentikan kebiasaan BABS.(*)