Mataram (Antara Mataram) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan manajemen PT Angkasa Pura (AP) I Bandara Internasional Lombok (BIL) belum menyepakati nilai pemanfaatan aset pemerintah daerah di kawasan bandara.
"Masih perlu pembahasan lagi karena belum ada kesepakatan soal nilai," kata Kepala Biro Umum Setda NTB H Iswandi Ibrahim, di Mataram, Kamis.
Aset Pemprov NTB di kawasan BIL berupa areal apron (parkir pesawat) seluas 48.195 meter persegi yang bernilai Rp77,1 miliar lebih, dan taxiway (areal parkir taksi) seluas 13.859,34 meter persegi bernilai Rp29,36 miliar lebih.
Selanjutnya, areal pelayanan jalan (service road) seluas 6.897 meter persegi bernilai Rp6,9 miliar lebih, dan areal pendaratan heli (heli pad) seluas 450 meter persegi bernilai Rp1,49 miliar lebih.
Total nilai keempat jenis aset Pemprov NTB di BIL itu mencapai Rp114,86 miliar lebih, atau meningkat setelah dilakukan penilaian wajar oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Bali dan Nusra, karena nilai sebelumnya sebesar Rp109 miliar lebih.
Pemprov NTB dihadapkan pada dua pilihan yakni menjual aset tersebut kepada PT AP I atau menggunakan pola bagi hasil.
Jika ingin menjualnya maka harus sesuai hasil penilaian aset yang dilakukan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Negara (KPKNLN) Mataram DJKN Bali dan Nusra.
Sedangkan pola bagi hasil perlu diawali dengan kesepakatan nilai bagi hasil (deviden) setiap tahun anggaran.
Iswandi mengatakan, Pemprov NTB sudah pernah mengajukan pola bagi hasil dengan manajemen PT Angkasa Pura I BIL, namun belum disetujui pihak pengelola bandara itu.
Pemprov NTB meminta setoran sebesar Rp5 miliar per tahun, dari pola kerja sama bagi hasil atas pemanfaatan aset milik daerah itu.
Bahkan, Pemprov NTB sudah tiga kali menyurati manajemen PT Angkasa Pura I BIL terkait tawaran kerja sama bagi hasil itu, baru direspons pihak Angkasa Pura, meskipun belum juga menghasilkan kesepakatan.
"Angkasa Pura belum menerima nilai yang kami ajukan, alasannya selama ini mereka yang membiayai pemeliharaan aset, sehingga perlu ada pembahasan lebih lanjut," ujarnya.
Iswandi berharap, pembahasan lanjutan itu dapat segera digelar karena hal itu berkaitan dengan pendapatan asli daerah (PAD).
Menurut dia, jalinan kerja sama pengelolaan aset antara Pemprov NTB dan PT Angkasa Pura I sudah dilakukan sejak 2006 dalam bentuk nota kesepahaman (MoU), yang kemudian ditegaskan kembali dalam perjanjian kerja sama pengelolaan aset di BIL.
Pasal 7 perjanjian kerja sama itu, menegaskan bahwa Pemprov NTB berhak menerima kontribusi tetap dari manajemen atas pengelolaan aset.
Namun, nilai kontribusi tetap yang berhak diterima Pemprov NTB itu, harus diawali dengan penilaian wajar oleh instansi berwenang, yakni DJKN Kementerian Keuangan, dan hal itu telah dilakukan.
"Kami upayakan segera rampung agar ada pendapatan daerah dari pemanfaatan aset pemerintah daerah di kawasan bandara internasional itu," ujarnya. (*)
"Masih perlu pembahasan lagi karena belum ada kesepakatan soal nilai," kata Kepala Biro Umum Setda NTB H Iswandi Ibrahim, di Mataram, Kamis.
Aset Pemprov NTB di kawasan BIL berupa areal apron (parkir pesawat) seluas 48.195 meter persegi yang bernilai Rp77,1 miliar lebih, dan taxiway (areal parkir taksi) seluas 13.859,34 meter persegi bernilai Rp29,36 miliar lebih.
Selanjutnya, areal pelayanan jalan (service road) seluas 6.897 meter persegi bernilai Rp6,9 miliar lebih, dan areal pendaratan heli (heli pad) seluas 450 meter persegi bernilai Rp1,49 miliar lebih.
Total nilai keempat jenis aset Pemprov NTB di BIL itu mencapai Rp114,86 miliar lebih, atau meningkat setelah dilakukan penilaian wajar oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Bali dan Nusra, karena nilai sebelumnya sebesar Rp109 miliar lebih.
Pemprov NTB dihadapkan pada dua pilihan yakni menjual aset tersebut kepada PT AP I atau menggunakan pola bagi hasil.
Jika ingin menjualnya maka harus sesuai hasil penilaian aset yang dilakukan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Negara (KPKNLN) Mataram DJKN Bali dan Nusra.
Sedangkan pola bagi hasil perlu diawali dengan kesepakatan nilai bagi hasil (deviden) setiap tahun anggaran.
Iswandi mengatakan, Pemprov NTB sudah pernah mengajukan pola bagi hasil dengan manajemen PT Angkasa Pura I BIL, namun belum disetujui pihak pengelola bandara itu.
Pemprov NTB meminta setoran sebesar Rp5 miliar per tahun, dari pola kerja sama bagi hasil atas pemanfaatan aset milik daerah itu.
Bahkan, Pemprov NTB sudah tiga kali menyurati manajemen PT Angkasa Pura I BIL terkait tawaran kerja sama bagi hasil itu, baru direspons pihak Angkasa Pura, meskipun belum juga menghasilkan kesepakatan.
"Angkasa Pura belum menerima nilai yang kami ajukan, alasannya selama ini mereka yang membiayai pemeliharaan aset, sehingga perlu ada pembahasan lebih lanjut," ujarnya.
Iswandi berharap, pembahasan lanjutan itu dapat segera digelar karena hal itu berkaitan dengan pendapatan asli daerah (PAD).
Menurut dia, jalinan kerja sama pengelolaan aset antara Pemprov NTB dan PT Angkasa Pura I sudah dilakukan sejak 2006 dalam bentuk nota kesepahaman (MoU), yang kemudian ditegaskan kembali dalam perjanjian kerja sama pengelolaan aset di BIL.
Pasal 7 perjanjian kerja sama itu, menegaskan bahwa Pemprov NTB berhak menerima kontribusi tetap dari manajemen atas pengelolaan aset.
Namun, nilai kontribusi tetap yang berhak diterima Pemprov NTB itu, harus diawali dengan penilaian wajar oleh instansi berwenang, yakni DJKN Kementerian Keuangan, dan hal itu telah dilakukan.
"Kami upayakan segera rampung agar ada pendapatan daerah dari pemanfaatan aset pemerintah daerah di kawasan bandara internasional itu," ujarnya. (*)