Jakarta (ANTARA) - Dosen ilmu politik Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, berpendapat Presiden Joko Widodo tidak perlu buru-buru merombak kabinetnya. "Setahun kinerja merupakan waktu yang cukup baik untuk menilai kinerja seseorang," kata Umam, di Jakarta, Sabtu.
Selama proses setahun berjalannya pemerintahan lanjut dia, setidaknya presiden sudah mengantongi beberapa catatan terhadap kinerja para menterinya.
Menurut dia, jika perombakan kabinet itu dilakukan saat ini seperti argumen, narasi, dan penilaian sejumlah pihak tentang kinerja para menteri dalam 100 hari kerja cukup untuk menentukan apakah perlu diganti atau tidak maka hal itu cenderung prematur.
Ia menilai prematur karena, masa tiga bulan kepemimpinan dan pemerintahan bagi para menteri cenderung lebih banyak dihabiskan untuk proses penyesuaian dan pemetaan langkah menuju implementasi kebijakan yang sesungguhnya.
"Terlebih lagi, dalam tradisi siklus keuangan negara, APBN belum cair hingga Maret 2020 ini. Praktis, APBN baru mulai berjalan efektif pada Maret hingga April," kata dia.
Saat ini yang paling penting menurut dia, pesiden perlu memiliki garis kebijakan yang lebih tegas dalam mengarahkan mesin kerja pemerintahannya. Kemudian, presiden juga harus sensitif dengan fenomena konflik kepentingan di sekitar pemerintahannya.
"Konflik kepentingan adalah salah satu sumber utama tersumbatnya efektivitas kinerja birokrasi dan pemerintahan," katanya.
Hal selanjutnya, menurut Umam, Jokowi perlu menertibkan para menterinya yang acap kali berargumen secara tidak tepat di ranah publik. Kalimat-kalimat: salah sendiri beli masker mahal, fatwa yang kaya kawini yang miskin, salah ketik dalam draf UU itu wajar, dan lainnya, itu lanjut dia tidak hanya mengindikasikan rendahnya kepekaan sosial, tetapi juga tidak sensitifnya mereka terhadap perdebatan isu di tengah-tengah masyarakat.
"Jadi, (menteri) sebaiknya fokus bekerja, dan kurangi hal-hal yang tidak produktif," ujarnya.