WISATAWAN ASING TERLIBAT "PERANG TOPAT" DI LOMBOK

id

          Lombok Barat, 21/11 (ANTARA) - Belasan wisatawan asing terlibat "Perang Topat" atau perang ketupat yang digelar di Pura Lingsar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Minggu petang.

         Para wisatawan asing tersebut berbaur dengan ribuan warga dari berbagai pelosok Pulau Lombok yang mengikuti acara tersebut.

         Sambil memotret, sesekali mereka melempar ketupat ke arah warga yang sebelumnya melemparkan ketupat kearahnya.

         Perang ketupat tersebut diawali dengan pelemparan ketupat perdana oleh Wakil Bupati Lombok Barat, H. Mahrip, yang didampingi oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Nusa Tenggara Barat (NTB) H. Lalu Gita Aryadi dan sejumlah pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Lombok Barat.

         Sebelum menjadi alat perang, ribuan ketupat sebesar butir telur tersebut terlebih dahulu diarak menuju "kemalik" atau tempat suci yang dikeramatkan oleh umat Islam dan Hindu yang ada di Pulau Lombok, khususnya di Kecamatan Lingsar, Lombok Barat.

         Proses saling lempar berjalan tertib dan berlangsung sekitar 15 menit. Setelah itu, warga terutama kaum tani yang berhasil memperoleh ketupat yang masih utuh membawa pulang untuk ditebar di sawah, karena dipercaya bisa memberikan kesuburan pada tanah garapan, sehingga hasil panen melimpah.

         Menurut tokoh masyarakat Kecamatan Lingsar, Suparman Taufik, ritual "Perang Topat" merupakan tradisi tahunan yang sudah digelar sejak ratusan tahun silam.

        "Perang Topat" dilaksanakan di Pura Lingsar yang dibangun pada 1759 oleh Raja Anak Agung Ngurah dari Kerajaan Karang Asem, Bali, yang pada waktu itu memerintah bagian barat Pulau Lombok.

         Ritual saling melempar dengan ketupat dimulai setelah acara di pura atau kemalik selesai digelar atau tepatnya pada saat "rara kembang waru" (gugur bunga waru) sekitar pukul 17.00 WITA.

         Topat yang disajikan dipergunakan untuk saling melempar. Topat itu merupakan bagian dari sesajian yang disiapkan oleh masyarakat desa yang terlibat di dalamnya.

         "Topat itu bisa dibawa pulang untuk ditabur di sawah pada malam hari disertai doa permohonan kepada Tuhan agar sawah petani diberi kesuburan dan hasilnya melimpah," kata Suparman. (*)