Mataram, 13/3 (ANTARA) - Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi Nusa Tenggara Barat terus berupaya mendorong perkawinan sesuai usia yang dianjurkan yakni minimal 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.
"Masih dijumpai usia perkawinan perempuan dibawah 15 tahun, padahal perkawinan usia muda rentan bercerai, sehingga perlu didorong agar perkawinan sesuai usia yang dianjurkan," kata Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan PP dan Keluarga Berencana Provinsi Nusa Tenggara Barat Hj. Ratningdiah, di Mataram, Minggu.
Ia mengatakan, usia perkawinan pertama penduduk perempuan NTB yang berumur 10 tahun ke atas di kelompokkan menjadi empat bagian yaitu kelompok umur 15 tahun kebawah, umur 16-19 tahun, umur 20-24 tahun dan umur 25 tahun lebih.
Usia perkawinan pertama perempuan berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, minimal 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.
Pada kenyataannya, perempuan di Provinsi NTB yang menikah pada umur 15 tahun kebawah dijumpai sebanyak 6,28 persen, paling banyak berada di Kabupaten Lombok Tengah dan Kota Mataram, disusul perempuan Lombok Timur dan Sumbawa. Paling sedikit di Kota Bima.
"Padahal, tingginya perkawinan usia muda erat kaitannya dengan tingginya perceraian hidup, seperti yang terjadi di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah," ujarnya.
Data versi BPPKB NTB, penduduk yang cerai hidup paling banyak di temukan di Kabupaten Lombok Timur sebanyak 8,18 persen, kemudian disusul kabupaten Lombok Tengah 6,99 persen dan Lombok Barat 5,96 persen.
Sementara penduduk yang paling sedikit melakukan cerai hidup berada di Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Bima yakni 1,56 persen.
Dari 2,11 persen penduduk NTB yang cerai mati, tertinggi dijumpai di kabupaten Bima, disusul kabupaten Lombok Timur, Sumbawa dan Lombok Tengah.
Menurut Ratningdiah, terdapat sedikitnya 13 faktor penyebab terjadinya perceraian di wilayah NTB yakni poligami, krisis akhlak, cemburu, kawin paksa, ekonomi, tidak ada tanggungjawab, kawin dibawah umur, kekerasan jasmani, kekejaman mental, politis, gangguan pihak ketiga, tidak ada keharmonisan dan penyebab lainnya.
Perceraian itu juga dipicu oleh perwakinan usia dini yang berdampak pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), apalagi pasangan suami istri itu minim pengetahuan dan wawasan rumah tangga.
"Apalagi, perlindungan keamanan terhadap perempuan sangat minim dan kurangnya fasilitas penanganan cepat atas masalah kekerasan yang dihadapi perempuan," ujarnya.
Ia menambahkan, meningkatnya kasus perceraian itu menyebabkan jumlah perempuan kepala keluarga (pekka) semakin banyak, selain status Pekka karena berstatus janda akibat suaminya meninggal, ditinggal kerja suami yang menjadi TKI dan tidak diberi nafkah lahir batin oleh suaminya.
Kondisi tersebut semakin memprihatinkan jika tingkat pendidikan perempuan kepala keluarga itu relatif minim.
Hasil pendataan pekka di empat kecamatan di NTB yang sudah dilakukan, ternyata 56 persen Pekka buta aksara dan sebagian tidak tamat SD.
Rata-rata usia Pekka di empat kecamatan itu yakni 15-20 tahun namun sudah memiliki anak 2-5 orang.
"Umumnya mereka tidak memiliki pekerjaan tetap namun terpaksa bekerja serabutan karena suami mereka pun malas bekerja, sebagian suami bekerja sebagai TKI tetapi bertahun-tahun tidak kembali dan penyebab lainnya," ujarnya.
Upaya nyata yang dilakukan BPPKB NTB terkait perceraian akibat berbagai faktor penyebab itu, menurut Ratningdiah, antara lain, menerapkan program peningkatan peran serta dan kesetaraan gender dalam pembangunan, serta pembentukan tim 'vocal point" di SKPD dan Workshop ARG.
Program lainnya yakni pengembangan model operasional BKB-Posyandu-PADU, pengkajian pengembangan model operasional BKB-Posyandu-PADU, pelatihan bagi kader posyandu, peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan, serta fasilitasi upaya perlindungan perempuan terhadap tindak kekerasan.(*)