Mataram (ANTARA) - Penanganan kasus dugaan penjualan aset negara berupa lahan seluas 6,97 hektare milik Pemerintah Kabupaten Lombok Barat oleh Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat kini naik ke tahap penyidikan.
"Penanganannya naik ke tahap penyidikan sesuai dengan hasil gelar perkara yang dilaksanakan tim penyelidik dari bidang pidana khusus hari ini," kata Juru Bicara Kejati NTB Dedi Irawan di Mataram, Rabu.
Dengan hasil gelar perkara yang demikian, Kepala Kejati NTB Tomo Sitepu dikatakan Dedi telah mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik).
"Tindak lanjutnya, tim penyidik akan melakukan pemanggilan saksi-saksi dan juga mengambil tindakan penyidikan lainnya," ujar dia.
Agenda baru yang masuk dalam rangkaian penyidikan ini, jelasnya, untuk mengungkap peran tersangka dan angka kerugian negara. Tentunya untuk kerugian negara, kata Dedi, penyidik akan berkolaborasi dengan ahli penghitungan.
Pada tahun 2017, lahan yang berada dalam status kelola Dinas Pertanian Lombok Barat di Dusun Punikan, Desa Batu Mekar, Kecamatan Lingsar, itu muncul dengan status hak milik perorangan. Munculnya klaim kepemilikan itu berdasarkan adanya gugatan perdata.
Setelah kepemilikan beralih, meskipun belum ada eksekusi pengadilan, lahan diduga diperjualbelikan dalam bentuk kaveling. Nilai jualnya diperkirakan mencapai Rp6,9 miliar.
Terkait dengan peralihan tersebut, pihak kejaksaan telah menindaklanjutinya dengan meminta BPN Lombok Barat membekukan penerbitan surat hak milik (SHM).
Pihak kejaksaan mengindikasikan peralihan hak atas tanah itu sebagai perbuatan tindak pidana. Kemudian nilai penjualan tanah itu ditaksir sebagai kerugian negara yang bertambah dengan penjualan pohon kelapa di atas lahan tersebut.
Berdasarkan penelusuran di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Mataram, gugatan perdata kepemilikan lahan ini diajukan pada 13 Februari 2018.
Penggugat berinisial GHK mengklaim lahan seluas 6,97 hektare tersebut merupakan warisan dari orang tuanya. Dia menggugat pengurus lahan berinisial IW yang menduduki lahan.
IW yang dalam perkara tersebut sebagai tergugat, merupakan pengelola lahan. Penghasilan panen kelapa yang hidup di atas lahan itu disetorkan ke Pemda Lombok Barat. Setorannya Rp4 juta setiap tahun. Sebanyak 490 pohon kelapa diduga sudah ditebang dan dijual.
Kembali dalam gugatannya, GHK meminta hakim untuk memerintahkan IW menyerahkan lahan tersebut. Hasilnya, majelis hakim dalam putusan perdatanya menolak gugatan GHK itu untuk seluruhnya.
Selanjutnya GHK kembali mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi NTB. Hasilnya berbeda, majelis hakim menerima banding GHK serta membatalkan putusan PN Mataram dan menyatakan lahan tersebut merupakan tanah milik GHK yang diperoleh dari orang tuanya berinisial GGK.
Putusan bandingnya menyebutkan tergugat untuk menyerahkan lahan tersebut dalam keadaan kosong dan tanpa syarat. Dasar putusan banding itu pun yang menjadi dasar GHK mengajukan ke BPN Lombok Barat untuk menerbitkan kepemilikan lahan.