Permintaan obat COVID-19 melonjak 12 kali lipat sejak Juni

id budi gunadi sadikin,covid-19,obat,obat covid

Permintaan obat COVID-19 melonjak 12 kali lipat sejak Juni

Tangkapan layar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam konferensi pers yang dipantau daring, Senin (26/7/2021). (ANTARA/Devi Nindy)

Jakarta (ANTARA) - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan permintaan obat-obatan COVID-19 melonjak hingga 12 kali lipat.

"Sejak 1 Juni sampai sekarang telah terjadi lonjakan yang luar biasa dari kebutuhan obat-obatan. Lonjakan itu besarnya sekitar 12 kali lipat," kata Menkes Budi Gunadi di Kantor Presiden di Jakarta, Senin.

Kementerian Kesehatan, menurut Budi Gunadi, lalu berkomunikasi  dengan Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) dan sudah mempersiapkan impor bahan baku obat, memperbesar kapasitas produksi serta mempersiapkan distribusinya.

"Tapi memang dibutuhkan waktu antara 4-6 minggu agar kapasitas obat dalam negeri kita bisa memenuhi kebutuhan peningkatan obat-obatan sebanyak 12 kali lipat ini," ungkap Budi.

Budi menargetkan pada awal Agustus beberapa obat-obatan terapi COVID-19 yang sering dicari masyarakat seperti Azithromysin, Oseltamivir dan Favipiravir sudah bisa masuk ke pasar dalam jumlah yang lebih signifikan.

"Saya kasih contoh Azithromysin sekarang ada 11,4 juta di nasional, 20 pabrik lokal memproduksi obat ini. Jadi sebenarnya kapasitas produksi mencukupi," ungkap Budi.

Meski cukup secara produksi, ia mengakui ada sedikit hambatan dalam distribusi Azithromysin masuk ke apotek-apotek.

Sedangkan untuk stok Favipiravir di seluruh Indonesia, menurut Budi Gunadi sekitar 6 juta.

"Ada beberapa produsen dalam negeri yang akan segera meningkatkan stok Favipiravir ini termasuk Kimia Farma untuk bisa (produksi) 2 juta per hari, rencananya PT Dexa Medica juga akan impor 15 juta di bulan Agustus. Kita akan impor juga 9,2 juta dari beberapa negara untuk mulai bulan Agustus dan ada pabrik rencananya yang mulai Agustus juga akan produksi 1 juta Favipilravir setiap hari," tambah Budi.

Menurut Budi, Favipiravir adalah obat akan menggantikan Oseltamivir sebagai obat antivirus.

"Kalau Azithromysin tadi antibiotik, Favipiravir ini masuk kategori antivirus. Oleh dokter-dokter ahli 5 profesi di Indonesia sudah mengkaji dampaknya terhadap mutasi virus delta ini dan mereka menganjurkan agar antivirusnya digunakan Favipiravir dan diharapkan nanti pada Agustus kita sudah punya kapasitas produksi dalam negeri antara 2-4 juta tablet per hari yang bisa memenuhi kebutuhan," jelas Budi.

Sedangkan stok Oseltamivir hingga Agustus adalah sekitar 12 juta tablet dan secara bertahap akan diganti oleh Favipiravir.

"Itu adalah 3 obat, Azithromysin, Favipiravir dan Oseltamivir yang memang diproduksi dalam negeri. Ada tiga obat lain yang belum bisa kita produksi di dalam negeri, yang sangat bergantung kepada impor, seperti Remdesivir, Actemra dan Gammaraas. Ini adalah obat-obatan yang di seluruh dunia juga sedang 'short supply' karena semua orang sedang membutuhkan obat-obat ini," tambah Budi.

Pemerintah rencananya akan mengimpor obat-obatan tersebut yaitu Remdesivir akan diimpor sebanyak 150 ribu tablet pada Juli 2021 dan 1,2 juta tablet pada Agustus 2021.

"Sekarang kita sedang dalam proses untuk bisa membuat Remdesivir di dalam negeri, ya doakan mudah-mudahan itu bisa segera terjadi," kata Budi.

Sementara untuk Actemra juga rencananya akan diimpor dari berbagai negara.

"Actemra ini obat-obatan yang sangat terkenal karena harganya jadi ratusan juta padahal harga sebenarnya cuma di bawah Rp10 juta, pada Juli ini kita akan kedatangan 1.000 vial tapi Agustus kita akan mengimpor 138 ribu (vial) dari negara-negara yang mungkin teman-teman tidak membahayakan kita akan impor dari negara-negara tersebut. Kita cari ke seluruh pelosok dunia mengenai Actemra ini," tambah Budi

Selanjutnya untuk Gamaraas akan diimpor 26 ribu pada Juli 2021 dan akan diimpor lagi 27 ribu pada Agustus 2021.

"Obat-obatan ini akan datang secara bertahap pada Agustus kita harapkan sudah lebih baik distribusinya," kata Menkes.