Mataram, 10/3 (ANTARA) - Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Nusa Tenggara Barat mencatat, sepanjang 2011 Tenaga Kerja Indonesia asal Pulau Lombok dan Sumbawa yang bekerja sebagai pramuwisma atau penata laksana rumah tangga di sejumlah negara, mencapai 38.809 orang.
"Hal itu tidak terlepas dari rendahnya kualitas pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki para TKI," kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) H Mokhlis, di Mataram, Sabtu.
Rendahnya pengetahuan dan ketrampilan itu, kata Mokhlis, mengakibatkan para TKI kurang dihargai, bahkan tidak jarang mendapat perlakuan yang tidak manusiawi.
Hampir setiap hari terdengar kabar tentang TKI yang tengah menghadapi masalah hukum, bahkan berujung kematian.
Mokhlis juga menyebut TKI yang berprofesi pengasuh sepanjang 2011 tercatat sebanyak 1.320 orang, dan yang bekerja di ladang tercatat sebanyak 48.875 orang.
Dari aspek pendidikan, TKI NTB lulusan Sekolah Dasar (SD) mencapai 54.714 orang, Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 2.812 orang, Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak 702 orang, lulusan Diploma 1 (D1) satu orang dan Strata 1 (S1) juga satu orang.
Setiap tahun NTB mengirim TKI sebanyak 45 ribu hingga 80 ribu orang, terbanyak ke Malaysia, dan negara lainnya di Asia Pacifik seperti Singapura, Taiwan, Hongkong, dan negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Yordania.
"Karena itu, sebagian besar TKI asal NTB bekerja di sektor informal, yang tentunya tidak memiliki posisi tawar utama dalam menentukan kontrak kerja. Saya kira ini juga merupakan persoalan nasional," ujarnya.
Mokhlis mengatakan, selain persoalan SDM, masalah perizinan dan persyaratan dokumen juga seringkali mencuat sehingga para TKI yang menjadi korban kesewenang-wenangan di luar negeri.
Mudahnya mengakses Malaysia karena secara geografis dekat dengan Indonesia, juga mengakibatkan para TKI cenderung mengabaikan persyaratan dokumen, sehingga keberadaannya bermasalah secara hukum.
Pengawasan TKI di luar negeri pun menjadi lemah, sehingga seringkali pemerintah dinilai kurang berhasil dalam memberikan perlindungan bagi para TKI.
"Fakta di lapangan, banyak TKI bermasalah dari aspek persyaratan dokumen, sehingga pengawasan terpadu mutlak diperlukan," ujarnya.
Ia berharap pengelola Perusahaan Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) juga berperan dalam menyosialisasikan tata cara dan persyaratan bekerja di luar negeri, agar permasalahan TKI dapat diminimalisir.
Jumlah PPTKIS yang beroperasi di wilayah NTB saat ini mencapai 215 unit, sebanyak 11 unit perusahaan diantaranya berkantor pusat di Jakarta, selebihnya berbentuk kantor cabang yang pusatnya di Jakarta dan daerah lain di luar wilayah NTB. (*)