Tragedi Mumbai Jangan Terulang, Aksi Terorisme Merusak Demokrasi

id Tragedi Mumbai Jangan Terulang,Tragedi Mumbai,Aksi Terorisme Merusak Demokrasi,Terorisme ,Demokrasi

Tragedi Mumbai Jangan Terulang, Aksi Terorisme Merusak Demokrasi

Moderator seminar "Dangers of Terrorism", dari kiri ke kanan: Asep Setiawan, Veeramalla Anjaiah, dan Sri Yunanto. Seminar tersebut dilaksanakan di Kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) pada 24 November 2022 (Foto: Istimewa)

Mataram (ANTARA) - Aksi terorisme seperti yang terjadi dalam insiden di Mumbay India tahun 2008 tidak hanya menghilangkan nyawa banyak orang, tetapi juga memiliki dampak jauh pasca terjadinya serangan, termasuk merusak demokrasi karena pelaku aksi teror berusaha mencapai tujuan dengan jalan kekerasan.

Demikian benang merah seminar “Dangers of Terrorism: Commemorating the Tragedy of 26/11 Mumbai Terror Attacks” pada 24 November 2022 di Kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) seperti dijelaskan moderator seminar internasional itu, Dr. Asep Setiawan MA, Minggu (27/11).

Menurut Ketua Prodi Magister Ilmu Politik UMJ itu, dalam seminar yang berlangsung di Gedung Kasman Singodimedjo UMJ tersebut hadir dua pakar dari India yaitu Letjen (Purn) Shokin Chauhan selaku Former Director-General of the Assam Rifles dan Dr. Sameer Patil, Senior Fellow at the Observer Research Foundation (ORF).

Pada acara itu hadir pula Dr. Sri Yunanto, dosen Magister Ilmu Politik FISIP UMJ dan Veeramalla Anjaiah, Senior Research Fellow at CSEAS Indonesia; sedangkan Prof. Dr. Irfan Idris, MA selaku Direktur Deradikalisasi Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) hadir secara online.

Seminar yang dihadiri 86 peserta yang terdiri dari mahasiswa dan dosen serta ditayangkan di You Tube Channel FISIP UMJ itu merupakan kerjasama Prodi Ilmu Politik dan Magister Ilmu Politik FISIP UMJ dengan kelompok Sahabat India di Indonesia. Acara itu juga didukung oleh Rektor UMJ Dr. Ma’mun Murod M.Si dan Dekan FISIP UMJ Dr. Evi Satispi M.Si.

Mengutip Letjen (Purn) Shokin Chauhan, Asep Setiawan lebih lanjut mengemukakan, tindakan terorisme adalah sebuah pemaksaan kehendak sekelompok orang dengan menghilangkan nyawa orang seperti dilakukan dalam insiden di Mumbay tahun 2008 yang menelan korban 165 orang meninggal.

Disebutkan, Lashkar-e-Taiba (LeT) dalam aksi teror di Mumbai melakukan serangan di berbagai tempat selama tiga hari. Mereka memaksakan keinginannya terhadap pemerintah India.

Pemaksaan kehendak itu secara jelas bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, padahal keinginan kelompok manapun sejatinya dapat dibicarakan dalam lingkup India sebagai negara demokrasi.

Bahkan Shokin Chauhan menilai tindakan terorisme telah mengakibatkan ancaman perang India dan Pakistan. Semula pihak Pakistan membantah para teroris berasal dari negaranya, namun kemudian mengkui anggota Lashkar-e-Taiba (LeT) berasal dari Pakistan. Dimensi inilah yang menyebabkan konflik baru diantara India dan Pakistan selain masalah Kashmir.

Pada kesempatan yang sama, Dr. Sri Yunanto dari FISIP UMJ membenarkan pandangan Letjen (Purn) Shokin terkait hubungan India dan Pakistan yang memburuk akibat tindak terorisme di Mumbai waktu itu. Alasan memburuknya hubungan karena adanya tuduhan bahwa Dinas Intelijen Pakistan mendukung dan melatih Lashkar-e-Taiba (LeT).

Sementara Veeramalla Anjaiah, peneliti senior Fellow at CSEAS Indonesia menjelaskan, serangan terhadap Mumbai yang menelan banyak korban itu dilakukan tiga hari dalam lima gelombang. Gelombang pertama dilakukan Ismail Khan di Stasiun Kereta Api Chatpathi Shivaji.

Gelombang kedua serangan berlangsung di kafe Leopol. Serangan ketiga di Hotel Taj Mahal. Serangan keempat di Hotel Oberai dan Trident. Serangan kelima di Rumah Nariman.

Veeramalah berharap tragedi Mumbai tidak dilupakan begitu saja. Selain itu keadilan terhadap para pelaku masih harus terus diupayakan sebagai penghormatan terhadap korban tindak terorisme.

Deradikalisasi

Di bagian lain, Prof. Dr. Irfan Idris, MA selaku Direktur Deradikalisasi Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjelaskan, belajar dari berbagai tindak terorisme di Mumbai India dan bom Bali, Indonesia memiliki Strategi Nasional Pencegahan Terorisme melalui UU No 5 Tahun 2018.

Menurut Prof Irfan, dalam UU itu juga disebutkan bahwa pencegahan tindak terorisme dilakukan melalui pendekatan soft power dan hard power.

Pelaksanaan program deradikalisasi di Lapas juga dilakukan secara terpadu, sistematis, dan berkesinambungan sepanjang tahun 2022 dengan menempatkan personel dari Subdit Pengembangan Lapas di wilayah Nusakambangan dan Gunung Sindur.

Ditambahkannya, pelaksanaan Program Deradikalisasi melalui Keluarga, Tersangka, Terdakwa, dan Narapidana, (Tahanan Teroris) dilakukan untuk memberikan penghargaan kepada narapidana yang telah kooperatif menghadirkan keluarganya.

Di sisi lain, mereka juga diberikan penguatan wawasan keagamaan, psikologis, dan wawasan kebangsaan yang diselenggarakan di Rumah Singgah yang disiapkan oleh BNPT.

Menurut Irfan, sebagai salah satu program Reedukasi khususnya bidang keagamaan dimaksudkan membekali narapidana untuk memahami teks-teks agama dan keterampilan dasar bahasa Arab (kitabah/menulis, qiroah/membaca, sima'ah/menyimak dan kalam/berbicara).

Serangan di Mumbai dan Bali

Pada 26 November 2008 sekelompok teroris bersenjata menyerang kota Mumbai, ibu kota keuangan India. Sepuluh teroris yang dilatih kelompok LeT berbasis di Pakistan menargetkan beberapa lokasi penting secara bersamaan dan tanpa ampun menewaskan 165 orang, termasuk 140 orang India dan 25 orang asing dari 17 negara.

Serangan di Mumbai itu serupa dengan serangan terhadap orang asing di Bali pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 orang, termasuk 88 warga Australia, 38 orang Indonesia, dan 23 orang Inggris. Kelompok teror Jemaah Islamiyah (JI), pelaku Bom Bali 2002, dan LeT dari Pakistan memiliki hubungan dekat dengan kelompok teror al-Qaeda.

Tahun ini Indonesia memperingati 20 tahun bom Bali dan memberikan penghormatan kepada para korban, sementara India memperingati 14 tahun serangan teror Mumbai dan juga memberi penghormatan kepada para korban.