Mengenal rumah kertas satu-satunya di Indonesia

id Rumah Kertas,The Griya Lombok,Lombok,Limbah

Mengenal rumah kertas satu-satunya di Indonesia

Theo Setiadi Suteja, pemilik The Griya Lombok. Dok. ANTARA

Kita ingin mengembalikan kertas itu menjadi kayu. Intinya mengurangi penebangan hutan....


Ide kreatif itu tidak muncul sekonyong-konyong. Bermula saat dirinya masih bertugas di sebuah perusahaan internasional dan ditempatkan di Lombok. Saat itu dirinya dapat tugas ke salah satu daerah serta melihat truk mengangkut kayu.

Kemudian terpikirkan betapa banyaknya pohon yang diambil dari hutan sehingga akan menyebabkan hutan gundul yang berujung kepada bencana banjir bandang. Bahkan saat terjadi musim kering, sumber air pun sulit karena sudah tidak ada tempat untuk resapan air.

Hingga akhirnya pria asal Denpasar, Bali, tersebut terpikir untuk membuat bangunan atau produk kreatif berbahan dasar dari limbah alias tidak perlu lagi menggunakan kayu.

"Saya sedih melihat hutan yang rusak sampai gundul. Hingga saya memilih resign dari tempat pekerjaan. Istilahnya berani meninggalkan zona nyaman," katanya kepada mahasiswa Unram.

Kendati demikian, kecintaan Mas Agung terhadap lingkungan itu tidak muncul begitu saja. Ia memiliki latar belakang panjang, yakni saat dirinya masih kuliah di Denpasar dan hingga untuk memilih kehidupan saat ini tidaklah terlalu dikhawatirkan.

Akhirnya dia mampu mengolah limbah kertas menjadi barang-barang bernilai. "Sambil jalan, kami produksi, dan 2017 kami perkenalkan ke publik sebagai karya, setelah cukup sampel produk," tambahnya

Bahkan dia membuka The Griya Lombok yang sudah dikunjungi 1.439 tamu. Ia menargetkan 2.000 produk tersedia di galerinya, sedangkan sekarang sudah ada sekitar 200 produk.

Produknya, antara lain, berupa kursi, meja, nampan, asbak, dan beberapa furnitur seni lainnya.

Agung menegaskan The Griya Lombok bukan menjual produk dari kertas, melainkan memanfaatkan limbah kertas menjadi produk bernilai seni. Perihal profit, sumbernya bukan dari penjualan produk, melainkan dari tiket masuk pengunjung.

"Sifatnya bukan active income, melainkan pasive  income yang sumbernya dari tiket masuk dan pelatihan bagi yang berminat," lanjutnya.

Bahan baku pembuatan seperti kertas HVS, koran, maupun kardus didapat dari beberapa toko dan pasar sekitar Ampenan. Sisanya diantarkan oleh salah satu instansi yang membayar Rp5.000 per kilogramnya.