Buruh diimbau gelar "May Day" tanpa demonstrasi

id May Day ,Tanp Demonstrasi

Buruh diimbau gelar "May Day" tanpa demonstrasi

Dokumen - Sejumlah pengunjuk rasa melakukan long march menuju Istana Merdeka saat merayakan nari buruh internasional di Jakarta. (FOTO ANTARA/Paramayuda)

hari buruh dapat diingat sebagai hari yang mencemaskan
Mataram (Antaranews NTB) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat mengimbau para pekerja untuk memperingati Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2018 digelar tanpa berdemonstrasi turun ke jalan.

"Demonstrasi kurang tepat dilakukan, terlebih kini pandangan di tengah masyarakat para pengunjuk rasa selalu dikaitkan dengan stigma negatif," kata Kepala Bidang Ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) NTB Nasip.

Oleh karena itu, pihaknya lebih setuju jika Hari Buruh Internasional (May Day) lebih dijadikan momentum mengubah orientasi dan paradigma buruh, sehingga citra pergerakan buruh menjadi lebih positif. Bila dibandingkan dengan berdemonstrasi sebagaimana yang sering dilakukan setiap tahun.

Misalnya saja, para buruh dengan momentum itu dijadikan hari penting untuk mengubah orientasi atau mental buruh ke mental berwirausaha. Dengan begitu, akan muncul semangat buruh naik kelas dari hanya buruh menjadi pengusaha.

Disnakertrans NTB juga mendorong agar para buruh merubah orientasi tidak sekadar menjadi buruh, melainkan harus menjadi pengusaha. Sebab, dengan menjadi seorang pengusaha dapat menentukan gaji sendiri, berbeda dengan menjadi buruh.

"Kasian buruh demo-demo terus untuk minta naik gaji. Jangan jadi pendemo. Sekarang pendemo ini jelek di mata masyarakat," ujarnya seraya menyebut syarat lain yang harus dimiliki seorang buruh yang ingin turun berwirausaha adalah harus kreatif.

Nasip mencontohkan pengusaha asal Jepang yang hanya punya sebatang bambu sebagai modal awal dalam berbisnis. Akan tetapi karena dia ingin jadi pebisnis, lalu membuat penusuk gigi yang harganya luar biasa.

"Nah, dia suskes karna dia memiliki tekad. Bisnis bisa dimulai dari yang baru atau mengembangkan yang sudah ada. Maka dari itu mental pekerja itu penting, sekarang pemerintah mendorong mental pengusaha bukan pekerja," ucapnya pula.

Menurutnya, kreativitas dalam berwirausaha itu sangat penting. Seperti halnya ubi yang murah saja, jika diolah menjadi olahan yang enak, maka akan memiliki nilai jual yang tinggi.

Oleh karena itu, kata Nasip, jika ada niat untuk bekerja, lebih baik menjalankan usaha sendiri.

"Apapun yang kita bisniskan di Mataram, jalan saja, jangan pilih jadi buruh atau pekerja. Sekarang pemerintah sudah menyediakan pinjaman di bank dalam bentuk modal usaha, tinggal buat akte notaris dan izin operasional dan sebagainya," katanya.

Sementara itu, pengamat sosial dari Universitas Mataram, Oryza Pneumatica Indrasari menyatakan dampak psikologis Hari Buruh (May Day) akan meresahkan masyarakat umum jika diperingati dengan cara berunjuk rasa di jalan raya.

"Aksi hari buruh dengan berunjuk rasa di jalanan berdampak pada penutupan akses jalan yang berakibat adanya gangguan bagi pengguna jalan lain," kata Oryza.

Menurut dia, para pengguna jalan raya tentu akan merasa khawatir bila bertemu dengan para pengunjuk rasa yang nampak meluapkan emosi. Bahkan, bisa menyebabkan trauma pada anak-anak yang dibawa orang tuanya saat mengikuti aksi unjuk rasa di jalanan.

"Sehingga penilaian untuk yang tidak berkepentingan, hari buruh dapat diingat sebagai hari yang mencemaskan," kata Oryza.

Di satu sisi, kata dia, unjuk rasa yang digelar memang dapat dimaklumi, mengingat relasi sosial yang dibangun antara buruh dan majikan terkadang bersifat eksploitatif.

Hal itu nampaknya memang terjadi sehingga tuntutan buruh atas kehidupannya yang belum sejahtera menjadi perjuangan kelompok buruh.

"Nampaknya wajar bila hak belum terpenuhi, sementara kewajiban terus bertambah. Maka ketimpangan itu akan mendatangkan ketertindasan," ujarnya.

Melihat situasi seperti itu, kata dia, pemerintah harus memainkan peran yang seimbang baik bagi perusahaan maupun bagi pekerjanya. Pemerintah harus melindungi dan membela hak-hak buruh sehingga dapat memberikan jaminan ketenangan bagi buruh untuk kesejahteraan hidupnya.

"Jangan sampai ketidaksejahteraan buruh akan menimbulkan gejolak sosial dan harga politik yang tinggi sehingga pada akhirnya harus dibayar oleh seluruh komponen bangsa," ucapnya.

Meski demikian, pemerintah bukan hanya sebagai pemain tunggal. Pemeran utama dalam kesejahteraan buruh justru ada pada perusahaan atau majikan.

Hubungan kerja sama atau kemitraan dan tolong menolong memposisikan buruh tidak hanya dilihat sebagai lawan oleh majikan, juga sebaliknya majikan dilihat sebagai lawan dari sudut pandang buruh.

"Kuncinya adalah membangun hubungan kerja sama yang egaliter," kata Oryza.  (*)