Kudus (ANTARA) - Ketua Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP RTMM SPSI), Mukhyir Hasibuan mengatakan, tekanan terhadap industri rokok di Indonesia semakin besar.
"Bahkan, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dari luar negeri dan pemerintah berupaya menekan pabrik rokok di tanah air, sehingga produksinya terhambat," ujarnya di Kudus (29/10).
Untuk itu, dia meminta, kepada semua pimpinan perusahaan rokok di tanah air untuk bersatu melawan tekanan dari sejumlah pihak tersebut. "Kita harus menghadapinya," ujarnya.
Ia menduga, sejumlah LSM dari luar negeri tersebut menginginkan pabrik rokok di Indonesia tutup.
"Hal itu, untuk memberikan keleluasaan bagi perusahaan rokok asing masuk ke Indonesia, setelah perusahaan rokok dalam negeri kesulitan untuk berproduksi," ujarnya.
Selain itu, kata dia, tekanan industri rokok juga datang dari penerapan peraturan perundang-undangan yang tidak berpihak kepada industri rokok, terutama pada Undang-undang Kesehatan. "Hal ini dikenal dengan ayat-ayat rokok yang hilang," ujarnya.
Padahal, kata dia, sumbangan dari industri rokok kepada pemerintah mencapai Rp57 triliun per tahun.
"Satu sisi pemerintah ingin mengambil keuntungan, tetapi pada sisi yang lain ingin menekan supaya pabrik rokok tidak berkembang karena adanya intervensi dari pihak luar yang ingin menguasai pabrik rokok di dalam negeri," ujarnya.
Seharusnya, kata dia, pemerintah melindungi industri rokok dalam negeri. "Sebaiknya, jangan terlalu kaku dalam mengambil kebijakan," ujarnya.
Apalagi, kata dia, jumlah karyawan yang bekerja pada industri rokok di seluruh Indonesia mencapai 700.000 orang. (*)