Jafar M. Sidik
Jakarta (ANTARA) - Menurut Bank Dunia, pendapatan per kapita tahunan AS pada 2008 adalah 46.716 dolar AS (Rp443,8 juta), Singapura 49.288 dolar AS (Rp468,2 juta), dan Indonesia 3.975 dolar AS atau Rp37,7 juta. Artinya, pendapatan orang Indonesia per hari Rp103 ribu, sedangkan AS dan Singapura masing-masing Rp1,215 juta dan Rp1,282 juta.
Jelas kedua negara lebih kaya karena mereka menghasilkan lebih banyak uang dari Indonesia, tapi itu tak berarti kerja orang Indonesia kalah keras dari mereka. Persoalannya malah mungkin karena Indonesia yang mempunyai pepatah "hemat pangkal kaya" itu, kalah efisien dari mereka.
Negara-negara kaya seperti AS dan Singapura pandai menghargai uang, tapi itu bukan berarti mereka materialistis, sebaliknya mereka melihat uang adalah simbol usaha keras manusia.
Menilai uang adalah juga menghargai kerja keras, prestasi dan kinerja. Sebaliknya, menghamburkan uang sama dengan menghina kerja keras dan menyepelekan prestasi.
Untuk itu, penghinaan terhadap kerja keras harus disumbat rapat-rapat untuk memastikan mereka yang bekerja keras dan berprestasi tinggi mendapat bagian lebih besar dari mereka yang bekerja asal-asalan dan sering untung karena berkolusi dengan pemangku kebijakan.
Agar negara tidak boleh digerogoti oleh kultur mengambil jalan pintas untuk memperkaya diri sendiri, maka kemudian rambu-rambu etik pun dibuat untuk memagari kerja sistem pelayanan publik dari kolusi yang pasti koruptif.
Pada beberapa negara rambu etik itu bahkan ditegaskan secara gamblang, misalnya Office of Government Ethics (OGE) di AS.
OGE menetapkan bahwa semua pejabat dan pegawai yang digaji negara, hanya melayani publik dan dilarang memanfaatkan jabatan atau posisinya untuk keuntungan pribadi.
Salah satu etika itu adalah semua pejabat dan pegawai yang digaji negara, hanya boleh menerima hadiah dari pihak lain tak lebih dari 20 dolar AS (sekitar Rp200.000) dan dalam setahun tidak boleh melebihi 50 dolar AS (Rp500.000).
OGE juga menetapkan ketentuan, bahwa bawahan hanya boleh memberi hadiah kepada atasannya, sebanyak-banyaknya 10 dolar AS (Rp100.000).
Disiplin
Bagi masyarakat korup, batasan pemberian hadiah seperti AS itu terlihat aneh, tetapi negara-negara yang memiliki sistem pelayanan publik kredibel, batasan ini justru menggali banyak manfaat dan menjadi acuan dasar untuk menciptakan masyarakat antikorupsi.
Di samping membunuh budaya nyetor dan pungli, pedoman etik yang terang nan tegas membuat pejabat dan pegawai negeri menjadi sulit disogok oleh pihak-pihak yang memerlukan "rekomendasi" negara untuk kelancaran urusan-urusannya, termasuk soal bisnis.
Lain dari itu, semua orang yang digaji negara, termasuk aparat penegakan hukum, tak bisa lagi sembarangan "didekati," apalagi oleh orang yang sudah diputus bersalah oleh pengadilan.
Mengutip www.usoge.gov, sistem pelayanan publik AS dibentengi oleh dua etika umum, yaitu jabatan publik tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan tak boleh memberi perlakuan khusus kepada organisasi atau individu mana pun.
OGE, seperti umumnya negara yang hirau dengan penciptaan aparatur negara yang akuntabel, mengatur pula batasan benturan kepentingan. Bahwa pejabat dan pegawai negeri tak boleh turut pada proyek-proyek pemerintah yang dapat memperkaya dirinya atau menguntungkan keluarga, kerabat dan kedudukannya di luar kantor.
Pegawai negeri bahkan tak boleh memanfaatkan properti apa pun yang dibeli dengan uang negara, untuk kepentingan pribadi, keluarga dan koleganya. Properti itu bahkan termasuk ATK (alat tulis kantor), telepon, komputer, dan mesin fotokopi.
Sebegitu jauh, disiplin yang dimulai dari hal-hal kecil itu membuat negara berhasil menyumbat kebocoran dana publik dan mampu menciptakan sistem pelayanan publik yang terjaga integritasnya sehingga anteng mendistribusikan kesejahteraan sosial ke segala lapisan masyarakat.
Negara pun kian efisien dan makin mampu memerangi korupsi, terlihat dari tingginya kemampuan negara-negara makmur dalam mengatasi kebocoran dana publik dan dalam membersihkan sistem aparaturnya.
Indeks persepsi korupsi (CPI) dari Transparency Internasional menjadi buktinya. Negara-negara hemat dan disiplin melayani publik seperti Singapura, Swedia dan Amerika Serikat, rata-rata memang mempunyai CPI tinggi.
Pada 2009, CPI ketiga negara ini berada pada antara 9,2 - 7,5, sedangkan Indonesia jauh di bawah, hanya 2,8.
Rp40.000!
Walaupun angka CPI Indonesia itu masih lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang 2,6, sejumlah kalangan tidak mau cepat berpuas diri.
"Ini bukan indikator bahwa usaha pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi lebih baik," kata Manajer Riset dan Kebijakan Transparansi Internasional Indonesia Frenky Simanjuntak seperti dikutip ANTARA, pertengahan November lalu.
Namun apa pun itu, belakangan ini Indonesia memang kian aktif mengenalkan etika-etika antikorupsi untuk membangun sistem pelayanan publik yang bersih dari kongkalikong dan korosif.
UU Gratifikasi dan inisiatif KPK dalam melarang pejabat menerima parsel, adalah beberapa contoh dari pengenalan etika antikorupsi itu.
Langkah ini perlu diperluas lagi skalanya, dengan mengenalkan sebanyak mungkin pedoman etik bagi kerja sistem pelayanan publik.
Jika itu terlalu sulit ditempuh, setidaknya ada prinsip-prinsip etik eksplisit, seperti AS menetapkan batasan sumbangan pihak luar kepada pegawai negeri maksimal 50 dolar AS (Rp500.000) setahun, atau 0,11 persen dari pendapatan per kapita AS sebesar 46.716 dolar.
Andaikan ketentuan itu berlaku juga di Indonesia, maka dalam setahun, pejabat dan pegawai negeri hanya boleh menerima hadiah dari pihak luar senilai 4,04 dolar AS atau Rp40.000!
4,04 dolar AS adalah 0,11 persen dari pendapatan per kapita Indonesia sebesar 3.675 per dolar AS.
Memang, ada kekecualian untuk sumbangan bermotif sosial atau yang tak berkaitan dengan jabatan seseorang di kantor publik. Tapi itu tidak menutup fakta bahwa rambu etik yang terang tetapi memaksa, lebih efektif dalam menutup kebocoran dana ketimbang imbauan moral.
Tidak itu saja, hasrat orang Indonesia untuk mengkorupsi dan "memalak" uang rakyat pun bisa terkikis. Bagaimana tidak, jangankan memungut miliaran rupiah, menerima lebih sedikit dari Rp40.000 saja sudah tidak etis dan melanggar ketentuan.
Andaikan ini terjadi, maka tikus-tikus korupsi akan punah dari Indonesia dan kosa kata konglomerat hitam, pejabat korup, atau makelar kasus menjadi terdengar sangat asing bagi telinga publik. Akhirnya, Singapura pun mungkin akan kalah makmur dari Indonesia. Semoga ini bukan lagi mimpi. (*)